Menjaga Pemilu dengan Akal Sehat

Menjaga Pemilu dengan Akal Sehat

PEMILU adalah produk dari pemikiran mengenai upaya-upaya konkret dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang adil dan membahagiakan. Sebagai sebuah produk pemikiran, Pemilu tentunya senantiasa mengikuti hal-hal yang hidup di tengah-tengah lingkungan sosial masyarakat. Atas dasar hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa masyarakat, dengan segala kebaruannya, adalah leading man atau aktor utama dari pemilu. Josep Colomer, dalam Handbook of Electoral System Choice, menilai bahwa Pemilu itu pada dasarnya mestilah dilihat dari sisi psikologis. Colomer mengasumsikan bahwa pemilih dan calon yang hendak mereka pilih termotivasi untuk berpartisipasi dalam pemilihan serta pengambilan suara adalah untuk memperoleh kemenangan. Mereka mengikuti proses Pemilu tentu untuk melihat kandidat pilihan mereka terpilih. Jika kemungkinan itu ada, maka setiap individu yang berkepentingan dengan sendirinya akan memilih dan mereka akan memilih dengan kemungkinan mencapai hasil yang memuaskan. ERA POST-TRUTH Kemungkinan akan kemenangan tersebut kemudian bergerak mengikuti zaman yang senantiasa bertumbuh. Pertumbuhan tersebut tentunya membawa Pemilu kepada tantangan yang baru. Tantangan itu berkaitan dengan era baru yang Giddens sebut dengan istilah lintang-pukang tur manufactured uncertainty, yakni era pontang-panting yang memproduksi ketidakpastian. Satu hari bisa berdamai dan bersatu, dihari selanjutnya bisa bertempur mati-matian, dan hari yang lainnya terlihat sama-sama saling menyesal. Begitu seterusnya. Era baru yang dimaksud Giddens itu sedikit banyak dipengaruhi oleh era reformasi yang dulu hanya sebatas mengahadirkan kembali peran masyarakat melalui kebebasan berekspresi dan berpendapat, kini hidup berdampingan dengan era keterbukaan informasi dan era kemajuan tekhnologi. Era itu dikenal dalam istilah media dengan era post-truth. Post-truth artinya adalah berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada daya tarik untuk menunjukkan perasaan atau emosi yang dialami subyek saat melakukan percakapan tertulis. Pemilih dan calon yang hendak mereka pilih itu lantas tidak jarang memainkan fenomena post-truth, atau fenomena kecenderungan informasi yang disukai masyarakat tanpa peduli asli dan palsunya, untuk terus menerus menebarkan hal-hal miring pada lawan politiknya. Dengan komunikasi post-textual, atau tanpa tatap muka dan tidak ilmiah karena hanya sebatas menggunakan chat online serta media sosial, kabar bohong itu terus diperbincangkan, dibuat sampai dipercaya bahkan tetap dipercaya meskipun fakta akan realitas telah disuguhkan dan klarifikasi telah diberikan. Politik Goebbels dengan argumentum ad nauseam (menyebarkan kabar bohong sesering mungkin maka akan dianggap nyata) dipilih sebagai sarana instan memperoleh simpati pemilih dalam upaya mengambil alih kekuasaan. VICTIMHOOD CULTURES Era post-textual yang berbasis post-truth tersebut lantas berkolaborasi dengan era victimhood cultures. Bradley Campbell dan Jason Manning menyebut bahwa victimhood cultures adalah hasil gabungan dari beberapa aspek bahwa manusia pada dasarnya memiliki kehormatan dan martabat (honor and dignity cultures). Orang-orang dalam victimhood cultures itu memiliki sensitivitas yang lumayan tinggi. Mereka selalu waspada terhadap pelanggaran yang dialami kepadanya. Penghinaan adalah salah satu dari sekian banyak persoalan yang mereka anggap serius. Dan bahkan ketidaksengajaan pun dapat memancing konflik yang parah. Tetapi pada umumnya, victimhood cultures menghindari pembalasan dendam karena lebih mempercayai figur yang memiliki otoritas atau lebih menyelesaikan persoalan kepada pihak ketiga (Kepolisian, Jaksa, dan lembaga lain yang ditunjuk menurut Undang-Undang). Mereka mengeluh kepada hukum, kepada departemen sumber daya manusia di perusahaan mereka, kepada pihak administrasi di universitas mereka, atau kepada publik pada umumnya melalui sarana media sosial. Orang-orang dalam victimhood cultures yang telah masuk pada tahap politis kemudian mengeksploitasi berita dengan narasi-narasi yang meyakinkan padahal fake news. Dengan gaya petitio principia atau cocokolgi, orang-orang yang politis itu lantas membuat klaim atas kebenarannya. Yang semula persoalan itu hanya dihadapi olehnya, sekarang dibantu dengan media sosial dan era post-truth, persoalan itu seolah menjadi miliki bersama dan digeneralisir. Kejatuhan wibawa lawan politik pun dianggap sebagai prestasi dan perlu dijadikan bahan olok-olokan. Mereka lantas melupakan kemungkinan dis integrasi bangsa akibat ulah yang dilakukannya. MENJAGA PEMILU DENGAN COMMON SENSE Bila hendak kita cermati, secara faktual kesuksesan perjalanan pemilu di Indonesia dan dunia itu tidak pernah lepas dari kedewasaan dan kewibawaan aktor-aktor politik untuk terus merawat peradaban bangsa. Upaya perawatan itu tentulah dilakukan tidak lain dan tidak bukan dengan sēnsus commūnis atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah common sense, yakni akal sehat. Akal sehatlah yang membuat Pemilu menarik namun tetap pada koridor-koridor yang mengutamakan maslahah. Menghadapi kecenderungan itu, kecenderungan keinginan memilih karena ingin menang dengan melakukan upaya temporer yang berakibat permanen, maka kita perlu membuka kembali wacana untuk menjaga pemilu dengan akal sehat tersebut. Akal sehat yang tidak lekang oleh zaman ini diupayakan mampu membantu merawat tujuan mulia dari Pemilu dengan lebih mengutamakan kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. Akal sehat jugalah yang memperbaiki niat kita untuk mengutamakan keberlangsungan hidup yang harmonis ketimbang kepentingan yang dinikmati sesaat. Sebagai penutup, selain oleh karena hukum telah mengaturnya, pergunakanlah media sosial secara bijak dan dengan tujuan demi kebaikan bersama. Tidak memanfaatkan media sosial untuk melakukan tindakan yang menciderai nilai-nilai demokrasi seperti memproduksi fitnah, hoax, maupun ujaran kebencian. Perbedaan pandangan politik, perbedaan visi dan misi dalam membangun bangsa, perbedaan pilihan akan sistem yang baik dalam konteks pemilu tidak dikedepankan secara egois dengan mengorbankan keteduhan serta kedamaian bangsa. Akan tetapi, menggunakan akal sehat–selama perbedaan itu memiliki tujuan yang sama-sama demi kesejahteraan sosial, meskipun caranya berbeda–siapapun yang dipilih dan dikehendaki rakyat akan didukung sebagai bentuk kematangan berpolitik dan aplikasi dari sikap kenegarawanan. (*) *Oleh Bakhrul Amal, penulis adalah pemerhati sosial

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: