Ketika Bom Hiroshima Dijatuhkan, Ini Kisah Empat Mahasiswa dari Indonesia
Kampus Bunridai Tokubetsu Gakka di Horishima, Jepang, kelihatan lengang pada pagi, 6 Agustus 1945. Banyak kelas kosong tanpa mahasiswa dan dosen-dosen muda. Mereka bergabung secara berkala ke angkatan perang Jepang sebagai tenaga bantuan untuk menghadapi serangan tentara Amerika Serikat di kota-kota utama Jepang sejak awal 1945. Sebuah sungai membentang di dekat kampus. Suara aliran sungai biasanya mudah terdengar oleh mahasiswa. Tapi tidak pagi itu. Pesawat pengebom Amerika Serikat terbang di atas kampus. Petugas keamanan Jepang membunyikan sirine peringatan tanda bahaya. Suaranya meraung-raung, menelan suara aliran sungai. Empat mahasiswa, dua dari Indonesia (Arifin Bey dan Hasan Rahaya) dan dua asal Malaya, berada dalam kelas ketika suara pesawat pengebom dan sirine bersahutan. Mereka masih anyar sekaligus orang asing sehingga harus tetap menjalani perkuliahan di kampus. Dosen mereka berusia lanjut. Perawakannya kurus selaik orang kurang gizi. Langkah-langkahnya pun payah. “Staf pengajar seperti inilah yang tinggal di kampus,” kenang Arifin dalam Pertiwi No. 4, 16-29 Juni 1986. Dosen tua itu baru muncul di kelas usai suara pesawat pengebom dan sirine lenyap dari pendengarannya. Dia sempat bersembunyi di ruang bawah tanah kampus begitu mendengar suara pesawat pengebom dan sirine, sesuai instruksi keselamatan dari pihak kampus Arifin dan tiga kawannya pernah berkali-kali masuk ke ruang bawah tanah untuk menyelamatkan diri. “Ternyata tidak terjadi apa-apa, kami tidak masuk lubang lagi,” tulis Arifin. Mereka malah melihat pesawat-pesawat pengebom melaju di angkasa dan menyimpulkan Hiroshima tidak mungkin dibom. Paling-paling Kobe atau Osaka, pikir mereka. Pagi itu, Arifin dan tiga kawannya enggan melihat pesawat pengebom seperti hari-hari sebelumnya. Mereka memilih tinggal di kelas, sebab sinar mentari cukup terik dan dosen sudah hadir pula. Dosen tua memulai kuliah. Tangannya memegang kapur dan menuliskan beberapa kalimat di papan tulis. Tiba-tiba cahaya benderang serupa kilat merasuk ke ruangan melalui jendela kelas. Tidak ada bunyi apapun. Dosen tua itu sigap berlari ke luar ruang kelas. Tapi tahu-tahu atap bangunan ambruk, menimpa dosen tua dan Arifin beserta tiga kawannya. Mereka pingsan. Perkiraan Arifin dan tiga kawannya salah. Bukan Kobe atau Osaka sasaran pengeboman, melainkan Hiroshima. Dan tidak tanggung-tanggung, menurut John Hersey dalam Hiroshima: Ketika Bom dijatuhkan, bom tersebut mengandung uranium dan berkekuatan puluhan ribu kali lipat dari bom biasa. Itulah bom atom, bom berdaya ledak paling dahsyat masa itu. Mengapa Arifin dan tiga kawannya bisa sampai di Hiroshima pada 6 Agustus 1945? Cerita mereka bermula pada 1944. Pemerintah Jepang membuka pendaftaran program Nampo Tokubetsu Ryugakusei gelombang kedua. Program ini memberi kesempatan kepada anak-anak muda di wilayah pendudukan Jepang di Asia Tenggara untuk belajar di Jepang. Gelombang pendaftaran pertama berlangsung pada awal 1943. “Sebanyak 75 pemuda dari seluruh Jawa berkumpul di Jakarta untuk disaring menjadi 20, yakni jumlah yang akan dikirim ke Jepang. Ternyata yang diasramakan 23 orang,” kata Sukristo Sastrowarsito kepada Sam Suhaedi dalam Suka-Duka Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: