Soal Pembangunan Gedung Setda, Eks Kepala DPUPR Dituntut Tanggung Jawab
CIREBON – Pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) penuh dengan manuver. Baik secara administrasi maupun fisik pekerjaan. Itu terungkap dari wawancara terbaru wartawan Radar Cirebon dengan Pelaksana Manajer Proyek PT Rivomas Pentasurya, Taryanto. Dia membeberkan, alasan ada adendum pertama. Adendum kedua. Penambahan nilai kontrak dan serangkaian akrobat administrasi yang dilakukan eks Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR), Budi Raharjo. “Dua orang paling bertanggung jawab adalah Budi Raharjo (eks kepala DPUPR) dan MK (Manajemen Konstruksi),” ujar Taryanto, kepada Radar, Minggu (2/9). Taryanto berani sebut nama, bukannya tanpa alasan. Bukan asal tuduh. Meski ia baru turun ke Kota Cirebon belum genap dua bulan, tapi perjalanan proyek ini ia tahu betul. (Catatan: Project Manager Gedung Setda, sebelumnya dijabat oleh orang lain. Salah satunya Tajudin yang hingga kini masih menjabat). Taryanto paham proyek ini. Sejak awal dia yang mengeluarkan dan menyetujui adanya Contract Change Order (CCO). Ini dilakukan dua kali. CCO pertama dan kedua masih dalam nilai kontrak Rp 86 miliar. Sedangkan CCO ketiga nilainya membengkak jadi Rp 94 miliar. “Ada tambahan-tambahan itu kan dari DPUPR, karena ada masalah perencanaan itu,” tuturnya. CCO berlaku apabila pelaksanan kontrak pengadaan barang/jasa terutama pekerjaan fisik mengalami pekerjaan tambahan. Terutama dikarenakan adanya perubahan spesifikasi, teknis pekerjaan dan menyesuaikan kebutuhan di lapangan. Dalam proyek gedung delapan lantai ini, CCO sampai tiga kali. Banyak pekerjaan atau material bangunan yang diganti. Yang jadi masalah adalah penambahan. Ini yang dimaksud faktor buruknya perencanaan. Misal, aluminum composite panel (ACP) yang jumlahnya tidak bisa meng-cover Gedung Setda. Padahal, ACP ini ibarat casing. Yang jadi masalah, material ACP dalam CCO Rp86 miliar terlalu sedikit. Sehingga ada penambahan. Sudah begitu, masih ada tambahan lainnya. Seperti pemasangan culvert box. Ini juga di luar perencanaan proyek. “Kalau cek dokumen, itu nggak ada culvert box,\" sebutnya. Taryanto menyebut, addendum atau amandemen kontrak, keduanya merupakan produk lanjutan dari CCO. Pertanyaannya adalah, CCO dulu atau addendum dulu? Taryanto menyebut, addendum ada karena disetujuinya CCO. Hal ini yang dialami pada pengerjaan gedung setda dan sudah dilaksanakan semuanya oleh kontraktor. \"Apa yang kami dapat? Dimasukkannya CCO ketiga yang seharusnya Rp94 miliar menjadi Rp86 miliar saja. Belum dibayar sisa nilai kontrak Rp35 miliar. Sekarang kami dihadapkan dengan denda keterlambatan Rp11 miliar yang belum jelas hitungannya,\" katanya. Penjelasan ini menjadi gambaran baru dari persoalan Gedung Setda. Semula persepsinya adalah pemberian addendum adalah keputusan DPUPR. Sebagai ”bos”-nya proyek Rp86 miliar itu. Namun, melihat penjelasan ini, justru jadi terbalik. Justru addendum ada, karena persetujuan atas CCO. Atas beragam akrobat itu, menyesalkan sikap eks Kepala DPUPR, Ir Budi Raharjo MBA yang tidak mau menyelesaikan masalah ini. Dia bahkan terkesan menghindar dan hilang dari peredaran. \"Kami sudah nombok banyak. Pinjam dari bank dengan bunga komersial. Gedung sudah jadi, tapi mereka ingkar pada komitmen,\" sesalnya. Lantas, di mana keberadan Budi saat ini? Wartawan koran ini juga tak kunjung dapat menghubungi yang bersangkutan. Budi terakhir terlihat di Gedung Setda saat ada inspeksi tim Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon. (gus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: