Gudang Beras Dijaga Polisi, Maknyuss dan Ayam Jago Masih Beredar Bebas  

Gudang Beras Dijaga Polisi, Maknyuss dan Ayam Jago Masih Beredar Bebas   

  JAKARTA - Sehari setelah digerebek oleh kepolisian, aktivitas penggilingan dan distribusi beras di gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) terhenti. Meski demikian, beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago masih beredar bebas di pasaran. Personel keamanan menjaga ketat gudang yang terletak di KM 60 Jalan Rengas Bandung, Karangsambung, Kedungwaringin, Bekasi, Jabar tersebut. Sedari pagi, ketua regu pengamanan Mursid Sudjono menahan para awak media yang akan mengambil gambar sebatas di luar pagar depan. “Perintah dari atasan, silakan kalau ingin melihat, tapi cukup di ring 1 saja,” katanya pada Jawa Pos (Radar Cirebon Group), kemarin (22/3). Aktivitas bongkar muat pun sepi. Tampak deretan truk-truk besar terparkir di halaman gudang. Dari dalam gudang pun tidak terdengar ada aktivitas penggilingan gabah. Menurut salah satu personel keamanan, Yusuf B Sanusi, gudang yang disegel adalah gudang nomor 1, bangunannya masih baru. Di sekelilingnya juga terdapat gudang-gudang kecil yang difungsikan untuk keperluan bongkar muat. Serta satu instalasi penggilingan. “Gabah biasanya masuk dan digiling di situ,” katanya menunjuk ke dalam area kompleks. Informasi yang dihimpun, hampir 90 persen pekerja dari gudang tersebut adalah warga lokal. Jumlahnya sekitar 400 hingga 500-an orang. Ada yang bekerja sebagai karyawan, ada yang kuli dan buruh lepas. Warga sekitar tak pernah mendengar ada praktik pengoplosan di gudang tersebut. Mereka juga tidak pernah melihat maupun membeli beras-beras dengan merk dari PT IBU. “Kami kalau beli beras eceran, biasanya di Pasar Lemah Abang,” kata Erti, salah seorang warga. Meski demikian, beberapa warga menyebutkan bahwa beras perusahaan ini tergolong bagus. Ardi, seorang warga kampung Babakan, salah seorang anaknya pernah bekerja di PT IBU. Setiap Lebaran, PT IBU memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) berupa beberapa kantong beras merk gudang mereka. “Berasnya bagus, putih,” kata Ardi. Hal ini juga dibenarkan Endung, seorang warga Kampung Asem. Seorang anaknya bekerja di PT IBU. Saat Lebaran, mereka juga memasak dengan beras hadiah dari PT IBU yang disebut Endung lebih enak dari beras yang mereka konsumsi setiap harinya. “Ya enaknya cuma dua hari, habis itu balik lagi ke beras biasa,” tutur Endung. Komisaris Utama PT Tiga Pilar Sejahtera (PT TPS), induk perusahaan PT IBU, Anton Apriantono meyakinkan bahwa memang tidak ada praktik mengoplos di PT IBU. Ia menjelaskan, pihaknya memproduksi beras dengan label dan merek. Bukan memproduksi beras khusus dari varietas dan kualitas tertentu. “Proses pencampuran memang ada, tapi antar varietas, itu namanya bukan pengoplosan,” katanya. Selain itu, beras yang diproduksi, kata Anton, harus sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan. “Lalu kami jual dengan nama mereka seperti Maknyuss, bukan dengan nama varietasnya,” jelasnya. Sementara itu, kemarin sempat beredar kabar bahwa beras Ayam Jago dan Maknyuus ditarik dari pasaran. Meskipun demikian, di sejumlah retailer masih dijumpai beras tersebut. Minimarket “A” di kawasan Rawabelong, Jakarta Barat, misalnya. Jawa Pos mendapati satu kemasan beras Maknyuus berukuran lima kilogram masih dipajang bersama beras merek lainnya. Begitu pula di Supermarket “S” di kawasan Pos Pengumben, Jakarta Barat. Dua jenis beras Ayam Jago dalam kemasan lima kilogram masih terpajang bersama sejumlah beras lainnya. Jumlahnya pun tidak hanya satu dua bungkus, karena masih banyak yang belum terjual. ’’Belum ada pemberitahuan penarikan,’’ ujar salah seorang petugas di swalayan tersebut. Hal senada juga disampaikan Ahmad Wennis Harahap, pedagang beras di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Masih ada tiga kemasan beras Maknyuus ukuran lima kilo yang dia jual berdampingan dengan beras merek lainnya. ’’Tinggal itu sisanya, saya ambilnya sebelum Lebaran,’’ terangnya. Wennis menuturkan, dia sudah mengetahui bahwa perusahaan yang memproduksi beras Maknyuus sedang bermasalah. Dia juga mengetahui bahwa gudangnya sudah disegel pihak berwajib. Namun, belum ada permintaan penarikan beras tersebut dari tokonya oleh pihak manapun. Wennis mengaku tidak pernah mengambil beras Maknyuus dalam jumlah banyak. Rata-rata, dalam sekali kulakan, dia mengambil 20 bungkus ukuran lima kilogram. Selain karena ada larangan memborong beras dalam jumlah besar, dia juga terbentur selera konsumen. ’’Pembeli nggak begitu suka. Katanya tidak begitu enak dibandingkan beras saya yang lain,’’ tambahnya. Terpisah, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menuturkan, pihaknya juga hadir saat penggerebekan Kamis (21/7) lalu. Meskipun demikian, pihaknya masih akan meneliti lebih jauh apa yang dilanggar oleh PT IBU. ’’Dari sisi hukum persaingan, kami sedang melihat kemungkinan adanya praktik kecurangan dalam penentuan biaya produksi,’’ terangnya saat dikonfirmasi kemarin. Sebagai contoh, beras medium dikondisikan seolah Premium dan dijual dengan harga premium. Tentunya, biaya produksi beras medium berbeda dengan beras premium. Atau berasnya dioplos. Itu bisa mengakibatkan persaingan menjadi tidak sehat. Pihaknya masih akan menyelidiki kemungkinan tersebut lebih lanjut. Pihaknya juga akan melihat sisi monopoli dagangnya. ’’Apakah perusahaan ini dominan di pasar atau tidak,’’ lanjutnya. Mengenai kemungkinan pemanggilan terhadap manajemen PT IBU, Syarkawi menyatakan belum mengetahui. Sebab, hal itu menjadi kewenangan tim investigator. Merekalah yang akan memutuskan apakah perlu pemanggilan atau tidak. Di luar itu, Syarkawi menjelaskan bawa sistem distribusi beras saat ini masih terlalu panjang. Itu membuat disparitas harga dari tingkat petani hingga ke konsumen cukup tinggi. Dimulai dari pembelian gabah petani oleh pengepul, lalu ke penggilingan. Dari penggilingan masuk ke pedagang besar, lalu turun ke agen. Dari agen, turun ke retailer. Baru setelahnya beras bisa sampai ke konsumen. Dari petani ke pengepul, pemainnya cukup banyak sehingga terjadi kompetisi. Tapi, ketika masuk ke penggilingan dan pedagang besar, jumlahnya semakin kecil. ’’Itu dikuasai hanya oleh lima pemain besar,’’ ungkapnya. Dari sisi hukum persaingan, penguasa pasar itulah yang paling berpotensi mengambil margin tinggi dari sistem distribusi beras. Kondisi itu membuat disparitas harga antara petani dengan konsumen menjadi tinggi. Dengan harga gabah Rp7.000 misalnya, harga yang sampai di konsumen bisa mencapai Rp10.500, bahkan lebih. Margin tersebut bisa berupa keuntunga, namun bisa juga berupa biaya yang ditanggung pedagang atau penggilingan. Sementara, yang diinginkan pemerintah, disparitas harga tersebut harus bisa ditekan. Dalam contoh tersebut, ujarnya, presiden ingin harga gabah bisa Rp8.000, sementara di konsumen harganya turun menjadi Rp9.000. ’’Kita harus dorong efisiensi di rantai distribusi, juga memperpendek rantai distribusi itu,’’ tambahnya. Keuntungan yang didapatkan oleh distributor sebisa mungkin diturunkan. (tau/byu/ken)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: