Demi Jokowi, TGB Tinggalkan Demokrat

Demi Jokowi, TGB Tinggalkan Demokrat

JAKARTA- Keputusan mengejutkan diambil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi. Tokoh yang masuk nominasi cawapres Jokowi itu mengundurkan diri dari Partai Demokrat. Posisi terakhirnya di partai adalah sebagai anggota majelis tinggi. Pengunduran diri TGB disampaikan oleh Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Menurutnya, kemarin TGB mengajukan pengunduran diri melalui Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsudin. “Surat pengunduran diri diserahkan ke Pak Amir,” terang ia saat dihubungi Jawa Pos (Radar Cirebon Group). Ferdinand mengatakan, alasan pengunduran diri TGB dari partainya adalah karena politisi yang juga ulama itu sudah mengambil sikap dengan mendukung Joko Widodo sebagai Capres 2019. Padahal, Partai Demokrat sendiri belum menentukan sikap resmi. Rachland Nashidik, wasekjen Partai Demokrat mengatakan, partainya menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas peran TBG selama berada di Partai Demokrat. Khususnya sebagai Ketua DPD Partai Demokrat NTB. Dia berdoa agar TGB mendapat kemudahan dalam meniti karir politik yang lebih baik. Yaitu, sebagai salah satu Cawapres Jokowi. “Partai Demokrat yakin figur sebaik TGB pantas mendapatkan kesempatan berkarir di tingkat nasional,” tutur dia. Sementara itu, TGB belum bisa dikonfirmasi. Pesan singkat dari Jawa Pos tidak dijawab. Dia juga tidak mengangkat telepon dari Jawa Pos. Sementara itu, Partai Demokrat dan Partai Gerindra semakin serius mematangkan rencana koalisi. Sebelum pertemuan antara ketua umum partai, Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dengan Prabowo Subianto digelar, Selasa (24/7). Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, pertemuan kedua partai dilakukan para pejabat partai tingkat II atau level menteri jika diibaratkan dalam pemerintahan. “Ini pembicaraan serius. Jadi, tidak ujug-ujug bertemu,” terangnya saat ditemui di gedung DPR kemarin. Dibutuhkan pertemuan awal, sehingga jelas apa yang akan dibicarakan. Semua pembicaraan akan terarah. Hasil pembicaraan akan disampaikan kepada ketua umum partai. Dia juga masih enggan menyebutkan tawaran apa yang akan disampaikan kepada Gerindra. Begitu juga terkait nama Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang digadang-gadang sebagai calon wakil presiden (cawapres). Hinca mengatakan, pengambilan keputusan di internal partainya sangat demokratis. Dua minggu lalu, Majelis Tinggi Partai Demokrat sudah meminta kepada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat se-Indonesia untuk mengadakan rapat koordinasi daerah untuk menjaring aspirasi dari bawah. Ada tiga opsi yang ditanyakan kepada daerah, yaitu apakah mendukung dan bergabung dengan Joko Widodo, mendukung dan bersama Prabowo, dan ketiga membuat poros baru. Hasil penjaringan dari bawah disampaikan kepada majelis tinggi. Jadi, ucap dia, partainya tidak serta merta mengambil keputusan tanpa melibatkan daerah. Suara dari bawah itu yang akan menjadi bahan pertimbangan majelis tinggi dalam mengambil keputusan strategis. Selanjutnya, ungkap dia, apa pun yang diputuskan majelis tinggi harus dipatuhi semua kader. Terkait dengan adanya DPD yang mendukung Jokowi, Hinca mengatakan, hal itu tidak menjadi masalah. Karena setiap DPD mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat. Namun, mereka harus tunduk ketika majelis tinggi memutuskan. Apakah mendukung Jokowi, Prabowo atau membentuk poros baru. Anggota DPR itu mengatakan, partainya menjalin komunikasi dengan kubu Prabowo dan Jokowi. Bahkan komunikasi dengan kubu Prabowo sudah terjalin sejak setahun lalu. “Kami awali dengan diplomasi nasi goreng,” tutur ia. Sekarang koalisi dua partai itu semakin dimatangkan. Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Edhy Prabowo menyatakan komunikasi Prabowo dengan Partai Demokrat hanyalah satu proses. Prabowo sebagai pemegang mandat capres juga melakukan komunikasi dengan semua pimpinan partai. “Kesimpulannya nanti seperti apa, kita tunggu saja,” kata Edhy di ruang Fraksi Partai Gerindra DPR. Edhy menepis anggapan bahwa komunikasi Partai Gerindra dengan Demokrat adalah upaya untuk meninggalkan PKS. Edhy menegaskan bahwa Gerindra memegang komitmen terhadap koalisi mereka dengan PKS maupun PAN. “Gerindra bukan partai yang suka meninggalkan sahabat. Kami di Gerindra tidak pernah meninggalkan teman kala bertempur,” kata Edhy. Pada bagian lain, PKS kemarin menyampaikan rekomendasi hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang digelar di Bogor pada akhir pekan lalu. Sekjen PKS Mustafa Kamal menyatakan, ada aspirasi dari DPW PKS agar koalisi pilpres yang didukung PKS bisa menetapkan pasangan capres dan cawapres lebih awal. “Kami ingin agar pengumuman capres dan cawapres lebih dini, bukan pada last minute,” kata Mustafa. Menurut Mustafa, pengumuman lebih awal itu sebagai bukti kesiapan kader PKS untuk menyukseskan kader yang diusung. Dengan begitu, ada waktu yang cukup bagi para kader menyampaikan pasangan capres dan cawapres itu kepada publik. Tentunya, PKS berharap pasangan capres dan cawapres itu melibatkan salah satu kader partainya. “Koalisi pilpres 2019 dibangun dengan mitra koalisi yang bisa menjamin kader PKS bisa menjadi capres maupun cawapres,” kata Mustafa. Mustafa juga masih menaruh kepercayaan kepada Prabowo dan Partai Gerindra, untuk memilih salah satu kader PKS menjadi pasangan dalam pilpres. Mustafa memahami bahwa Partai Gerindra tengah melakukan komunikasi dengan Partai Demokrat. Namun, PKS optimis bahwa komunikasi itu tidak menghalangi komitmen koalisi yang dijalin selama ini. “Kami juga terus bangun (komunikasi) seluruh parpol, tapi khusus dengan Gerindra atau Prabowo, itu bukan hanya sekutu, tapi segajah. Tren ini akan memuncak mendekati pilpres nanti,” ujarnya. (lum/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: