Karena Bumdes; Sengsara atau Gembira?
Oleh: Apendi PERTANYAAN dalam judul tulisan ini kerap penulis sampaikan dalam setiap diskusi dengan pegiat badan usaha milik desa (Bumdes/Bumdesa), maupun pada pelatihan yang digelar Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Cirebon. Jawaban yang muncul pun berbeda-beda. Dengan argumentasi yang beragam pula. Misalnya menjawab sengsara, karena pengurus bumdes sudah terbentuk namun belum mendapatkan penyertaan modal dari desa. Ada yang sudah mendapatkan modal, namun bingung untuk menentukan usahanya. Itulah yang terjadi. Bagi yang gembira, karena unit usaha bumdes sudah berjalan dan sudah memberikan kontribusi untuk desa. Sejatinya, ruh dari hadirnya bumdes adalah membuat masyarakat desa tertawa gembira. Karena bumdes adalah lembaga atau institusi yang diakui Negara lewat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Di mana pada pasal 87 disebutkan Desa dapat Mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDesa. Ditambah dengan Peraturan Menteri Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan usaha Milik Desa (Bumdesa). Terlebih di dalam Permen yang terdiri dari 6 bab dan 35 pasal itu mengatur hal ihwal terkait bumdes. Misalnya pada bab II pasal 3 disebutkan tujuan pendirian Bumdes. Yakni: meningkatkan perekonomian desa, mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa, mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga. Kemudian menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga, membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan Pendapatan Asli Desa. Dalam Permen itu juga dibahas tentang modal dan jenis usaha Bumdesa. Termasuk juga sumber daya manusia (SDM) yang masuk dalam struktur kepengurusan Bumdesa. ** Terdapat empat kategorisasi bumdes. Pengelompokan ini muncul ketika penulis berdiskusi dengan para pegiat bumdes di Jawa Barat. Pertama, bumdes warisan. Kategori ini didasarkan pada kehadiran bumdes. Artinya sebelumnya memang sudah ada lembaga, usaha di desa tersebut yang kemudian berganti baju. Biasanya ini terjadi di desa yang sebelumnya sudah berdiri KUD kemudian dengan lahirnya UU No 6 Tahun 2014 berganti menjadi Bumdes dengan unit usaha simpan pinjam. Kedua, bumdes militan. Ini kategori bumdes yang sudah survive, kuat (seatle). Dengan unit usaha yang sudah berjalan dan menguntungkan. Seperti yang telah dicapai Bumdes Tirta Mandiri Desa Ponggok Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Bumdes ini punya banyak unit usaha. Dan yang terkenal adalah tempat rekreasinya yakni kolam renang dan pemancingan. Aset bumdesnya juga lebih dari Rp15 miliar. Praktis, Bumdes Ponggok ini selalu menjadi jujukan bagi para pegiat bumdes untuk menimba ilmu. Termasuk penulis berksempatan berkunjung ke sana bersama rombongan DPMD Provinsi Jawa Barat sekitar dua tahun lalu. Ketiga bumdes siluman. Ini yang perlu diwaspadai. Cirinya adalah ada papan nama tapi tidak ada wujudnya/pengurus. Ada papan nama tapi dikelola oleh kepala desa/kuwu. Ini jelas bertentangan dengan regulasi sebagaimana yang tercantum di dalam Permendes TDT Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan usaha Milik Desa (Bumdesa). Pada pasal 10 ayat 1 disebutkan susunan kepengurusan organisasi pengelola BUM Desa terdiri dari penasihat, pelaksana operasional dan pengawas. Kemudian di pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10huruf a dijabat secara ex officio oleh Kepala Desa yang bersangkutan. Sedangkan pelaksana operasional salah satu persyaratannya adalah masyarakat desa yang mempunyai jiwa wirausaha. Jadi posisi kuwu atau kepala desa cukup sebagai penesahat saja! Keempat adalah bumdes permulaan (babad alas). Dari sekitar 200 bumdes yang ada di Kabupaten Cirebon, mayoritas adalah babad alas; memulai dari awal. Rata-rata usainya sekitar dua tahunan. Dan problem dasar yang dihadapi bumdes babad alas adalah menentukan jenis usaha, pemasaran, laporan keuangan serta hubungan dengan pemdes (kuwu,red). Solusinya? Untuk menentukan jenis usaha yang dilakukan adalah studi kelayakan bisnis (feasibility study) dengan tetap berpijak pada potensi desa. Karena setiap desa punya potensi yang tidak sama. Ada yang potensinya di sektor wisata, perdagangan, peternakan, pengolahan ikan dan yang lainnya. Dalam hal ini, (lupakan dulu) bumdes sebagai penyalur program BPNT. Hehehe. Pelatihan manajemen yang digelar DPMD Kabupaten Cirebon adalah salah satu ikhtiar untuk mengatasi solusi di atas. Soal pemasaran, jejaring/koneksi menjadi hal penting. Dan bumdes harus sudah mulai masuk ke e-commerce. Kemudian support pemdes (kuwu) dalam memberikan modal juga sangat berarti bagi masa depan bumdes. Jika ini secara simultan dilakukan, penulis berkeyakinan, bumdes di Kabupaten Cirebon bisa seperti di Ponggok. Sehingga “fiqh bumdes”; khoirul bumdes anfa’uhum linnaas (sebaik-baik bumdes adalah yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat) menjadi kenyataan. Dan akhirnya bisa gembira bersama. Semoga (*) *) penulis jurnalis yang juga pengurus Forum Bumdes Kabupaten Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: