Berkunjung ke Kampung TKI di Wilayah Timur Cirebon

Berkunjung ke Kampung TKI di Wilayah Timur Cirebon

Indonesia sejak dulu dikenal sebagai negara dengan jumlah penyumbang tenaga kerja migran terbesar. TKI Indonesia tersebar di berbagai negara dengan pekerjaan beragam. Tak heran jika ada sejumlah daerah yang kemudian disebut sebagai kampung TKI, salah satunya Desa Gembongan Mekar, Kecamatan babakan, Kabupaten Cirebon. ANDRI WIGUNA, Cirebon SALAH satu motivasi para tenaga kerja Indonesia (TKI) berangkat ke luar negeri adalah ingin memperoleh pendapatan yang besar untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Polanya pun beragam. Ada yang harus membayar untuk administrasi keberangkatan, ada yang menggunakan sistem potong gaji, ada juga sistem-sistem lainnya, tergantung jenis pekerjaan dan tawaran gajinya. Tidak sedikit cerita pilu tentang derita TKI di luar negeri, dari mulai dianiaya majikan, gaji yang ditahan, sampai terlibat pidana dan dihukum pancung. Namun cerita-cerita itu tak pernah menyurutkan animo masyarakat untuk mengadu nasib ke luar negeri. Sudah lama sekali Desa Gembongan Mekar dikenal luas oleh masyarakat Cirebon sebagai salah satu desa penghasil TKW terbanyak di Kabupatan Cirebon. Tak heran, jika sebutan kampung TKI melekat untuk Desa Gembongan Mekar. Di desa ini pun, banyak yang terlihat rumah-rumah warganya megah. “Di sini, jumlah TKI yang berangkat ke luar negeri itu ratusan, sudah sejak lama. Bahkan jauh sebelum saya jadi kuwu,” ujar Kuwu Desa Gembongan Mekar, Masduki saat ditemui Radar, kemarin. Dijelaskannya, faktor yang paling umum adalah karena persoalan ekonomi. Masyarakat setempat yang mayoritas bekerja sebagai petani, dinilai kurang memberikan kesejahteraan. “Mereka rata-rata ingin mendapatkan uang besar dalam waktu cepat. Kalau bekerja di sini saja tentu tidak akan cukup,” imbuhnya. Yang menarik, menurut Masduki, jumlah perangkat desa termasuk kuwu di Gembongan Mekar saat ini ada 12 orang. Dari dua belas orang tersebut, hanya ada satu orang yang bukan eks TKI. Sementara sisanya adalah eks TKI, termasuk sang kuwu sendiri. “Saya ini mantan TKI, saya dua kali malah berangkat ke luar negeri. Hampir semua staf saya TKI hanya satu yang bukan. Dulu saya ke Jepang, 2 kali berangkat, iku program G to G,” paparnya. Perubahan yang paling terasa menurut Masduki, saat ini dengan banyaknya jumlah TKI dan keluarganya, hal tersebut juga meningkatkan standar pendidikan warganya, karena salah satu syarat berangkat menjadi TKI minimal harus memilik ijazah SMP ataupun SMA. “Sekarang mayoritas warga kita kalau tidak SMP ya lulusan SMA, jarang sekali yang lulusan SD. Ini karena faktor keluarga TKI yang semakin banyak,” katanya. Jika dihitung total, saat ini ada sekitar 500 lebih warga Desa Gembongan Mekar yang berada di luar negeri. Paling banyak TKI dari Gembongan Mekar mengadu nasib di Negara Taiwan dan Korea, serta negara-negara tetangga. “Kalau dulu, favoritnya ke Arab Saudi. Namun setelah ada moratorium, sekarang paling banyak ke Taiwan untuk perempuannya, sementara untuk laki-laki banyak ke Korea ikut kapal pencari ikan,” tukasnya. Beruntung selama ini, belum ada persoalan atau kasus yang dihadapi para buruh migran asal Desa Gembongan Mekar. Beberapa persoalan yang timbul lebih ke arah perilaku TKI yang membuat ia kemudian mengalami kondisi sulit di luar negeri. “Kalau yang dianiaya ataupun ditahan gajinya saya belum pernah denger dan nyaris tidak ada. Cuma memang kemarin-kemarin ada TKI sakit karena kebanyakan minum miras dan dirawat di rumah sakit. Selain itu, tidak ada,” ungkapnya. Salah satu simbol kampung TKI di Desa Gembongan Mekar adalah keberadaan gapura yang dibangun BRI dengan tulisan Selamat Datang di Kampung TKI (tekun, kreatif dan inovatif). Selain itu, saat ini banyak sekali rumah-rumah besar megah yang dibangun eks TKI yang kemudian pulang dan membuka usaha di kampung halaman. “Rata-rata yang eks TKI begitu pulang dari luar negeri langsung membeli sawah. Nanti untuk usaha. Ada juga yang kemudian bangun rumah besar dan berangkat lagi,” tambahnya. Sementara itu, salah satu eks TKI yang ditemui Radar, Yuli mengatakan, sebenarnya ada dorongan kuat yang membuatnya ingin berangkat lagi ke luar negeri. Faktornya adalah kemudahan mendapatkan uang yang tidak bisa diperoleh di dalam negeri. Namun kahadiran anak balitanya menghalangi niatnya untuk berangkat mengadu nasib untuk membantu ekonomi keluarga. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: