Penyaluran Balsem Bikin Kades Waswas, Sebab…
KUNINGAN - Rasa waswas kini menghantui para kepala desa di Kabupaten Kuningan. Keresahan itu bukan dipicu lantaran urusan Pilkada atau alokasi dana desa (ADD), melainkan bakal disalurkannya bantuan langsung tunai atau (balsem). Dari informasi yang diterima para kepala desa, bantuan balsem itu rencananya disalurkan Juni mendatang sebelum Hari Raya Idul Fitri. Hal itu tidak terlepas dari data penerima balsem tidak sama dengan daftar nama-nama warga miskin yang dimiliki pemerintah desa (pemdes). Alhasil banyak masyarakat yang di desanya masuk kategori warga miskin malah tidak menerima balsem. Soal masalah itu dibenarkan Kepala Desa Linggasana, Kecamatan Cilimus, Henny Rosdiana. Kades perempuan yang dikenal vokal itu beranggapan, pendistribusian BLT bakal berimbas terhadap pemdes, sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakatnya. “Sebenarnya bantuan dari pemerintah untuk warga miskin itu bagus, dan sangat membantu. Cuma saja yang kami kurang senang adalah data penerima yang jauh berbeda dengan yang dimiliki pemdes. Dan ini akan menuai masalah ketika BLT itu disalurkan langsung kepada penerimanya,” tandas Henny kepada Radar Kuningan, kemarin (13/5). Henny mempertanyakan penggunaan data oleh pemerintah pusat dalam penyaluran balsem. Apakah data itu berasal dari Dinas Sosial atau BPS Kabupaten Kuningan. Jika acuannya data dari Dinas Sosial, pihaknya sudah mengajukan nama-nama warga miskin yang ada di desanya. “Setiap per triwulan pasti akan ada update data warga miskin yang dilakukan Pemdes Linggasana. Data itu kemudian kami sampaikan ke Dinas Sosial Kabupaten Kuningan. Nah yang menjadi pertanyaan kami, apakah data dari pemdes ke Dinsos dijadikan acuan pengusulan ke pemerintah pusat, atau pemerintah pusat menggunakan data dari BPS? Ini yang membuat kami bingung,” ujarnya. Sebab di lapangan, kata dia, penerima BLT terkadang beda dengan data yang dari desa. Di mana ada keluarga kaya malah mendapat BLT, sedangkan yang berhak atau warga miskin, malah tidak ada daftar namanya. “Banyak contoh soal kasus seperti ini. Jadi bukan hanya ketika ada penyaluran BLT saja, tapi juga saat ada penyaluran beras sejahtera (rastra) dan beras gratis (r astis). Sama seperti BLT, di mana warga Desa Linggasana yang seharusnya masuk dalam daftar penerima lantaran miskin, eh malah tidak masuk. Sedangkan yang ekonominya mapan, mendapat jatah rastra dan rastis, dan ini menimbulkan persoalan kepada kami selaku pemerintah desa,” sebut dia. Dampaknya, kata dia, masyarakat di desanya menuding jika pengajuan nama-nama itu adalah permainan dari pemdes. Padahal pihak desa sudah mengajukan nama-nama warga miskinnya kepada Dinas Sosial. “Contohnya penerima rastra di desa kami seharusnya 108 orang sesuai data yang diajukan. Tapi kemudian malah hanya diberikan untuk jatah 94 orang. Jelas kekurangan ini menimbulkan masalah, dan tudingan yang macam-macam ke kepala desa. Inilah anulah, pokoknya enggak enak. Padahal kami tidak tahu apa-apa. Solusianya ya rastra itu akhirnya kami bagi rata untuk 108 orang sesuai daftar dari desa. tujuannya supaya tidak timbul masalah di desanya,” tegas kades yang tengah menyelesaikan S2 di Unswagati tersebut. Jika boleh memilih, Henny mengaku lebih suka tidak ada bantuan rastra, rastis atau balsem karena hanya akan menyebabkan keresahan di tataran pemerintahan desa. Kecuali data yang digunakan usulan dari desa, mungkin alurnya akan lain. “Kami ini ada di desa, dan paham betul mana saja warga yang masuk kategori miskin atau mapan di desa kami. Dan kami update data itu per tiga bulan. Tapi anehnya ketika program itu turun, nama penerimanya berbeda. Kan ini membuat masyarakat berpikiran negatif ke kami selaku aparatur pemerintahan. Seandainya nanti di bulan Juni ada penyaluran BLT, tolong jelaskan langsung kepada masyarakat bahwa data yang digunakan adalah dari lembaga anu. Biar pemdes tidak terus disalahkan,” pungkas dia. (ags)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: