Hari Pendidikan (Bisnis) Ayrton Senna
Mari kita peringati Hari Pendidikan Nasional dengan belajar bisnis jual nama Ayrton Senna, 23 tahun setelah dia meninggal dunia. *** Bulan Mei 2017 ini diawali dengan tiga peringatan menarik buat saya. Pada 1 Mei, peringatan 23 tahun meninggalnya Ayrton Senna, legenda balap Formula 1 idola saya. Lalu, 2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional, dan masalah pendidikan buat saya jauh lebih menarik dan penting daripada isu pemilihan wali kota, gubernur, maupun presiden. Kemudian, 4 Mei banyak diperingati di dunia sebagai Star Wars Day. Hanya gara-gara ’’May The Fourth Be With You’’ bunyinya mirip dengan ’’May The Force Be With You’’ (kalau Anda tidak paham tandanya kurang gaul, atau jangan-jangan punya problem intelektual, wkwkwkwk). Tulisan ini akan mengabaikan dulu Star Wars. Tapi akan memadukan pentingnya Ayrton Senna dan pendidikan, dan bisnis yang menjembatani keduanya. Bagaimana 23 tahun setelah meninggal, nama Ayrton Senna tetap bisa menghasilkan pemasukan triliunan rupiah, dan semuanya untuk kepentingan pendidikan anak-anak kurang mampu. Sebagai penggemar berat Ayrton Senna, tidak perlu alasan-alasan baru untuk membuat saya lebih cinta pada juara dunia tiga kali itu. Tapi ternyata, 23 tahun setelah dia membuat saya menangis di depan layar televisi (saat dia tabrakan dan meninggal), dia tetap mampu membuat hati saya bergetar. Tetap memberi inspirasi tentang bagaimana nama besarnya terus bisa memberi manfaat begitu besar bagi begitu banyak anak. DUA PULUH TIGA TAHUN setelah dia meninggal! Sekarang coba kita becermin. Ketika kita tiada nanti, legacy apa yang ingin kita tinggalkan untuk anak cucu kita nanti? Peninggalan bermanfaat apa yang bisa kita tinggalkan untuk orang banyak, walau kita tinggallah nama? Sekarang saja, ada begitu banyak orang yang usianya sudah tergolong tua, masih pusing memikirkan bagaimana mempertahankan pekerjaan, jabatan, dan lain-lain. Kalau sudah begitu, bagaimana mau memikirkan yang lebih luas, setelah dia nanti tidak ada? Ayrton Senna, dalam hal ini keluarganya, benar-benar spektakuler dalam menjaga legacy sang bintang. Lahir dari keluarga kaya, Senna memang tidak pusing mengejar kekayaan ketika jadi bintang F1. Tapi dia termasuk pionir, saat mendirikan Ayrton Senna Foundation (yayasan), yang didedikasikan sepenuhnya untuk membantu pendidikan anak-anak kurang mampu di Brasil. Setelah dia meninggal, Viviane, kakak perempuannya, melanjutkan kerja yayasan tersebut sebagai pimpinannya. Tantangannya: Tanpa pemasukan besar langsung dari Senna, dari mana mimpi besar sang legenda bisa berlanjut? Yayasan itu pun tidak berpikir seperti kebanyakan organisasi nonprofit. Mereka tidak mau mengandalkan donasi atau minta-minta sumbangan. ’’Biasanya justru perusahaan yang punya unit sosial. Kami justru terbalik. Setahu saya, kami satu-satunya organisasi nonprofit yang punya anak perusahaan yang berbisnis sports branding,’’ kata Bianca, putri Viviane, yang menjalankan perusahaan tersebut, dalam wawancara di BBC Inggris. Yang dibisniskan, ya nama ’’Ayrton Senna’’. Walau sudah 23 tahun, yayasan ini benar-benar hebat dalam menjaga ’’kemistisan’’ nama Senna. Ditambah pula dengan betapa ’’religiusnya’’ para pencinta Senna dalam menularkan kecintaan mereka kepada orang lain (seperti yang saya lakukan lewat tulisan ini, wkwkwkwk...). Boston Consulting Group pada 2015 melakukan riset dan mendapati potensi komersial nama Ayrton Senna masih setara dengan petenis Roger Federer dan legenda basket Michael Jordan. Pada Olimpiade Rio tahun lalu, ada survei juga yang menunjukkan bahwa banyak atlet Brasil yang tampil menyebut Senna sebagai inspirasi utama mereka. Mengalahkan pesepak bola seperti Neymar dan Pele. Padahal, kebanyakan dari mereka belum lahir saat Senna meninggal pada 1 Mei 1994! Untuk memastikan nama Senna ini laku serius, strategi marketing yayasan sangat keren. Mereka mengidentifikasi dua kelompok pasar untuk produk Ayrton Senna. Pertama para penggemar F1. Kedua masyarakat umum yang mungkin bukan penggemar balap, tapi terpikat oleh karisma dan kepopuleran Senna. Jenis produk yang dipasarkan pun disesuaikan menurut dua jenis pasar itu. Misalnya, merchandise balap untuk penggemar balap, lalu produk-produk makanan bermerek Senna untuk masyarakat umum. Menurut laporan BBC, dalam lima tahun terakhir, merek ’’Ayrton Senna’’ (atau ’’Senninha’’ alias Little Senna) mampu memberi pemasukan senilai USD 320 juta, atau sekitar Rp 4,3 triliun! Ingat, Ayrton Senna sudah tiada sejak 1994! Wediaannnn… Kalau Anda penggemar F1, sebenarnya indikator popularitas Senna sangat gampang. Kalau datang ke sirkuit saat lomba, hanya beberapa tim merchandise-nya laku. Khususnya Mercedes, Ferrari, dan Red Bull. Setelah itu paling McLaren-Honda dan Williams-Mercedes. Tapi, di lomba, jangan kaget kalau stan merchandise Ayrton Senna justru lebih besar! Kalau ke toko merchandise F1 online yang orisinal, pilihan item untuk merek Ayrton Senna juga bisa mengalahkan tim-tim yang sekarang ada. Ingat, Ayrton Senna sudah tiada sejak 1994! Wediaannnn… Nah, sesuai misi awal, karena keluarga sudah kaya, seluruh pemasukan brand Ayrton Senna ditujukan untuk pendidikan di Brasil. Tapi, dalam penerapannya pun, mereka tidak mau asal sumbang. Viviane menyebut pihaknya mengembangkan program-program khusus yang bisa membantu pendidikan di sekolah-sekolah negeri, di kawasan-kawasan miskin. Dia menyebutnya ’’vaksin’’ pendidikan. Yayasan Senna ’’menyuntik’’ kurikulum, memfokuskan pada ilmu-ilmu nontradisional, seperti pengajaran ’’social and emotional skills’’. Yaitu, ketangguhan, disiplin, dan semangat. Bukan pada ilmu-ilmu ’’tradisional’’ seperti matematika dan bahasa. Bahkan, yayasan ini telah menemukan metrik untuk mengidentifikasi skill-skill tersebut. Awalnya banyak yang mengkritik. Tapi, Viviane terus ngotot. Dia bilang: ’’Kalau ada orang dari abad ke-19 datang ke zaman sekarang, maka dia tidak akan melihat ada perbedaan di kelas-kelas. Padahal, dunia sudah menjalani revolusi teknologi dan ilmu pengetahuan. Jadi, solusinya bukan sekadar menyediakan tablet atau handphone di tangan murid. Tapi bagaimana menyiapkan kemampuan social dan emotional mereka dalam menghadapi dunia nyata.’’ Keren!!! Dan memang, program-program ini pada akhirnya menuai pujian dan sukses. BBC menceritakan sebuah sekolah di Itatiba, sebuah kota kecil tak jauh dari Sao Paulo, kota asal Senna. Di sekolah negeri di kawasan miskin di sana, Yayasan Senna memfasilitasi program ekstrakurikuler khusus. Anak-anak usia 12 tahun menggunakan Scratch, sebuah software dari MIT Amerika yang bertujuan mengajari anak-anak how to code (melakukan coding). Bayangkan, kebanyakan sekolah negeri di Brasil (Indonesia juga?) tidak punya pelajaran computer coding. Berkat Senna, kini ada banyak sekolah negeri miskin di Brasil yang punya program seperti itu, untuk anak-anak usia 12 tahun! Saya menyinggung soal ini kepada seorang rekan. Dia bilang gila, karena di Indonesia saja anak SMA belum tentu dapat pelajaran coding! Program social and emotional skill juga menuai hasil nasional. Tahun lalu, Colegio Chico Anysio, sekolah negeri kawasan miskin di Rio de Janeiro, meraih nilai terbaik kelima nasional di Brasil (di tingkat ekonomi siswa setara). Menurut laporan, Ayrton Senna Foundation sampai hari ini telah menolong lebih dari 1,9 juta anak, plus melatih 60 ribu guru per tahun. Teruslah ingat, Ayrton Senna sudah tiada 23 tahun lalu! Pihak keluarga berjanji untuk terus berjuang –secara bisnis– untuk menjaga nama Ayrton Senna. Supaya sang legenda bisa terus memberikan dampak sosial hingga entah kapan. Sebuah tantangan yang luar biasa. Sulit membayangkan nama Ayrton Senna masih terus diingat orang, dan terus memberikan dampak komersial-sosial hingga 50 tahun lagi. Meski demikian, apa yang dia tinggalkan tetap jauh lebih hebat dari kebanyakan legenda olahraga, presiden-presiden, atau tokoh-tokoh apa pun di dunia ini. Banyak orang yang meninggalkan monumen. Tapi, berapa banyak yang hingga 23 tahun setelah kematiannya masih terus menghasilkan begitu banyak uang untuk membantu anak-anak tidak mampu? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: