Tak Disangka, Masa Hindia Belanda Kota Cirebon, Kota Paling Jorok

Tak Disangka, Masa Hindia Belanda Kota Cirebon, Kota Paling Jorok

Pada awal abad XIX Cirebon merupakan kota yang jorok dan dilecehkan.Demikian menurut Weekblad voor Indie, Nomor 15, tahun 1918-1919, halaman 407. Sampai dengan awal abad XX citra ini belum berubah. Keadaan Cirebon tidak teratur, kotor, becek, penuh lumpur dan comberan, serta tidak mempunyai saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Akibatnya, setiap tahun ketika musim hujan, Cirebon selalu terkena banjir dengan ketinggian mencapai sekitar satu meter di dalam rumah. Kelancaran aliran air sungai sangat tergantung pada pasang-surut air laut. Ketika laut pasang, sampah dan kotoran yang telah terendam air laut masuk ke dalam sungai dan kemudian menjadi tumpukan yang tebal di muara sungai. Tumpukan kotoran yang telah terendam air asin ini menaburkan aroma yang tidak sedap. Penduduk menyebut sungai yang mengalir di dalam kota dan menimbulkan bau tidak sedap yang menyengat itu dengan nama “Kali Bacin”. Lingkungan di sekitar pantai gersang dan udara terasa lebih panas, sehingga di kalangan masyarakat Cirebon berlaku ungkapan “barang siapa akan menetap di Cirebon, haruslah berkenalan dahulu dengan ‘penyakit’ panasnya. Jika sudah tertimpa, barulah ia diakui sah sebagai penduduk Cirebon. Hal ini diungkap dalam tulisan Dhanang Respati Puguh berjudul DARI PER ASPERA AD ASTRA KE CIREBON BARU: Perubahan Citra Kota Cirebon 1930-1950-an. Baca: DARI PER ASPERA AD ASTRA KE CIREBON BARU Perubahan Citra Kota Cirebon 1930-1950-an Masih mengutip tulisan tersebut, dan diungkapkan Dahlan, Kali Batjin yang mengalir di tengah-tengah kota, sudah menamakan dirinya sendiri. Karena keadaannya yang serba kotor itu tidaklah salah, jika nyamuk-nyamuk malaria tanpa gangguan dapat berkembang dengan suburnya dan tiap saat mengamuk dengan dahsyatnya. Tak seorang pun yang luput dari serangannya. Malahan bagi penduduk Kota Cirebon sudah menjadi buah bibir: “Barangsiapa akan menetap di Cirebon, haruslah berkenalan dahulu dengan penyakit panasnya. Jika sudah tertimpa, barulah ia diakui syah sebagai penduduk.” Melihat penduduk pribumi banyak yang terkena penyakit malaria dan prambosia akibat dari kondisi pemukiman dan lingkungan yang jauh dari standar kebersihan dan kesehatan, pemerintah meningkatkan kepeduliannya terhadap perbaikan kampung-kampung tersebut, walaupun dalam keadaan terbatasnya dana. Oleh karena itu dilakukan pemilihan jalan dan selokan kampung yang mana harus didahulukan berdasarkan skala prioritas. Demikian Zaenal Masduqi dalam karyanya Pemerintahan Kota Cirebon 1906-1942, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2010. Menurut Dahlan, dalam tahun-tahun pertama Pemerintah Kota yang dipimpin Asisten-Residen tidak nampak kegiatan ke arah perbaikan. Baru pada tahun 1917 waktu Asisten-Residen dijabat J.H.Eycken (1917 – 1920) Pemerintah Kota mulai menggerakkan langkahnya. Pertama-tama yang merupakan perubahan besar bagi Kota Cirebon adalah ditutupnya Kali Bacin yang dianggap sebagai sarang berbagai penyakit. Pekerjaan ini selesai dalam tahun 1920. Sesudah kali yang tersohor baunya ini lenyap, maka bekas-bekasnya menjadi jalan (Jl. Bahagia, Jl. Kantor dan Jl. Merdeka) dan gedung-gedung di antaranya pabrik rokok B.A.T. Dalam tahun 1920 Kota Cirebon dipimpin Burgemeester yang pertama, yakni J.H. Johan (1920 – 1935) yang memusatkan perhatiannya dalam bidang kesehatan. Pemerhati budaya Cirebon, Nurdin M. Noer mengungkapkan untuk menyalurkan air hujan, mandi, cuci dan sebagainya dibangun bis-bis riol di bawah tanah berikut pompanya, Juga di daerah-daerah yang sering tergenang air, seperti daerah Cirebon Selatan dibangun selokan-selokan yang dapat menyalurkan air dengan baik. Sejak tahun 1925 Kota Cirebon sudah bebas dari bencana banjir dan serangan penyakit panas. Di daerah Kesambi didirikan sebuah rumah sakit yang dalam tahun 1921 selesai dan dapat merawat 133 orang. Sementara di Jl. Kesambi yang kanan kirinya terdiri dari sawah mulai agak ramai, kemudian di sebelah kiri muncul beberapa rumah batu dan bambu. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: