Harga Minyak Menanjak, Subsidi Energi Bengkak

Harga Minyak Menanjak, Subsidi Energi Bengkak

HARGA minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) periode Februari bertengger di posisi USD 61,61 per barel. Angka itu lebih rendah USD 3,98 per barel dibandingkan ICP Januari yang di level USD 65,59 per barel. Plt Direktur Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial memperkirakan ICP hingga akhir tahun ini kemungkinan akan berkisar USD 55 per barel. “Sekarang sudah turun walaupun kecil. Masih diproses revisi dalam APBN-P karena di awal asumsi (harga minyak) kita USD 48 per barel,” ungkap Ego kemarin. (Baca: Rupiah Semakin Melemah ke Zona Merah) Pihaknya terus memantau di tengah gejolak harga minyak mentah dunia yang saat ini mencapai USD 61,75 per barel berdasar WTI (Nymex). Lantaran revisi asumsi harga minyak dalam APBN-P 2018 bisa di atas USD 50 per barel, Ego memperkirakan nilai subsidi energi BBM maupun listrik kemungkinan bertambah. Dalam APBN 2018, pemerintah menganggarkan subsidi energi Rp 94,55 triliun. Terdiri dari subsidi BBM dan LPG 3 kilogram Rp 46,86 triliun dan subsidi listrik Rp 52,66 triliun. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, penurunan ICP dapat disebabkan berbagai faktor. Di antaranya jenis minyak produksi Indonesia yang terjual di pasar internasional didominasi yang berharga murah. Meski demikian, dia memprediksi penurunan hanya berlangsung sementara. “Tahun ini trennya tetap naik dan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu,” imbuhnya. Dia memperkirakan ICP tahun ini akan di kisaran USD 60 hingga USD 70 per barel. Pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform ( IESR) Fabby Tumiwa memprediksikan cadagan minyak di pasar semakin menipis. “Kalau OPEC tidak menaikkan produksinya, saya kira harganya bisa bergerak naik. Kita menunggu respons OPEC, kemudian respons produksi shale gas di AS,\" sambungnya. Fabby memprediksi harga minyak akan menanjak. \"Sampai April ini trennya bisa USD 60-USD 65 per barel,\" ujarnya. Meski demikian, perlu dilihat permintaan minyak setelah musim dingin. \"Kalau April-Mei permintaan turun, itu bisa terjadi dari Tiongkok,\" urai Fabby. (vir/oki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: