Tanda Khusus untuk Caleg Eks Koruptor

Tanda Khusus untuk Caleg Eks Koruptor

JAKARTA–Tak ada yang bisa membatalkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan bakal calon legislatif (bacaleg) eks narapidana (napi) korupsi dipilih oleh rakyat. Namun, mencegah mereka duduk di kursi dewan masih bisa dilakukan. Semua bergantung pemilih. Apakah mau memberikan suaranya kepada mereka atau tidak. Nah, agar pemilih tahu siapa saja calon yang berlatar belakang napi korupsi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana memberi tanda khusus di surat suara. Perlakuan “istimewa” itu bisa memudahkan pemilih agar tidak salah menjatuhkan pilihannya. ”Semangat yang kami jadikan dasar dalam PKPU itu mencari instrumen yang bisa memastikan publik mengetahui keberadaan caleg tersebut (eks napi korupsi, red),” kata Komisioner KPU Viryan. Hanya, KPU tidak mau buru-buru terkait sejauh mana opsi tersebut bisa diambil. Sebab, sebagaimana mekanisme yang ada, prosedur pengambilan kebijakan melalui sejumlah rangkaian. Mulai dari rapat pleno komisioner, rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR dan Pemerintah, hingga uji publik. Mengingat waktu penetapan Daftar Caleg Tetap (DCT) dijadwalkan pada 20 September pekan depan, mantan KPU Pontianak itu memastikan keputusan akan diambil secepatnya. ”Kami perlu hati-hati dan cermat dalam melakukan penyesuaian di PKPU, sehingga tidak menghasilkan permasalahan baru,” terang dia. Viryan mengatakan, KPU menunggu draf putusan MA yang secara garis besar membolehkan mantan napi korupsi bisa dipilih dalam pemilihan legislatif (pileg) tahun depan. Bila draf sudah ditangan, KPU segera mempelajarinya. Khususnya terkait apakah putusan MA itu hanya untuk caleg eks koruptor yang mengugat ke Bawaslu atau termasuk memulihkan nama-nama yang sudah diganti. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menambahkan, meski aturannya sudah dibatalkan MA, dia berharap partai politik (parpol) memiliki komitmen untuk menarik calegnya yang berstatus eks koruptor. Apalagi, janji tersebut sudah disampaikan partai saat menandatangani pakta integritas. “Secara legal diperbolehkan oleh MA. Tapi secara etis, partai di internal mereka berhak mengatur caleg mantan koruptor tidak didaftarkan,” ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, putusan MA memang sangat mengecewakan. Meski demikian, dia berharap ikhtiar untuk mewujudkan caleg berintegritas tidak usai. Selain menagih partai memenuhi komitmen pakta integritas, penyelenggara juga masih bisa melakukan akselerasi. Salah satunya dengan menandai atau membuka riwayat hidup caleg eks koruptor. Sehingga publik bisa mendapatkan informasi dan caleg koruptor diharapkan tidak lagi terpilih. “Bahkan sampai pengumuman di TPS-TPS di mana ada caleg yang merupakan mantan napi korupsi,” kata dia. Titi menilai, penyelenggara tidak perlu ragu untuk memberikan perhatian khusus terhadap caleg eks koruptor. Apalagi, tokoh sekaliber Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla pun memberikan dukungan untuk perlakuan berbeda tersebut. Lebih, lanjut lagi, wanita asal Palembang itu berharap semangat yang diwacanakan KPU bisa diakomodir dalam peraturan undang-undang. Sehingga dari aspek hukum, dasar yang dijadikan pijakan bisa lebih kuat. Hal senada diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina. Dia berharap parpol mencoret nama-nama mantan napi korupsi yang menang gugatan ini. Sebab, parpol telah menandatangani pakta integritas. ”Artinya mereka sudah mempunyai komitmen untuk tidak mencalonkan orang-orang (eks napi koruptor) ini di pemilu 2019,” ungkapnya. Pendiri Madrasah Antikorupsi Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan putusan MA telah mengabaikan standar etika publik. Menurut dia, logika MA terkait hak hukum bacaleg mantan koruptor sama saja mengabaikan syarat-syarat standar para “pencari kerja”. Seperti, SKCK dari kepolisian yang memperhatikan klausul tidak pernah dipidana. ”Kalau pakai logika MA dan Bawaslu, syarat-syarat tidak pernah dipidana pada rekrutmen pejabat publik seperti KPK, BPK dan lain-lain tidak perlu lagi,” kritiknya. Namun, putusan itu tetap harus dihormati. Kini, bola panas polemik tersebut ada di tangan parpol. Dahnil pun mendesak parpol benar-benar menunjukkan komitmen moral yang pernah disampaikan sebelumnya. ”Karena partai-partai itu sudah menandatangani pakta integritas, kita perlu mengingatkan sikap etik (parpol, red),” tegas Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini. Bukan hanya dari kalangan sipil, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang juga angkat suara soal putusan MA tersebut. Saut menyatakan lembaganya tetap akan mencegah perilaku jahat koruptor meski MA tidak sejalan dengan semangat pencegahan korupsi. ”KPK akan terus melaksanakan wewenangnya. Menindak dan mencegah perilaku jahat (koruptor, red),” ungkapnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group). Di sisi lain, Presiden Joko Widodo menghormati putusan MA yang membolehkan eks koruptor untuk maju dalam pemilihan legislatif. Menurutnya, putusan tersebut murni kewenangan lembaga yudikatif. \"Kita nggak bisa intervensi,\" ujarnya di sela-sela kunjungan kerja di Jawa Tengah. Meski demikian, Presiden percaya jika masyarakat sudah semakin cerdas dalam berpolitik. Di mana dalam memilih calon legislatif mendatang, masyarakat pasti akan mempertimbangkan latar belakang dan track record calon sebelum memilih. \"Masyarakat semakin dewasa, semakin pintar melihat siapa yang harus dipilih,\" imbuhnya. Terkait opsi memberikan tanda bagi caleg eks koruptor, Jokowi mengakui sejak awal mengusulkan hal tersebut. Namun, keputusan akhirnya menjadi kewenangan KPU. Sementara itu, dari sekian banyak nama mantan koruptor yang mendapat angin segar adanya putusan MA adalah Muhammad Taufik. Bacaleg yang juga merupakan Ketua DPD DKI Jakarta Partai Gerindra itu mengaku bersyukur atas adanya putusan itu. Baginya, langkahnya yang ngotot ingin mencalonkan diri ke parlemen semakin terbuka usai MA mengetuk palu. Menurut Taufik, putusan MA yang telah mengakhiri beda pendapat antara KPU dan Bawaslu adalah hal yang tepat. Sebab, UU Pemilu tak melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. ‘’Alhamdulillah (semakin lancar), amiin. Udah benar, paling benar itu keputusan MA,’’ ujarnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group), kemarin (15/9). Bahkan, pria 61 tahun yang pernah terjerat kasus korupsi ketika menjabat sebagai Ketua KPU DKI Jakarta itu cukup yakin pada kesempatan yang akan diperolehnya di kursi parlemen. Taufik memang pernah divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004 karena merugikan uang negara sebesar Rp488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. Namun hal itu tak menyurutkan kepercayaan dirinya yang merasa bahwa peluang untuk menjadi wakil rakyat masih terbuka lebar. ‘’Besar, menurut saya (kesempatan saya) besar. Besar dong,’’ tambahnya. Usai adanya putusan MA itu, Taufik mengaku tak banyak yang akan dilakukannya. Hingga kini, dia masih menunggu adanya langkah dari KPU pascaputusan itu keluar. Namun, yang jelas, Taufik ngotot bahwa KPU harus menjalankan seluruh aturan yang telah diputuskan oleh MA. Sebelumnya, Taufik juga telah melaporkan KPU DKI Jakarta  ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Polda Metro Jaya, serta Bawaslu DKI Jakarta karena mencoret namanya dalam daftar bakal calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 mendatang. KPU dianggap tidak menaati putusan Bawaslu terkait M Taufik yang telah dinyatakan lolos. Laporan tersebut disampaikan kepada Bawaslu DKI Jumat (14/9). ‘’Saya nggak ngapa-ngapain, saya hanya menunggu saja. Menunggu KPU melakukan tindakan atau langkah lebih lanjut atas putusan MA. Dia harus mengembalikan nama saya dong. Kalau nggak mau mengembalikan nama saya ya masak mau dilanggar lagi keputusan institusi negara lagi. Repot,’’ tegasnya. (far/tyo/dee)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: