Teladan Sa’ad dan Ibnu Mas’ud

Teladan Sa’ad dan Ibnu Mas’ud

AKHIRNYA. Saya bisa bertemu lagi. Dengan Ustad Mukhtar bin Rifa’i. Akhir pekan lalu di Majalengka. Di Pondok Pesantren Nurul Ilmi Al Atsari. Kompleks Perum Sindangkasih. Beliau diundang mengisi daurah (tablig akbar). Mampir pula ke Masjid Jami Al Akbar, Cikijing. Pondok di Kota Angin ini. Salah satu markiz dakwah ahlussunnah sunni-salafi. Di wilayah III Cirebon. Selain Dhiya’us Sunnah (Cirebon). Ma’had As Salafy, Babakan (Cirebon). Ma’had Al Mujadid Imam Syafii (Indramayu). Tempat penggemblengan remaja putri. Tarbiyatun Nisa (TN). Calon ustazah, Insya Allah. Dan calon ibu generasi muslim. Yang paham tauhid dan melek sunnah. Yang akan mengajarkan Allah itu di atas langit. Bukan di mana-mana. Yang bakal memuliakan para sahabat nabi. Mengisahkan perjuangan mereka kepada buah hati sejak belia. Sehingga anak-anak kaum muslimin. Sedari kecil akan mencintai Rasulullah dan sahabatnya. Bukan sebaliknya. Akan terbiasa mendengar keharuman nama Abu Bakar Ash Shidiq. Kepahlawanan Umar bin Khattab. Ketabahan Utsman bin Affan. Keberanian Ali bin Abi Thalib. Kepiawaian Muawiyah bin Abu Sufyan. Termasuk keutamaan dua sahabat dalam tulisan ini: Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhum ajmain. Sudah setahun. Lebih beberapa bulan. Saya dan Ustad Mukhtar tidak bertemu. Terakhir, saya berkunjung ke kediaman beliau. Desa Lendah, Kulonprogo, DIY. Desa yang dikitari persawahan di area luar. Dan pepohonan jati di area dalam. Bisa dibayangkan menariknya desa ini: sawah menghijau di jalan masuk. Rindang pepohonan besar memayungi halaman rumah. Pas untuk yang senang nulis. Membangkitkan inspirasi. Menggerakkan mata pena di jalan dakwah. Sayangnya, tidak ada sega Jamblang di sana (senyum). Padahal godong jati – bungkus khas nasi itu berserakan. Tak heran beberapa pensiunan. Memilih hari tua di sana. Satu Subuh di masjid kampung. Saya menyaksikan. Jamaahnya sebagian besar orang tua. Juga kakek-kakek. Umumnya para petani. Mereka semangat belajar. Tak kenal kata pensiun. Usai salat. Tidak bubar. Lanjut mengaji. Membaca beberapa surat Alquran. Lantas mendengar tafsir ringkasnya. Dipandu Ustad Mukhtar. Ini kajian rutin. Semua berusaha tak ingin absen. Pelajaran lain: bahasa Arab. Ilmu nahwu. “Sekarang di Lendah sudah sampai mana?” tanya saya. “Sudah masuk kitab Mutammimah,” jawab Ustad Mukhtar. Masyaallah. Jempol! Dari sekadar mengenal mufrodat (kosakata) bahasa Arab. Rumah: baytun. Masjid: masjidun. Meja: maktabun. Pintu: baabun. Kini ganti sabuk. Lebih tinggi. Belajar jurus i’rab: kaidah keadaan akhir suatu kata. Dibaca dhommah, fathah, kasroh atau sukun. Kalau kelas santri. Di pondok-pondok pesantren. Mutammimah karya Syaikh Syamsudin Muhammad Araa’ini. Boleh dibilang tingkat awal. Tapi bayangkan. Orang tua kita. Ayah atau kakek kita. Belajar begituan di usia senja. Subhanallah. Di tengah kesibukan: ngurus keluarga, ngemong cucu, nggarap sawah. Bagaimana kita? Masih belasan. Duapuluhan. Tigapuluhan. Empatpuluhan. Tentu belajar tak kenal batas usia. Selagi mau. Selama punya tekad. Bismillah: semoga Allah mudahkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: