BPJS Kesehatan Rugi Rp9 Triliun, Wacanakan Hapus Biaya 8 Penyakit

BPJS Kesehatan Rugi Rp9 Triliun, Wacanakan Hapus Biaya 8 Penyakit

JAKARTA - Semakin hari BPJS Kesehatan semakin defisit. Pada tahun keempat berdirinya lembaga tersebut, defisit mencapai Rp9 triliun. Saat rapat dengar pendapat dengan DPR, Kamis lalu (23/11), sempat diwacanakan ada delapan penyakit yang tidak akan dibiayai BPJS Kesehatan. Menurut data yang dihimpun Jawa Pos (Radar Cirebon Group), defisit terus dialami BPJS Kesehatan. Pada tahun pertama, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp3,3 triliun. Tahun 2015 defisit naik menjadi dua kali lipat, Rp6 triliun. Hingga sekarang mencapai Rp9 triliun. Penyebabnya adalah beban untuk menanggung jaminan kesehatan lebih besar dari pada jumlah iuran yang ada. Delapan penyakit yang rencananya tidak akan dibiayai adalah kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis, leukemia, dan hemofilia. Delapan penyakit tersebut disebut sebagai penyebab defisit karena berlangsung lama dan membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek sempat menuturkan jika pembiayaan untuk pasien gagal ginjal selama ini sudah mencapai Rp2,3 triliun. Menurut Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat, wacana BPJS Kesehatan tidak membiayai delapan penyakit tersebut belum diputuskan. ”Ini hanya gambaran dan  referensi akademik untuk diketahui perbandingan dengan kondisi negara lain,” katanya saat dihubungi koran kemarin (25/11). Masih menurut Nopi, di beberapa negara yang melakukan jaminan kesehatan, melakukan cost sharing. BPJS Kesehatan mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Untuk membiayai penderita penyakit yang memerlukan perawatan medis lama dan berbiaya tinggi atau katastropik, BPJS berencana melibatkan peserta untuk ikut mendanai. Cost sharing ini rencananya akan berlaku bagi peserta dari golongan mandiri. ”Pada rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR Kamis lalu, BPJS Kesehatan diminta untuk memaparkan bagaimana negara lain membiayai penyakit katastropik,” ungkapnya. Direktur BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengakui jika perawatan penyakit katastropik membutuhkan biaya yang besar. Dari awal tahun hingga September tahun ini, delapan penyakit katastropik tersebut membuat BPJS Kesehatan kualahan. Sebab ada 10 juta kasus lebih yang harus dibiayai. Totalnya mencapai Rp12,29 triliun. Hingga kini, pihak BPJS Kesehatan masih mengkaji cost sharing yang akan dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan masih menghitung rincian beban yang akan dibagi atau ditanggung bersama peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partaonan Daulay mengatakan, dalam rapat dengar pendapat antara komisinya dengan BPJS dan kementerian kesehatan, muncul beberapa opsi untuk menyelesaikan  masalah defisit yang dialami BPJS. Menurut dia, ada empat opsi yang diusulkan. Pertama, tutur dia, mengurangi manfaat. Jadi, tidak semua pelayanan dicover BPJS. “Ada yang tidak dibiayai. Itu namanya mengurangi manfaat,” terang dia. Yang kedua, menaikan iuran. Misalnya, lanjutnya, dari Rp25 ribu menjadi 35 ribu. Opsi ketiga, mencari pembiayaan lain. Muncul wacana, pembiayaan kesehatan akan diambilkan dari cukai rokok. Jadi, 5 persen dari pendapatan cukai rokok akan dimanfaatkan untuk membiayai kesehatan. Namun, usul itu masih menjadi perdebatan. Sebab, tidak etis jika membiayai kesehatan dan sumber yang dinilai tidak baik. “Rokok kan tidak baik,” paparnya. Jangan sampai nanti digunakan sebagai promosi rokok. Kemudian yang keempat, lanjut Saleh, cost sharing. Yaitu, biaya kesehatan tidak semuanya ditanggung BPJS. Ada sebagian yang harus ditanggung masyarakat. Sebenarnya, cost sharing sama saja dengan mengurangi manfaat. Anggota DPR dari Fraksi PAN itu mengatakan, pihaknya sudah meminta BPJS untuk melakukan simulasi cost sharing. Seperti apa mekanisme nanti. Dia berharap, simulasi bisa secepatnya diselesaikan. Dalam masa sidang ini, kajian yang dilakukan BPJS sudah selesai, sehingga bisa segera dibahas bersama dewan.   Terpisah, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta Dr Slamet Budiarto berpendapat, jika pihak BPJS ingin menghindari kerugian lewat mekanisme cost-sharing, maka seharusnya yang menjadi sasaran adalah kelompok diagnosis penyakit yang terhitung ringan. “Penyakit katastropik kan mengancam nyawa, cost-sharing seharusnya untuk non katastropik,” katanya. Yang menyebabkan banyak defisit, menurut anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat IDI tersebut, adalah tidak terkontrolnya pengobatan pada kelas penyakit ringan di masyarakat. “Ibaratnya flu saja sudah dibawa ke rumah sakit,” katanya. Contoh lain, misalnya pelaksanaan prosedur Caesar, Slamet menyebut tidak sedikit pasien yang pada seharusnya bisa lahir normal, malah meminta prosedur caesar, dengan berbagai tujuan. Prosedur caesar tentunya akan menghabiskan banyak obat dan tindakan medis, otomatis menelan biaya lebih banyak. “Pasien bebas memilih caesar karena tidak ada cost-sharing di situ,” kata Slamet. Dengan menerapkan cost-sharing di tingkatan penyakit ringan, maka penggunaan tindakan medis yang terhitung lebih masif bisa ditekan. Sementara untuk penyakit besar yang mengancam nyawa, justru harus dijamin secara penuh oleh BPJS. “Filosofi JKN adalah jangan sampai orang sakit bisa meninggal karena gak punya uang,” pungkas Slamet. (lyn/lum/tau)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: