Hakim Tidak Gunakan Undang-Undang PT, Dahlan: Direksi BUMN-BUMD Harus Hati-Hati
SIDOARJO - Majelis hakim akhirnya tetap menganggap Dahlan Iskan bersalah dalam perkara kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jawa Timur. Mereka menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk Dahlan Iskan. Vonis tersebut membuat direksi BUMN dan BUMD harus lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan korporasi. Sebab, Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) tak sepenuhnya dipakai ketika berhadapan dengan hukum. Seusai sidang, Dahlan mewanti-wanti para direksi BUMN atau BUMD agar memperhatikan hal tersebut. “Teman-teman yang kini jadi direksi perusahaan daerah, menjadi direksi BUMN atau BUMD, tolong belajar dari apa yang terjadi di sidang ini dan sidang-sidang sebelumnya,” tutur mantan menteri BUMN itu. “Terus terang saya dulu tidak menyangka kalau ini tidak sepenuhnya harus tunduk pada UU PT,” sambung Dahlan. Padahal, sebelum memutuskan menerima permintaan untuk mengabdi di PT PWU, Dahlan sudah mendapatkan kepastian dari Gubernur Jatim (saat itu) Imam Utomo. “Dijawab oleh gubernur bahwa ini PT, sepenuhnya tunduk pada UU PT. Tapi ternyata tidak. Anggaplah ini kebodohan saya,” katanya. Dahlan mengaku sebagai direktur utama harus siap bertanggung jawab. Bagi Dahlan, sebagai pimpinan, dirinya harus bisa menerima. “Bukan hanya enaknya, tapi juga pahitnya,” imbuh Dahlan. Dahlan mencontohkan konsekuensi atas apa yang ditandatanganinya. Menurut dia, sebagai direktur utama, memang dirinya harus menandatangani sejumlah dokumen. “Tapi, ternyata yang saya tanda tangani itu ada yang tidak betul. Ya itu risiko pimpinan,” ujarnya. Entah apa maksud kata “enaknya” yang disampaikan Dahlan. Sebab, ketika menjadi Dirut PT PWU, nyaris tidak ada istilah enak bagi Dahlan. Dia justru kerap merasakan ketidakenakan. Misalnya, hampir sepuluh tahun Dahlan tak mau menerima gaji, berbagai tunjangan, fasilitas, dan tentium. Justru sebaliknya, dia pernah menjadi personal guarantee bagi PWU agar bisa mendapatkan pinjaman dari bank Rp 40 miliar. Dahlan juga pernah meminjamkan uangnya Rp 5 miliar agar PWU bisa membangun gedung megah Jatim Expo (kini JX International). Majelis hakim yang menyidangkan kasus penjualan aset PWU menganggap Dahlan bersalah karena tidak melakukan kontrol terhadap anak buah yang menjual aset sehingga menguntungkan orang lain dan korporasi. Kendati demikian, hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menggunakan uang hasil penjualan aset itu untuk kepentingan pribadi sepeser pun maupun menerima aliran duit dari pihak mana pun. Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (21/4), hakim menghukum Dahlan dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Hakim tidak membebani Dahlan membayar uang pengganti karena menganggapnya tak menikmati duit sepeser pun. Dahlan dianggap melanggar pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa Dahlan melakukan kesalahan karena tidak melakukan pengawasan (monitoring) dan tak mengikuti perkembangan penjualan aset di Kediri dan Tulungagung. “Sebagai tanggung jawab sebagai dirut, setidaknya bisa menanyakan ke ketua tim penjualan Wisnu Wardhana terkait penjualan aset,” kata hakim. Sebab, pelepasan aset oleh tim penjualan dilakukan tidak prosedural. Misalnya, penentuan nilai aset tidak didasarkan pada harga pasar, NJOP, dan taksiran harga tim appraisal independen. Tim penjualan juga tidak melakukan penaksiran harga mesin dan alat produksi pabrik keramik di Tulungagung. Dalam sidang sebenarnya terungkap penjelasan bahwa Dahlan sudah melakukan monitoring terhadap proses penjualan. Ketika akan menandatangani akta penjualan, Dahlan menanyakan ke Wisnu apakah proses dan tahapan penjualan sudah dilakukan sesuai prosedur. Setelah mendapat kepastian itu, Dahlan selaku direktur utama baru mau menandatangani akta penjualan. Tapi, keterangan tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim. Hakim mengatakan, berdasar surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB, aset di Kediri seharusnya dihargai Rp24,4 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli dengan harga Rp17 miliar. Ada selisih Rp7,4 miliar. Menurut hakim, penjualan aset di Kediri itu telah menguntungkan Sam Santoso dan Oepojo Sardjono dari PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) secara pribadi selaku pembeli aset. Korporasi PT SAM tidak dianggap ikut diuntungkan karena saat itu belum pengesahan sebagai perusahaan. Sementara itu, aset di Tulungagung yang berupa tanah, bangunan, dan mesin produksi keramik seharusnya terjual dengan harga Rp10,08 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli menjual aset tersebut seharga Rp8,75 miliar. Hakim menambahkan, dalam pelepasan aset di Tulungagung, tim penjualan tidak mempertimbangkan nilai mesin dan peralatan produksi keramik. Karena itulah, penjualan tersebut dianggap telah menguntungkan korporasi PT SAM selaku pembeli Rp1,3 miliar. Sebab, saat jual beli dilakukan, SAM sudah terdaftar sebagai perusahaan. Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim masih menganggap penjualan aset PWU harus mendapat persetujuan DPRD Jatim. Menurut hakim, Dahlan sebenarnya telah berupaya meminta persetujuan penjualan sebelum melepas aset tersebut. Hanya, persetujuan itu tidak diberikan, tapi penjualan tetap dilakukan. Dalil hakim tersebut masih mengacu keterangan saksi Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jailani yang sebenarnya tidak tahu-menahu tentang proses permintaan persetujuan. Sebaliknya, keterangan saksi fakta mantan Ketua Komisi C Dadoes Soemarwanto dan mantan anggota Komisi C DPRD Jatim Farid Al Fauzi tidak dipertimbangkan sama sekali. Padahal, dalam sidang, mereka menyatakan bahwa komisi C dan unsur pimpinan DPRD Jatim telah membahas permohonan persetujuan aset PWU bersama para pakar. Selain itu, DPRD telah berkonsultasi kepada menteri dalam negeri. Kesimpulan yang didapatkan, DPRD tidak berwenang memberikan persetujuan karena PWU berbentuk PT. Dengan status tersebut, DPRD menganggap proses penjualan aset mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam UU PT dan tidak perlu meminta izin ke DPRD. (atm/bjg/rul/tel/c9)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: