Nelayan RI Dihargai Rp2,8 M Per Orang

Nelayan RI Dihargai Rp2,8 M Per Orang

JAKARTA -  Ternyata ada enam nelayan Indonesia yang ditahan Polisi Diraja Malaysia sejak 9 Juli lalu. Jika keenam nelayan itu ingin bebas, polisi dari negeri jiran itu mematok harga 1 juta Ringgit (sekitar Rp2.850.000.000 dengan kurs Rp2.850 = 1 Ringgit). Indikator itu membuktikan bahwa hubungan diplomatik poros RI-Malaysia bertepuk sebelah tangan. Ketika Menlu RI, Marty Natalegawa dengan mudah melepas pencuri ikan asal Malaysia, pemerintah negeri jiran justru mempersulit pembebasan nelayan RI. “Data itu baru kami terima dan sedang diproses. Saya masih berkordinasi dengan Pak Teguh (Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu, red),” ujar juru bicara Kementrian Luar Negeri (Kemenlu), Teuku Faizasyah ketika dihubungi di Jakarta tadi malam. Enam nelayan asal Langkat itu ditahan dengan tuduhan menerobos tapal batas perairan Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia. Menurut keterangan, keenam nelayan itu antara lain, Zulham (40), Ismail (27), Amat (24), Hamid (50) Syahrial (42) dan Mahmud (42). Mereka berasal dari Kelurahan Berandan Timur dan Kelurahan Sei Bilah, Kecamatan Berandan Timur, Kabupaten Langkat. Keenamnya melaut sejak 9 Juli lalu dan ditangkap Marine Police Malaysia (MPM). Hingga kini mereka meringkuk di sel tahanan Balai Polis Kuah, Lengkawi, Malaysia. Faiza yang juga menjabat juru bicara Presiden bidang hubungan internasional itu mengakui data terkait penangkapan nelayan itu baru dia ketahui. Menurut Faiza, Kemenlu segera menindaklanjuti laporan itu secepatnya dan akan berkomunikasi dengan kantor perwakilan RI di Malaysia. “Laporan itu telah kami terima dan langsung kami proses. Untuk saat ini, proses masih berjalan. Jadi saya belum bisa memberikan banyak peryataan,” ujar Faiza. Dihubungi terpisah, setelah melakukan pengecekan di lapangan, Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Teguh Wardoyo mengatakan bahwa pembebasan enam WNI itu telah diproses KJRI (Konsulat Jenderal RI) Penang sejak sebulan lalu. Saat ini mereka ditahan di Balai Polis Kuah, Langkawi, Malaysia (bukan di Kedah seperti disampaikan keluarga) KJRI Penang, kata Teguh, telah berkomunikasi dengan penyidik PDRM (Polisi Diraja Malaysia) bernama Nurhadi dan mengeksaminasi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para WNI tersebut. Nahkoda kapal bernama Zulham dalam pemeriksaan mengakui kepada penyidik bahwa mereka tidak sengaja memasuki wilayah Malaysia. Alasannya, mereka sedang mengejar ikan dan secara tidak sadar masuk ke wilayah perairan Malaysia. “Pernyataan itu mempersulit pembebasan karena ternyata kapal mereka dilengkapi GPS,” kata Teguh. Di sisi lain, untuk memudahkan pembebasan, Kemenlu menggunakan dalih bahwa semua ABK tersebut memiliki latar pendidikan rendah karena tak semua lulus SMA. Bahkan, hanya nahkoda yakni Zulham yang bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik. Selain itu, Kemenlu menggunakan dasar bahwa mereka dibelit kesulitan ekonomi sehingga penahanan lebih lama akan merugikan  keluarga di kampung halaman mereka. Namun, disisi lain, polisi Malaysia menemukan bahwa salah satu ABK bernama Hamid diketahui telah dua kali ditangkap karena melanggar batas. Karena itu, PDRM memiliki alasan yang kuat untuk menolak membebaskan mereka. Yusnaini (31), isteri Zulham kepada Sumut Pos (Radar Cirebon Group) mengatakan, dia mengetahui suaminya ditahan Polisi Diraja Malaysia dari seorang TKI asal Langkat yang menjemput keenam nelayan di penjara. Saat itu, TKI tersebut mengirim foto keenam nelayan untuk ditunjukan kepada pihak keluarga. Menurut keterangan TKI tersebut, Polisi Diraja Malaysia meminta pembayaran denda mencapai 1 juta Ringggit per orang. “Kalau suami kami ingin bebas, harus membayar denda mencapai 1 juta ringgit,” kata Yusnaini.  Hal tersebut juga dibenarkan Lisa (23) istri nelayan lain. Menanggapi hal itu, Teguh menyatakan siap pasang badan jika ternyata isu soal 1 juta ringgit itu benar adanya. Dia siap mengajukan tuntutan hukum kepada oknum PDRM jika terbukti melakukan pemerasan kepada WNI tersebut. Hari ini, rencananya Teguh akan mengirimkan utusan untuk meminta keterangan istri Zulham agar mendapatkan fakta upaya pemerasan oleh PDRM tersebut. “Saya siap menelusuri jika ada upaya pemerasan. Saya pastikan mereka yang terlibat akan menyesal,” ancam Teguh. Secara terpisah Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M Riza Damanik mengatakan bahwa berlarut-larutnya pembebasan nelayan tradisional Langkat ini kian mempertegas lemahnya diplomasi RI. “Bayangkan, sudah sejak 1 bulan 18 hari nelayan tanpa perlindungan hukum. Padahal, UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) menjamin hak-hak keenam nelayan tersebut,” kata dia. Menurut Riza, Presiden dan jajarannya kementerian seperti Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Luar Negeri, dan Dubes RI untuk Malaysia serta aparat terkait lainnya tidak punya alasan untuk tidak bertindak melepaskan warga. Dia kemudian mengutip UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) yang mengamanatkan setiap WNI berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga, mestinya nelayan tradisional yang ditangkap tak perlu berhari-hari dan berbulan-bulan berada di tahanan negara lain. “Jika diplomasi pemerintah dilakukan dengan sungguh-sungguh, mereka tidak perlu mengalami hal seperti itu. Ironisnya, keluarga keenam nelayan tersebut baru mengetahui informasi keberadaan kepala keluarga mereka dari TKI. Pertanyaannya, apa yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Dubes Indonesia untuk Malaysia,” sesalnya. Riza mengatakan, baik pemerintah Malaysia maupun Kedutaan RI di Malaysia tidak memberikan informasi terkait status keenam nelayan asal Sumatera Utara tersebut. (jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: