Banyak Teman karena Sepang
Saya ingin tahu, Anda punya berapa nama panggilan? Saya yakin tiap orang punya lebih dari satu nama panggilan. Dan setiap nama menandai siapa temannya, kapan eranya, atau apa bidang pertemanannya. Saya sendiri mungkin punya lebih dari tiga nama panggilan. Waktu kecil, terbiasa dipanggil ”Ulik”. Baik oleh orang tua maupun teman-teman bermain masa kecil. Jadi, kalau ada yang memanggil ”Ulik”, dia pasti teman sejak lamaaaaaaa. Waktu SMA di Amerika, karena nama ”Azrul” sulit dilafalkan, saya banyak dipanggil dengan sebutan ”Rully”. Toh, tanda tangan saya sejak SD memang bertulisan nama itu. Waktu kuliah, saat kepala saya gundul selama lebih dari setahun, saya sempat dipanggil teman-teman Indonesia ”Botak”. Waktu rambut saya warna-warni dan telinga kiri bertindik, ya dipanggil normal ”Azrul”. Belakangan, oleh teman-teman bersepeda, banyak dipanggil ”AA” alias inisial dari nama lengkap saya. Walau kadang dipanggil ”Kepsek” karena dianggap kepala sekolah ”Azrul Ananda School of Suffering” (kelompok sepeda saya mungkin memang paling menyiksa rute dan kecepatannya). Tapi, ada sekelompok lagi yang selama belasan tahun terakhir memanggil saya dengan sebutan ”Aza”. Panggilan itu berdasar kode tiga huruf saya saat menulis di Jawa Pos. Dan pertemanan ini juga terbentuk karena kode ”Aza” itu dulu sering banget digunakan untuk menulis tentang Formula 1. Mereka yang memanggil saya ”Aza” memang teman-teman yang selama belasan tahun terakhir bertemu atau berkumpulnya ya pas berkaitan dengan F1. Baik itu nonton bareng di kafe/hotel maupun nonton bareng langsung ke sirkuit… Akhir pekan lalu (29 September–1 Oktober) adalah momen istimewa bagi kami (saya dan komunitas F1 Mania Surabaya alias mereka yang memanggil saya ”Aza”). Kami bertemu lagi di Malaysia, menyaksikan perhelatan terakhir Formula 1 di Sirkuit Sepang. Bagi kami, sirkuit itu memang bersejarah. Sejak 2000 atau edisi kedua lomba, berkali-kali kami bersama menonton lomba di sana. Grand Prix Malaysia memang banyak membantu membuka akses bagi penggemar Indonesia untuk menonton langsung. Sebab, itulah lomba yang paling terjangkau untuk dilihat secara langsung di sirkuit. Kalau sudah berakhir pekan nonton F1, ya sudah, lupa yang lain. Pagi sampai malam di sirkuit, setelah itu di kota kumpul lagi, ngobrol dan makan bersama. Ada teman yang sudah 16 kali menonton langsung F1 ke Sepang. Saya sendiri lupa berapa kali. Tidak sebanyak itu, tapi yang jelas lebih dari 12 kali. Sekali lagi, karena lomba ini paling terjangkau. Ada banyak cerita yang sampai sekarang saya kenang. Terus terang, kelompok ini tergolong koplak. Saya juga bertemu banyak kelompok dari kota lain, tapi banyak yang terkesan jaim. Kalau kelompok F1 Mania Surabaya ini tidak ada malunya. Pernah, di tahun-tahun awal, mereka seolah berlomba mengoleksi pernak-pernik sirkuit yang paling keren. Maksudnya bukan beli, melainkan melepas/mencopot/mengambil. Misalnya bendera-bendera lomba yang terpasang di tiang lampu. Atau hiasan-hiasan meja berbau F1. Atau yang lain-lain yang seharusnya tidak dilepas/dicopot/diambil. Wkwkwkwk… Kebiasaan itu terbawa ke negara lain. Waktu di Tiongkok, di Sirkuit Shanghai, mereka bahkan berani menawar baju yang dipakai petugas lintasan. Karena mereka tahu, seragam petugas itu pasti tidak bisa dibeli di booth merchandise mana pun! Wkwkwkwk… Mereka juga pandai menyusup. Menemukan cara untuk masuk ke kawasan-kawasan tertutup lintasan. Demi bertemu pembalap, berfoto bersama, dan mendapatkan tanda tangan. Pernah, waktu F1 masih heboh-hebohnya di Malaysia awal 2000-an dulu, kami kompak duduk bersama di depan sebuah acara promosi sponsor tim. Waktu itu tim BAR-Honda (masih ada sponsor rokok). MC-nya aktif berbagi hadiah eksklusif, berupa berbagai merchandise asli tim F1, bagi penonton yang bisa menjawab pertanyaan. Kami pun duduk bersama dan teman-teman meminta saya (sebagai pengamat F1) untuk jadi joki kuis. Ada pertanyaan, saya beri tahu jawaban, dan satu per satu mereka dapat hadiah. Ada yang dapat topi, kaus, dan lain-lain. Mungkin waktu itu mereka juga mengetes kemampuan saya. Apakah benar saya ini pengamat F1… Wkwkwkwk… Waktu itu saya tahu hadiah terbaik akan diberikan terakhir. Jadi, saya terus mengumpani teman-teman jawaban sampai pertanyaan terakhir. Dan hadiahnya… Tas ransel BAR-Honda yang kalau beli waktu itu harganya jutaan rupiah. Lumayan! Tas itu sampai hari ini masih saya simpan. Teman-teman F1 Mania saya ini juga tahan banting. Mereka tidak manja nonton di tribun terbaik. Tahun ini di sini, tahun depan di sana, lalu lain kali di tempat lain. Jalan kaki jauh bukan masalah. Padahal, Sepang ini panasnya minta ampun. Suhu udara pasti di atas 30 derajat Celsius dan suhu permukaan lintasan bisa lebih dari 50 derajat Celsius. Saking panasnya, pernah pada satu tahun, saat liputan, saya minum sepuluh botol air dan tidak sekali pun ke toilet! Sirkuit Sepang ini memang seperti ujian untuk para peliput. Dulu, waktu banyak wakil media dari Indonesia ke sana, kelihatan siapa yang rajin dan tidak. Yang tidak rajin banyak berdiam di ruang media yang dingin serta penuh suplai makanan dan minuman. Yang niat meliput ya berpanas-panas dan berlembap-lembap ria di luar. Pernah pada satu momen hanya saya dan dua orang lain yang rela berpanas-panasan menunggu pembalap. Yang satu Arif Kurniawan (Bola) dan satu lagi Bobby Arifin (dulu Bola, sekarang kontributor Jawa Pos). Lainnya entah ke mana. Sepertinya berpanas-panasan itu adalah indikator hidup. Bukannya mau nyombong, tapi kalau dilihat perjalanan hidupnya, Mas Arif punya karir mantap di dunia media. Juga, Bobby Arifin menikmati hidup sekarang secara berlebih bukan karena malas-malasan. Saya juga lumayan lah… Wkwkwk… Tidak terasa, 19 tahun sudah F1 diselenggarakan di Malaysia. Tidak terasa, setelah tahun ini tidak akan ada lagi balapan F1 di Malaysia. Ya, masih ada Singapura dan mungkin ada negara Asia Tenggara lain yang menyusul dalam beberapa tahun ke depan. Tapi, Malaysia telah mencatat sejarah sebagai pionir. Malaysia-lah negara Asia Tenggara pertama yang menyelenggarakan F1. Bahkan sebelum mereka, hanya Jepang negara di Asia yang pernah menyelenggarakannya. Dan 19 tahun itu masa yang lama. Akhir pekan lalu saya dan teman-teman F1 Mania Surabaya sempat bertemu sebentar di kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Sulit dipercaya kami sudah mengenal satu sama lain hampir 20 tahun! Hidup ada naik turunnya. Ada sahabat yang kini telah tiada, tidak bisa ikut bersama kami kumpul-kumpul di Malaysia. Mendiang Pak Sugeng Haryadi itu dulu bersemangat sekali kalau nonton F1. Walau sakit, dia mau jalan kaki jauh bersama saya untuk menikmati sebuah lomba secara utuh. Juga, beliau adalah F1 mania sejati, saat meninggal dimakamkan dengan mengenakan kemeja Ferrari, tim favoritnya. Ada yang terus menunjukkan semangat luar biasa. Teman saya Gusman Gumaro itu tidak berada dalam kondisi fit. Bertahun-tahun sudah bertarung melawan penyakit langka yang mengganggu mobilitasnya. Tapi, akhir pekan lalu dia ikut nongol di Sepang. Padahal, dua pekan sebelumnya sudah nonton juga di Singapura. Saya yakin dia datang ke Sepang bukan untuk F1-nya lagi. Melainkan untuk bisa seru-seruan bersama teman-teman lagi… Dan karena bertemu teman-teman inilah saya berterima kasih kepada Grand Prix Malaysia. Kita bisa kenalan dengan siapa saja di mana saja. Tapi, menjadi teman dan terus berteman selama belasan tahun? Sekali lagi, terima kasih Sirkuit Sepang dan Grand Prix Malaysia… (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: