Harga Acuan Ayam-Telur Naik Mulai 1 Oktober

Harga Acuan Ayam-Telur Naik Mulai 1 Oktober

JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyesuaikan batas bawah dan atas harga telur di level peternak menyusul banderolnya yang terus melandai. Diharapkan, peternak atau pengusaha ternak tetap mendapatkan margin yang fair dan tidak gulung tikar akibat rendahnya harga di pasar. “Berlaku di peternakan. Harga anjlok akibat rendahnya permintaan telur. Kalau tidak disikapi, ini akan menimbulkan persoalan bagi peternak,” ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita di kantor Kemendag, kemarin (26/9). Enggar menjelaskan, penyesuaian perlu dilakukan karena harga telur yang beredar di konsumen saat ini sekitar Rp 20 ribu per kg kurang adil bagi peternak di tengah naiknya harga pakan. Keputusan tersebut diambil setelah Kemendag mendengar masukan dari berbagai pihak. Mulai Apindo, asosiasi petelur, hingga KPPU. Menurut Enggar, tarif yang ditentukan telah dipertimbangkan agar terjadi keseimbangan di level peternak dan konsumen. Jika harganya terlalu rendah, peternak merugi. Bila harganya terlalu tinggi, rentan terjadi inflasi. Kemendag menyatakan, tarif batas atas dan bawah itu akan berlaku mulai 1 Oktober. “Tapi, penetapan harga ini fleksibel. Kita melihat perkembangan yang ada,” kata Enggar. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Peternakan Anton Supit menuturkan, jatuhnya harga telur tidak terlepas dari hukum supply-demand. “Di Jawa demand turun, sementara hasil produksi sedang pada puncaknya,” ungkap Anton. Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah Suwandi mengakui, pada momen bulan Sura, permintaan telur turun cukup drastis. Padahal, kapasitas produksi telur cukup prima. Yakni, 6.800 ton per hari di level nasional. “Biasanya, pada hari normal permintaan mengimbangi produksi. Tapi, sekarang permintaan paling banyak hanya 6.200 ton per hari,” jelasnya. Karena itu, Suwandi menganggap keputusan Mendag menyesuaikan harga acuan merupakan solusi tengah yang perlu diambil. “Secara perhitungan, kami justru berharap harga batas bawah ada di angka Rp 19 ribu per kg. Nanti sampai di konsumen mungkin Rp 22 ribu sampai Rp 24 ribu,” tuturnya. Sementara itu, Menko Perekonomian Darmin Nasution berharap Badan Pusat Statistik (BPS) memperbarui data pangan. Sebab, data ketersediaan pangan tidak diperbarui sejak beberapa tahun terakhir. “Aku tadi lihat-lihat statistik Indonesia 2018, lihat cabai dan bawang terakhir 2017. Jagung, singkong, beras, kok 2015? Jadi, kelihatannya memang BPS tidak melanjutkan publikasi data pangan dan bahan makanan setelah 2015,” katanya. Menurut dia, harus ada data dari pihak yang tidak berurusan langsung dengan bahan pangan tersebut. Artinya, data itu harus dihasilkan BPS, bukan pelaku usaha maupun kementerian teknis. Selama ini data suplai bahan pangan dan makanan biasanya dirilis kementerian teknis. Misalnya, Kemendag dan Kementerian Pertanian (Kementan). (agf/rin/c14/oki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: