Soal RUU Penyiaran, Konsep Single Mux Berpotensi Monopoli
JAKARTA- Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyoroti masuknya draft RUU Penyiaran ke daftar pengesahan. ATVSI menekankan akan pentingnya 7 poin, yaitu Rencana Strategis Jangka Panjang, Pembentukan Asosiasi, Penentuan Model Migrasi, Durasi Iklan Komersial, Aturan Iklan Rokok, Persentase Siaran Lokal dan Perizinan. Ketua ATVSI Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penguasaan frekuensi siaran dan infrastruktur oleh single mux operator oleh LPP RTRI menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran. Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini, kata Ishadi, dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. ”Penetapan RTRI sebagai penyelenggara tunggal multipleksing juga berpotensi melanggar Undang-Undang Anti Monopoli, tidak adanya jaminan terselenggaranya standar layanan penyiaran digital yang baik dan kompetitif dan tentunya jaminan kebebasan menyampaikan pendapat melalui layar kaca,” ujar Ishadi. Selain itu, menurut Ishadi, penetapan single mux operator akan berdampak pada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi penyiaran dikelola oleh satu pihak saja. Hal itu menyebabkan pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi. ”Penyiaran digital yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara penyiaran multipleksing atau yang dikenal dengan sistem hybrid, merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux). RUU Penyiaran haruslah visioner harus mempertimbangkan kondisi industri televisi eksisting dan sekaligus dapat mengantisipasi perkembangan teknologi serta dapat memenuhi keinginan masyarakat akan kebutuhan konten penyiaran yang baik dan berkualitas,” katanya. Saat ini, lanjut Ishadi, konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, market share TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Pemain TV FTA di Jerman ada dua dan tujuh di Malaysia. Hampir semuanya dimiliki pemerintah atau partai penguasa. Sementara, single mux operator yang baru saja diluncurkan ternyata bukan milik pemerintah. ”Pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional,” ujarnya. Perkembangan teknologi yang begitu cepat menuntut adanya penyesuaian dalam industri penyiaran. Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah Indonesia dinilai perlu membuat rencana strategis penyiaran nasional. ”Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran, Indonesia perlu membuat rencana strategis penyiaran nasional,” ungkapnya.(ers)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: