KPK Kaji Keluarkan Sprindik Baru, Setnov Berpeluang Tersangka Lagi

KPK Kaji Keluarkan Sprindik Baru, Setnov Berpeluang Tersangka Lagi

JAKARTA- Peluang terbitnya sprindik (surat perintah penyidikan) baru untuk Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) terbuka. KPK tak membantah kemungkinan menerbitkan sprindik baru usai kalah di praperadilan. Apalagi, sebelumnya KPK pernah beberapa kali melawan balik hasil praperadilan dan berujung kemenangan di pengadilan. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang usai menerima perwakilan petani di lobi KPK kemarin (5/10). Dia menuturkan, KPK sedang mengkaji secara detail seperti apa langkah-langkah yang bakal dilakukan terhadap Setnov. Tak bisa terburu-buru. “Intinya adalah itu (kasus E-KTP) tidak boleh berhenti. Harus lanjut karena kami digaji untuk itu,” terangnya. Yang membedakan, kali ini pihaknya akan mengevaluasi ulang celah-celah yang ada pada penetapan tersangka sebelumnya yang berujung kekalahan di praperadilan. “Kami harus kalem, pelan, tak terburu-buru, prudent (hati-hati), ada beberapa kelemahan yang harus kami tutup,” ujar Saut. Peluang tersebut diamini oleh peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter. Menurut dia, KPK beberapa kali membuktikan bahwa putusan hakim praperadilan itu keliru. Caranya, dengan menerbitkan sprindik baru. Sejak kasus Budi Gunawan, ada 24 penetapan tersangka oleh KPK yang digugat melalui praperadilan, termasuk penetapan tersangka Setya Novanto. Dari jumlah tersebut, enam di antaranya dibatalkan. “Dari enam itu, yang bisa dibilang kekalahan mutlak ada tiga. Termasuk yang SN (Setnov, red),” urainya. Masing-masing Budi Gunawan, Hadi Purnomo, dan Setya Novanto. Sisanya dinilai ICW merupakan kasus minor. Dalam kasus mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, misalnya, sekitar tiga pekan setelah penetapan tersangkanya dibatalkan hakim, KPK menerbitkan sprindik baru. Begitu pula kasus Bupati Sabu Raijua Marthen Luther Dira Tome. KPK menetapkan lagi sang bupati sebagai tersangka. Kedua kasus itu sudah diputus pengadilan. Ilham divonis empat tahun penjara, sementara Marthen tiga tahun. Karena itu, tuturnya, peluang KPK menersangkakan kembali Setnov masih terbuka lebar. Selama KPK yakin dengan bukti yang ada, tidak mustahil Setnov menjadi tersangka lagi melalui sprindik baru. Sementara itu, dalam diskusi bersama Ikatan Alumni Universitas Indonesia di Salemba kemarin, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mempersoalkan dukungan pemerintah kepada KPK. Political will pemerintah dinilai masih belum utuh dalam upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi. Dalam sebuah pertemuan di Malaysia pekan lalu, Laode bertanya resep pemberantasan korupsi yang dilakukan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura kepada direkturnya langsung. Dengan jumlah perkara korupsi yang nyaris nihil, keberadaannya masih dipertahankan sampai saat ini. “Jawabannya hanya dua kata. Political will,” kata Laode. Sejak awal, pemerintah Singapura menginginkan penegakan hukum benar-benar dibereskan. “Sedangkan kita begini terus. Terombang ambing, political will nggak tampak,” tuturnya. Lebih spesifik, political will tidak kompak antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketidakseimbangan itu membuat komitmen pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan. “Saya pikir dari pemerintah (eksekutif) cukup. Tapi mungkin dari parlemen (legislatif) kurang,” ucapnya. Padahal, political will mencakup ketiga unsur yang ada. Beberapa bentuk dukungan dari pemerintah, tutur Laode, seperti Strategi Nasional Antikorupsi yang dikerjakan bersama, dengan komunikasi melalui kantor presiden. KPK akan menjadi instansi pemerintah yang akan menjalankan stranas pencegahan korupsi. Terpisah, opini masyarakat yang menilai adanya masalah dalam putusan praperadilan yang membebaskan Setya Novanto dari tersangka korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP), semestinya bisa menjadi pemicu bagi KPK. KPK dalam hal ini diminta untuk tidak ragu menerbitkan sprindik untuk menetapkan lagi Setnov sebagai tersangka. Pernyataan itu disampaikan oleh aktivis Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Almanzo Bonara di Jakarta, kemarin (5/10). Menurut Almanzo, pasca putusan hakim Cepi Iskandar pada Jumat pekan lalu, muncul serangkaian manuver yang dilakukan untuk melemahkan KPK. “Upaya ini bertujuan melindungi Setya Novanto dari strategi baru KPK dalam menuntaskan skandal mega korupsi E-KTP,” kata Almanzo. Menurut dia, ada dalil-dalil yang sengaja dilemparkan untuk menyesatkan opini publik, yang menyatakan bahwa KPK telah melakukan kesalahan prosedur dalam mentersangkakan Setya Novanto di korupsi E-KTP. Hal tersebut memaksa KPK untuk tidak melakukan pemeriksaan ulang. “Bagi kami KPK punya sejumlah alat bukti yang berbeda dengan alat bukti yang sudah diajukan sebelumnya di praperadilan, sehingga tidak ada alasan bagi pihak-pihak manapun untuk menghalang-halangi upaya KPK dalam mengungkap kembali skandal korupsi E-KTP,” ujarnya. Dia menilai, meskipun dalam putusan praperadian memerintahkan agar termohon (KPK) memberhentikan penyidikan, bagi kami KPK harus tetap berani dan konsisten mengusut tuntas keterlibatan Setnov. Bila KPK sudah mengantongi sejumlah alat bukti, maka harus segera mengeluarkan sprindik baru agar masyarakat dapat meyakini adanya kepastian dalam hal pemberantasan korupsi serta penegakan hukum. Almanzo menambahkan, GMPG akan tetap mendukung upaya pemberantasan korupsi, termasuk yang melibat Setnov. Sudah terlihat jelas bahwa kasus E-KTP ini telah merugikan seluruh keluarga besar Golkar. Apalagi posisi politik Golkar saat ini sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK, tentunya akan berdampak negatif terhadap citra serta kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi. “Presiden Jokowi sendiri mengatakan KPK harus diperkuat, tidak boleh dilemahkan. Maka semestinya tak ada yang bisa menghalangi upaya KPK dalam menuntaskan kasus korupsi termasuk korupsi E-KTP. (byu/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: