Perubahan Zaman dan Tantangan Jaga Kampung Adat Keputihan

Perubahan Zaman dan Tantangan Jaga Kampung Adat Keputihan

Lingkungannya asri. Dikelilingi pohon-pohon bambu. Bangunan rumah hanya terbuat dari anyaman bambu, bukti mempertahankan kearifan budaya leluhur. Tapi belakangan muncul perubahan. Warga menggunakan seng, asbes, atau semen.  SAMSUL HUDA, Cirebon KAMPUNG Keputihan namanya. Terletak di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Jumlah penduduknya 29 KK (kepala keluarga) dari sedikitnya 17 rumah adat yang ada saat ini. Mengubah sesuatu di kampung ini tak bisa serampangan. Kalau salah atau melanggar adat, bisa membawa malapetaka bagi warga Keputihan. Tapi, perubahan zaman lambat laun membawa dampak juga ke Keputihan. Dari segi bangunan, misalnya. Tidak sedikit warga mulai melakukan perombakan bangunan rumah adat. Mulai dari penggunaan atap, dinding dan lantai, sampai masuknya jaringan listrik. Bahkan, masing-masing rumah kini sudah mempunyai televisi dan kendaraan bermotor. Warga memang lambat laun mulai menerima perubahan. Bahkan lingkungan Kampung Keputihan pun sudah mulai diaspal pemerintah desa setempat. Pengerjaannya baru dilakukan akhir 2017 lalu dengan menggunakan dana desa (DD). Cara masak warga pun sudah berubah. Sebelumnya menggunakan kayu bakar, kini sudah pakai kompor gas. “Dulu itu atap rumah menggunakan daun tebu yang kering. Dindingnya menggunakan anyaman bambu dan lantai beralaskan tanah. Tapi sekarang mulai berubah. Atap rumah sudah menggunakan seng atau asbes, lantai rumah menggunakan semen,” ujar Suwena (41), salah satu penduduk Keputihan kepada Radar Cirebon, Jumat (2/3). Suwena menceritakan, dahulu ketika ada warga yang membangun sumur dengan menggunakan semen, muncul musibah. Seperti warga sekitar sering sakit-sakitan dan sulit disembuhkan. Warga yang sakit akan sembuh jika sumur itu dikembalikan ke bentuk alami, tak menggunakan semen. “Nah yang seperti itu kini sudah mulai berubah. Dulu atap rumah menggunakan daun tebu. Sekarang karena daun tebu sulit dicari, alternatifnya menggunakan seng atau asbes. Tapi walaupun banyak yang berubah, model rumah adat masih tetap terjaga,” ucapnya. Dia menyampaikan, jumlah penduduk Keputihan hanya 29 KK. Mereka tersebar di 17 rumah adat di Kampung Keputihan yang dikelilingi ratusan pohon bambu. Wanita Kampung Keputihan, lanjut Suwena, rata-rata bekerja merajut net olahraga. Seperti net untuk tenis lantai, basket, dan bola. “Kami buat jarring (net, red) hanya diberi upah antara Rp 10 ribu sampai Rp 40 ribu. Ya bayarannya tergantung dari panjangnya jaring. Kami ini hanya buruh. Bahan bakunya dari luar (punya orang lain di luar Keputihan, red),” kata ibu dua anak itu. Sementara sesepuh Kampung Keputihan, Bimistri (65), menuturkan, daerahnya disebut Keputihan karena kesucian tanahnya. “Dulu itu ada orang yang disebut Ki Gede Keputihan (orang berilmu, red). Itu semua cerita dari orang-orang terdahulu, dari ibu dan nenek saya,” tuturnya. Cerita tentang Keputihan itu sudah turun temurun. “Saya sedari kecil di sini sampai sekarang jadi nenek-nenek, ya ceritanya memang seperti itu. Kampung adat Keputihan dulu memang benar-benar dipatuhi. Tapi sekarang sudah mulai berubah. Zamannya sudah mulai bergeser,” kata Bimistri. Tapi, model bangunan rumah sampai saat ini masih dipertahankan. Hanya untuk material bangunan rumah yang mulai mengalami perubahan. Warga sudah mulai menggunakan semen, seng, atau asbes. “Walaupun demikian, kondisi kampung kami ini tetap asri dengan suasana alam,\" tambahnya. Dia mengakui generasi sekarang mulai meninggalkan Kampung Keputihan. Penduduk asli pun terus berkurang. \"Sudah banyak warga yang bukan asli Keputihan. Ya tapi yang penting semua bisa hidup bersama dan masih menjaga Kampung Keputihan,\" ujarnya. Rumah-rumah warga Kampung Keputihan memang masih rumah zaman dahulu. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu. Selain itu, lantai rumah warga tidak menggunakan ubin maupun keramik. Jendela rumah tak menggunakan unsur kaca. Leluhur Kampung Keputihan mewariskan budaya hidup sederhana di tengah perubahan zaman yang kian modern. “Semua rumah yang ada di Blok Keputihan sama, pakai dinding bambu anyam seperti rumah zaman dulu,” kata Ketua RT 02 Kampung Keputihan, Endang Yusuf. Menurutnya, warga di Kampung Keputihan masih taat dengan warisan budaya leluhur yang melarang dinding rumah menggunakan tembok. Atap rumah harus menggunakan bahan dedaunan dari tebu. Jendela rumah tak boleh menggunakan unsur kaca. “Kita tidak berani melanggar larangan itu. Karena barang siapa yang melanggar pasti sakit,” kata Yusuf. Meski demikian, Yusuf mengakui sebagian rumah warga perlahan ada yang berubah. Ada beberapa rumah warga ada yang mulai berubah dari lantai tanah liat kini disemen. Ada juga rumah warga yang tak lagi welit, tapi sudah berganti asbes atau seng. Perubahan sebagian rumah warga tersebut karena alasan kelangkaan bahan material. ”Karena kelangkaan daun tebu di sini, jadi tidak masalah (atap asbes atau seng, red). Namun bentuk rumah tidak ada yang berubah, masih bentuk tradisional. Itu yang masih dipertahankan,” tutup Yusuf. (*/cep)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: