Sistem Ekonomi Syari’ah Tentang Buruh (Sebuah Refleksi Hari Buruh Sedunia)
Di Indonesia, mayoritas kaum pekerja adalah umat Islam yang merupakan bagian dari masyarakat paling lemah dan paling berat penderitaannya. Terutama pada masa kirsis ekonomi seperti saat ini. Terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, karena bangkrutnya perusahaan-perusahaan, pemotonagan gaji dengan alasan efisiensi dan sebagainya. Karenanya upaya untuk mengatasi persoalan mereka akan mempunyai makna yang besar dan strategis dalam rangka mengatasi dan mencegah implikasi yang lebih buruk dari krisis ini. Menghadapi kenyataan tersebut, jawaban seperti apa yang disodorkan Ekonomi Syari’ah. Ketertindasan kaum pekerja dan kesewenang-wenangan para pengusaha untuk menetukan nasib dan kelangsungan hidup mereka dengan memberi “harga” yang tidak memadai disertai dengan bermacam alasan. Sedangkan efisiensi dan persaingan yang sangat kental pada era globalisasi dan pada sektor ekonomi umumnya tidak ramah terhadap tenaga kerja khususnya non professional dan unskilled labour. Para pekerja sendiri tidak dapat berbuat banyak menghadapi hal tersebut. Keberadaan organisasi serikat pekerja yang diharapkan mampu menjadi penyambung lidah mereka, belum diberdayakan secara optimal dan kadangkala tetap sulit untuk menembus megahnya sebuah birokrasi. Yang kemudian terjadi adalah maraknya unjuk rasa, pemogokan-pemogokan dan larangan kerja bahkan pengerusakan-pengerusakan. Sistem perindustrian modern tampaknya memposisikan tenaga kerja dan pemodal dalam dua kelompok yang saling bertentangan. Dalam mempertahankan kepentingannya masing-masing selalu terjadi konflik yang menyeret pada pemborosan modal dan tenaga kerja yang sangat besar di negara-negara kapitalis. Walaupun lembaga legislatif mengambil langkah untuk melindungi hak-hak pekerja, konflik tidak pernah reda bahkan terus meningkat belakangan ini. Sedang pergerakan serikat buruh dinilai telah mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya dan banyak terjadi pemogokan yang mengakibatkan kerugian bagi negara. Betapapun sulitnya, betapapun menggelisahkannya persoalan yang harus dihadapi menyertai krisis ekonomi atau perubahan sosial ini, Ekonomi Syari’ah (Islam) tetap menekankan umatnya pada jalan kasih sayang, adil dan beradab, melarang tinadakan anarkhis, brutal dan aniaya (dzolim). Karena tujuan yang baik harus dicapai melalui cara yang baik (halal), tidak dengan cara yang bertentangan prinsip kemanusiaan, jadi menghalalkan segala cara ditolak oleh Islam. Disanalah pentingnya sebuah “frame” yang membentengi sikap setiap orang dalam fungsinya masing-masing dalam sebuah interaksi sosial (ekonomi). Frame tersebut adalah etika yang tidak boleh ditanggalkan, pun dalam berbisnis. Dalam hubungan industrial aturan-aturan yang mengatur hubungan (bisnis) antar para pengusaha dengan sesama koleganya juga dengan para pekerjanya yang mengacu pada nilai ilahiah dalam al- Qur’an dan al- Hadits. Berbeda dengan pandangan kapitalis maupun sosialis dalam melakukan pendekatan terhadap hubungan buruh dan majikan. Islam tidak mengakui adanya penghisapan buruh oleh majikan (sepeti yang terjadi di dunia kapitalis), pun tidak menyetujui dihapuskannya kelas kapitalis dan diadakannya masyarakat tanpa kelas (teori sosialis). Islam mengakui adanya perbedaan kemampuan dan bakat tiap-tiap orang yang mnegakibatkan perbedaan pendapatan dan imbalan material (Q.S. An Nisa : 33). Islam tidak menyetujui persaman tingkat yang sama sekali tidak berubah dalam distribusi kekayaan. Tentu saja Islam mengakui adanya buruh dan majikan di masyarakat. Dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat dua prinsip dasar mengenai hal ini, yakni bahwa pelayan harus setia dan melakukan pekerjaannya dengan baik, sedangkan majikan harus membayar penuh untuk jasa yang diberikan pelayanya itu. Pada kenyataannya Islam menyatukan merek dalam sebuah hubungan yang harmonis dengan memberikan suatu penilaian moral dalam berbagai persoalan. Islam melindungi kepentingan buruh maupun majikan dalam kerangka organisasi nyata yang serba lengkap. Jika kedua belah pihak meresapi nilai Islam niscaya seluruh persoalan mengenai pemogokan dan penutupan tempat kerja relatif tidak perlu. Islam menghubungkan tenaga kerja dengan pemodal dalam persaudaraan dan kekeluargaan dengan cara yang tidak mempertentangkan kepentingan mereka. Hal itu mendorong untuk saling memiliki rasa percaya, kemauan baik, menghormati hak-hak orang lain, kebersamaan dan kasih sayang. Rasa tanggung jawab merupakan dasar hubungan manusia dan Islam telah mencoba meningkatkan para pemeluknya melalui ajaran moralnya. Al-Qur’an menerangkan dengan kalimat yang sangat jelas dan tegas pada seluruh muslim agar selalu berbuat baik kepada muslim lainya semata mengharap ridlo-Nya. Selanjutnya diperintahkan untuk mengubur perbedaan yang ada dan bersatu dalam persaudaraan Islam. Sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran: 103. Artinya:”Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah bercerai berai dan ingatlah akan ni’mat Tuhanmu kepadamu, ketika kamu bermusuh-musuhan. Maka Allah menjinakkan hatimu dan menjadilah kamu dengan nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara\". (Q.S. ali Imran:103). Islam mengajarkan pula keharusan perusahaan untuk menghormati keyakinan (belief) para pekerjanya, misalnya pekerja muslim diberi kesempatan untuk shalat dan berperilaku Islami, serta tidak memaksa untuk bertindak bertentangan dengan etika Islam.Tindakan etis lain menyangkut hubungn perusahaan dengan pekerjanya adalah keharusan kedua belah pihak untuk menghormati privacy (keleluasaan dan rahasia pribadi). Pekerja harus menjaga nama baik dan kerahasiaan perusahaan, begitu pula sebaliknya. Hubungan antar pengusaha dan pekerja harus didasarkan pada nilai dasar Ihsan (kebaikan) serta tanggung jawab, pun tanggung jawab kepada Allah yang diimaninya. Dalam menyelesaikan konflik yang muncul harus didasari dengan semangat kekeluargaan dan cinta kasih, dengan kata lain ketika mengadakan kesepakatan seharusnya tidak hanya melihat kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan saudaranya. Jika terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, negara mempunyai kewajiban moral dan wewenang yang sah untuk ikut campur dan memutuskan persoalan dengan seadil-adilnya. Ekonomi Syari’ah yang secara teori merupakan aktualisasai dari nilai nilai wahyu, sangat memperhatikan perlindungan hak kaum buruh dan tenaga kerja, simplifikasi ini dengan jelas dapat ditemukan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma;un “ Suatu Bangsa pada Hakekatnya tidak beragama, sampai bangsa itu dapat menciptakan suatu suistem yang dapat melindungi anak yatim dan orang miskin ( melalui kebijakan upah dan perlindungan hak / jaminan tenaga kerja “ (Barokakallahu fiikum). MAJU BERSAMA SURABRAJA. Penulis: Dr. Achmad Kholiq, MA (Dosen Ekonomi Islam Pascasarjana IAIN Cirebon, Ketua Masyarakat Ekonomi Syari’ah Cirebon, Ketua ICMI Cirebon, Ketua IAEI, Ketua STEI Al-Ishlah Cirebon)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: