Sastra dan Biografi Kekuasaan Raja-raja Nusantara

Sastra dan Biografi Kekuasaan Raja-raja Nusantara

KERAJAAN-kerajaan di dunia lahir dan dibesarkan oleh sastra. Bentangan sejarah politik dari jaman Mesir Kuno di Afrika hingga Mataram di Solo dan Jogja, senantiasa mempertontonkan silang sengkarut suksesi dan legitimasi. Di sana, kekuasaan seperti sebuah kubah yang berdiri di puncak bangunan sistem kepercayaan setiap masyarakatnya. Dan perjumpaan teks-teks kekuasaan dengan mereka yang dikuasai, hingga bagaimana teks masuk dan memengaruhi, semua ”diurus” oleh sastra. Ada banyak sekali teori legitimasi. Di zaman feodal, kekuasaan pertama-tama bersandar pada yang di luar sejarah: Tuhan, dewa-dewa, benda pusaka, lelembut dan segala yang bersifat supra materi. Seorang raja harus yang bukan ”manusia biasa”. Penguasaan militer hanyalah hardware yang membutuhkan perangkat lunak berupa penaklukan kesadaran publik agar tercipta kepatuhrelaan. Di pedalaman hutan Amerika Tengah, suku Maya dipimpin seorang kepala yang terkoneksi dengan roh-roh yang bergentayangan dalam sastra lisan para tetua. Di Mesir, unit-unit politik kecil semacam itu dilebur dalam sistem monarki Menes yang merupakan titisan Dewa Osiris. Kekuasaan Firaun bertumpu pada sebuah legenda tentang kematian Osiris oleh Set, dan Horus sebagai anak Osiris membalaskan dendamnya. Dalam egyptology, Firaun adalah Horus, Tuhan bagi bangsa Mesir. Tidak hanya sastra lisan, legenda Horus terdokumentasi dengan baik dalam tembikar dan dinding-dinding piramid. Akar sejarah kekuasaan di Yunani klasik juga dibentuk oleh legenda dan mitologi-mitologi. Keduanya menjadi tema dari sastra lisan yang berkembang dan banyak dituliskan dalam syair-syair kepahlawanan. Maka, jagat nusantara mengenal legenda, cerita rakyat, babad, hikayat, kronik, dan sederet karya sastra di mana para penguasa menumpukan kekuasaannya pada itu. CC Berg, seorang profesor kenamaan dari Universitas Leiden, menggarisbawahi beberapa hal yang menjadi karakteristik pokok dari karya-karya sastra kuno yang belakangan oleh sebagian kalangan disebut sebagai historiografi tradisional. Dalam karya-karya sastra kuno, kesaktian ditempatkan sebagai titik sentral di mana berbagai peristiwa alam termasuk yang menyangkut kehidupan manusia berpangkal. Penjelasan-penjelasannya juga beranjak dari kepercayaan akan klasifikasi magis yang memengaruhi segala sesuatu. Bisa mahluk hidup, benda mati, baik bagi pengertian-pengertian yang dibentuk dalam akal manusia maupun sifat-sifat yang terdapat dalam materi. Dengan begitu, penghubungan antarsesuatu yang sebetulnya nonsense, dapat ditarik dengan gampang. Hal lainnya adalah bahwa kebanyakan tokoh dalam historiografi tradisional tidak lain para pelaku magisme itu sendiri. Para pujangga keraton sebagai kaum cerdik pandai, kreator ulung, dikenai tanggung jawab itu. Ia ditugasi membuat komunikasi politik dengan publik lewat karya tulis yang berideologi istana-sentris dan bergenre religiomagis. Keagungan dan kesakralan raja menjadi tema yang terus dikonstruksi dalam dunia kreatif para pujangga. Mitologisasi pun terjadi. Dan, sejarah membuktikan betapa cara tersebut cukup mangkus menanamkan kepatuhan massa. Misalnya kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa atas titah raja Erlangga. Kitab ini menjadi satu dari sederet panjang di mana seorang raja melegitimasi kekuasaannya melalui penulisan karya sastra. Lewat kitab Arjunawiwaha, orang jadi ”tahu” bahwa Erlangga adalah raja digdaya—bak Arjuna, ia tak terkalahkan oleh musuh-musuhnya. Kita juga bisa menyebut Babad Sultan Agung. Babad ini diawali dengan pengetengahan kehebatan Sultan Agung dalam penaklukan Palembang. Tersebutlah bahwa Sultan Agung memiliki segudang kesaktian yang salah satunya dalam sekejap bisa pergi ke mana suka. Sultan Agung juga bisa melangsungkan pertemuan bahkan dengan tokoh-tokoh pewayangan seperti Semar dan Arjuna. Sultan Agung sendiri mewarisi kerajaan yang sejak awal pembentukannya, pertama-tama dikukuhkan oleh sebuah fiksi yang masih populer hingga hari ini. Pada awal paruh kedua abad enam belas, Mitos Ratu Kidul yang sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa dan Sunda dimanfaatkan Panembahan Senopati untuk melegitimasi kerajaannya. Kitab Babad Tanah Jawi dan serat Wedotomo menyebutkan, penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, menjadi istri dan sekutu pendiri Mataram juga generasi-generasi penerusnya. Hal tersebut mengingatkan kita pada Babad Lombok di mana raja Khmer dan raja Bima mengawini putri naga demi kesuburan negerinya. Kekuasaan raja-raja juga dikukuhkan karya-karya sastra yang mengisahkan asal-usul dan genealogi penguasa. Contoh bagus dalam hal ini kita dapati pada Babad Tanah Jawi. Babad yang ditulis Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III tersebut mengisahkan garis keturunan raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram. Melintasi nenek moyang Mataram Islam, raja-raja Hindu Jawa, para nabi, hingga ke Adam yang pernah bermukim di surga. Menaut-nautkan diri dengan para pembesar dan orang-orang suci tentu suatu ideologi. Perpaduan keduaanya sangat efektif melahirkan pengakuan massa: nasab para pembesar terjelaskan dalam teori politik ingatan, sedang nasab para nabi, mengingat Islam sudah menjadi mayoritas, terjelaskan dalam teori politik identitas. Dalam hal ini, periodesasi-periodesasi tidak berlaku. Di Cirebon sendiri yang notabene dipimpin seorang wali, karya sastra tak lepas dari misi mitologisasi. Dalam babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon, tokoh Sunan Gunung Jati digambarkan sebagai wali yang sakti mandraguna. Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan Mesir-Jawa yang hanya ditempuh dengan berjalan kaki di atas air laut. Ia juga bisa mengubah pohon menjadi emas. Bisa mengubah bokor menjadi bayi. Dan Sunan Gunung Jati yang luar biasa sakti itu konon pernah mikraj bersama nabi Khidir menembus tujuh lapis langit. Jika Pakubuwono III mendaraskan nasabnya pada para nabi, Sunan Gunung Jati justru meet up dan menerima wasiat langsung dari mereka. Ia bertemu dengan Nabi Isa, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Adam dan empat malaikat yang masing-masing memberinya nama. Di langit lapis tujuh, sang Sunan bertemu dengan nabi Muhammad lalu dihadiahi sebuah jubah. Sampai saat mikraj Sunan Gunung Jati berakhir di puncak Masjid Sungsang dan ia kembali ke Cirebon dengan mengenakan cincin pemberian Nabi Sulaiman Namun, tidak ada bukti bahwa Sunan Gunung Jati memerintahkan para pujangga untuk membuat puja sastra tentang dirinya. Karya-karya sastra yang mendewa-dewakan Sunan Gunung Jati justru ditulis para penerusnya seabad lebih setelah kematiannya. Kepentingan legitimasi semacam ini bisa kita lihat juga dari selisih isi antara naskah Pararaton dan Negarakertagama saat keduanya membicarakan Ken Arok. Dalam kitab Pararaton, Ken Arok disebutkan lahir di desa Pangkur, dari pasangan Ken Endok dan Gajah Para. Mereka seorang petani. Ketika Gajah Para tengah di sawah, di semak belukar sebuah kebun, Ken Endok ditemui Dewa Brahma. Peristiwa tersebut membuat Ken Endok tiba-tiba mengandung dan Gajah Para meninggal dunia. Ken Arok pun lahir dan tumbuh sebagai bocah yang dikenal nakal. Ia kerap mencuri dan berjudi sabung ayam. Bahkan saat dewasa, tidak hanya mencuri, tapi juga sampai membunuh, merampok dan memperkosa—Ken Arok seorang gali. Namun dalam teks Negarakertagama, teks yang ditulis oleh penguasa Majapahit yang mengklaim sebagai keturunan dari wangsa Rajasa, Ken Arok dikisahkan agung tanpa cela. Ken Arok disebut-sebut sebagai Raja Perwira Yudha Putra Girinatha yang lahir di dunia tanpa bunda. Semua orang bersujud di kakinya sebagai tanda bukti akan ketaatan dan kepatuhan serta kebesaran raja. Ken Arok yang sejak memerdekakan Tumapel dari Panjalu bergelar Ranggah Rajasa itu, dilukiskan sebagai seorang penggempur musuh dan pahlawan bijaksana. Legitimasi yang sudah diberikan sastra tidak hanya berlaku di jamannya. Sebab karya-karya sastra kuno, memungkinkan kita yang hidup di hari ini bersentuhan dengan banyak sekali simbol keagungan dan kebesaran para raja di masa lalu. Terlepas dari apakah informasi-informasi tersebut kandas di tengah rasionalitas jaman atau terus memanjang dalam waktu—sebagaimaan dapat kita temui dengan mudah di pelosok-pelosok kota di republik ini, namun jelas bahwa keraton-keraton se-nusantara telah berhutang banyak pada sastra. Dalam perspektif inilah saya melihat Festival Keraton Nusantara 2017 yang hari ini masih berlangsung. FKN secara resmi berlangsung lima hari dengan dihadiri 50 keraton peserta, 100 keraton peninjau dan sekitar 10 ribu kepala sebagai penggembira. Keraton Kasepuhan sebagai tuan rumah sendiri konon menyediakan 5 ribu kamar selama 1 minggu untuk menampung para tamu. Berbagai macam event dan acara digelar. Mulai dari pameran pusaka, musyawarah raja-raja, arak-arakan, hingga lomba senam. Namun dalam lima hari yang padat acara tersebut, 5 hari yang penuh euforia dan gegap gempita tersebut, saya tidak melihat sastra meski cuma batang hidungnya. Ini menarik. Bukan karena saya pegiat sastra, namun karena saya tahu, keraton-keraton se-nusantara memang telah berhutang banyak pada sastra. Alhasil, FKN tampak seperti parade lupa. Sebuah parade tanpa percakapan yang intim, dalam, bermartabat, dan menyehatkan pikiran. Bagaimana mungkin kekuasaan-kekuasaan yang lahir dan dibesarkan oleh sastra, dalam resepsi akbarnya justru mengabaikan sastra. Tanpa bermaksud apa-apa, namun FKN kali ini memang tampak seperti potongan puisi Lupa yang ditulis penyair Joko Pinurbo di Jogja sana:                  Musuh utama lupa ialah kapan.                 Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan.                 Kapan dan kapan-kapan ternyata sering kompak juga.  Namun saya percaya, lupa pun ada batasnya. Pada suatu ketika di suatu masa, sebuah jaman yang limbung, zaman yang chaos nilai dan mangmung, akan mengangkat tangan dan memohon sedekah agem-agem dari sastra—sebagaimana sebagian masyarakat Surakarta pernah merasa terselamatkan oleh petatah-petitih pujangga Ronggowarsito. Sebab lupa, mengutip baris terakhir puisi di atas, hanyalah mata waktu yang tidur sementara. (*) *Fathan Mubarak, hamba Allah, tinggal di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: