Soal Upah Minimum, Menaker: PP 78 Sudah Final

Soal Upah Minimum, Menaker: PP 78 Sudah Final

JAKARTA - Selepas penentuan Upah Minimum Provinsi tahun 2018 awal November lalu, aksi demonstrasi masih sering digelar. Menaker Hanif Dhakiri kembali menegaskan bahwa skema penentuan UMP melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 adalah final dan tidak bisa diganggu gugat. \"Pemerintah tidak bisa didikte oleh segelintir orang yang menolak skema pengupahan baru,” kata Hanif kemarin (11/11). Menurut politikus PKB itu, PP 78 sudah ideal karena mempertimbangkan semua kepentingan. Kepentingan pekerja, pengusaha dan yang belum bekerja. Hanif menjelaskan, dengan PP 78 tersebut pekerja diuntungkan karena upah dipastikan naik setiap tahun. Pengusaha juga bisa memprediksi kenaikan upah sehingga tidak menimbulkan goncangan dan membantu merancang keuangan perusahaan. \"Kalau kenaikan upah bisa diprediksi, rasional. maka perusahaan bisa berkembang dan pada akhirnya merekrut pekerja baru,\" ujar Hanif. Tahun depan upah minimum naik 8,71 persen. Dengan situasi ekonomi dunia yang penuh tantangan seperti saat ini, angka kenaikan tersebut dinilai Hanif ideal dan patut disyukuri. \"Oleh karena itu saya minta semua pihak termasuk teman-teman pekerja untuk bisa menerima keputusan ini,\" tegasnya. Jika upah digenjot terus semakin tinggi, Hanif menambahkan, maka dikhawatirkan banyak perusahaan bangkrut dan menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal. \"Nanti kalau terjadi banyak PHK protes juga. Jadi saya minta yang sudah bekerja jangan menghambat yang belum bekerja. Ikuti saja PP 78,\" ungkap Hanif. Selain itu, Hanif meminta untuk menyetop segala bentuk demonstrasi dan aksi turun ke jalan. Protes bisa disampaikan melalui dialog. “Rekan-rekan buruh bahkan bisa dengan mudah berkirim pesan menyampaikan ide-ide mereka ke saya setiap hari. Jadi melakukan demo sudah tidak relevan lagi,\" pungkasnya. Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan bahwa buruh sudah solid. Aksi akan terus digelar sampai PP 78 dicabut. Menurut anggota Governing Body International Labour Organization (ILO) ini, PP 78 bertentangan dengan amanat UU 13/ 2003 yang mengamanatkan bahwa penetuan upah harus diputuskan melalui musyawarah tripartit antara unsur pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang tergabung dalam Dewan Pengupahan. “Penentuannya bukan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” katanya. Dengan mekanisme penetuan upah saat ini, Iqbal yakin buruh akan semakin terpuruk. Di Jakarta saja, kebutuhan sewa rumah minimal Rp1 juta. Transportasi Rp600 ribu ditambah listrik Rp300 ribu serta makanan Rp1.020.000. “Jadi kalau buruh di jakarta dibayar Rp3,6 juta, maka tiap bulan mereka harus nombok Rp300 ribu,” katanya. Artinya, kata Iqbal, tiap bulan para buruh akan menombok kebutuhan hidup tiap bulan dengan cara berhutang, mengurangi gizi kebutuhan hidup, serta tinggal di rumah mertua dan orang tua. “Jadi bagaimana buruh bisa bertahan hidup dengan upah uang rendah sekali?” pungkasnya. (tau)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: