Makan Susah, Apalagi Berobat, Potret Warga Cirebon yang Hidup Memprihatinkan

Makan Susah, Apalagi Berobat, Potret  Warga Cirebon yang Hidup Memprihatinkan

CIREBON-Menikmati usia senja dengan bahagia seharusnya bisa dirasakan semua orang. Namun tidak dengan tiga warga Desa Mayung, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Mereka justru mengalami hal pahit yang memprihatinkan. Mereka tidak berjauhan, tinggal berdampingan di RT 01 RW 01. Salah satunya Mail (60). Pria yang dulu merupakan penarik becak ini mengalami penyakit liver sudah setahun. Awalnya, Mail mengalami pembengkakan di kakinya. Lalu merembet ke seluruh badan. Kini kondisi kaki dan tangannya sudah mengecil. Tapi perutnya kian membengkak. Mail tinggal di rumah kecilnya, bersama istrinya Tuna. Pasangan suami istri (pasutri) itu memiliki tiga orang anak. Semuanya sudah menikah. Namun juga sama-sama hidup serba sulit. Rumahnya saja, yang ditinggalinya saat ini, tak layak. Dia sendiri hanya bisa duduk di ruang tamu yang tak ada kursi tamunya. Rumahnya kecil, hanya ada sebuah kamar, dapur dan ruang tamu. Lantainya hanya berlantai semen. Darin (26), anak kedua dari Mail, menuturkan ayahnya sudah berobat ke seorang mantri saat awal merasakan sakit. Kini ayahnya hanya berobat jalan. Keluarga ingin membawanya ke rumah sakit, tapi Mail menolak. \"Ya bapak udah pasrah, gak mau berobat. Katanya kasihan dari pada uangnya habis buat berobat mending buat makan aja,\" tutur Darin saat dijumpai Radar. Pernah saat hendak berobat ke seorang mantri, mereka harus menjual becak, sumber mata pencaharian Mail. Becak itu dia hanya jual Rp300 ribu. \"Ya gimana lagi, buat makan saja sudah susah. Kalau beras sih ada, tapi untuk beli lauknya itu kadang susah,\" ucap Darin. Mail mengaku tak merasakan sakit apun. Hanya saja dadanya kerap terasa sesak. Perutnya saat ini kian membuncit. Setiap hari Mail mengaku masih bisa menyantap nasi. Hanya saja nafsu makannya berkurang. Dia hanya minum teh hangat manis dan air putih sambil juga ngemil makanan kecil. Mail mengaku sudah ada bantuan yang didapatkannya. Namun dirinya tetap tidak mau berobat. \"Saya udah pasrah saja. Kalau ada uang mending buat makan di rumah,\" ucap Mail. Karena kepasrahan Mail itulah, pihak keluarga belum membawanya ke puskesmas atau rumah sakit. Tak jauh dari rumah Mail, kondisi memprihatikan juga dialami oleh kakek Taslim. Pria berumur 70 tahun lebih itu tinggal sebatang kara tanpa rumah. Taslim hanya tinggal di sebuah saung kayu tanpa dinding. Sehingga saat malam hari, nyamuk dan rasa dingin selalu dirasakan menemani tidurnya. Saung yang berada di pinggir hamparan sawah. Taslim mengatakan dulu dia memiliki rumah. Namun rumahnya itu dijual oleh saudara-saudaranya. Taslim pernah sakit, uang hasil penjualan rumahnya itu digunakan untuk membiayai pengobatannya. Namun kemudian keluarga sudah tidak ada lagi yang peduli dengannya. Sehingga dia tinggal sebatang kara. Seorang polisi lalu membuatkan saung untuk tempat tinggal Taslim. \"Rumah habis dijual, tapi saudaranya gak ada yang bener,\" ujarnya. Kehidupan Taslim lebih memprihatinkan. Dia harus menunggu belas kasih orang untuk mendapatkan sesuap nasi. Meski dirinya hidup serba susah, namun dia tak pernah mau meminta-minta. “Seadanya saja, kalau ada yang ngirim makanan baru makan seddapatnya dari orang,\" tukasnya. Taslim mengaku pernah bekerja menjadi penarik becak di Stasiun Kejaksan Cirebon, sejak ia berumur 17 tahun. Sampai akhirnya dia menikah dan memiliki seoranng anak. Anaknya itu lalu menikah dengan orang Malang, Jawa Timur. Dikatakan Taslim, sudah tiga tahun ini dia hanya tinggal sebatang kara di saung itu. Pakaiannya kotor, sehingga dia lebih memilih bertelanjang tanpa baju. Sejuah ini Taslim mengaku jarang mendapatkan bantuan. Apabila mendapatkan beras dari pemerntah desa, kupon beras raskin itu biasanya ditebus sama orang. Dia hanya mendapatkan Rp5000 perak. Tak beda jauh dengan kondisi Mail dan Taslim, masih di desa yang sama, bahkan berdekatan, ada Suerni (52). Janda dengan dua anak itu sudah sekitar lima tahun ditinggal suaminya meninggal. Suaminya penarik becak, meninggal karena tertabrak mobil saat mencari nafkah. Setelah suaminya yang asal Klayan itu meninggal, Suerni memilih kembali ke rumah orang tuanya di Desa Mayung. Rumahnya juga tak layak, hanya beralaskan tanah. Apabila hujan turun, air bisa masuk ke rumahnya. Untuk menghidupi sehari-hari dia bekerja sebagai buruh tukang cuci. Upahnya hanya Rp10 ribu sampai Rp15 ribu perhari. Uang itulah yang digunakan untuk keperluan makan sehari-hari. Suerni punya harapan kepada kedua anak perempuannya. Terutama anak bungsunya, Zaenab yang saat ini masih bisa sekolah. Sementara kakaknya, tidak sekolah karena mengalami keterbelakangan, tak bisa baca dan berhitung. “Kalau yang bungsu masih bisa sekolah sekarang kelas lima, kakaknya memang sudah tidak sekolah gak bisa baca dan hitung,\" katanya. Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah terkait kondisi ini. Aparat pemdes setempat yang sempat dihubungi wartawan koran ini juga enggan memberikan tanggapan. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: