Eks Grand Hotel, Saksi Bisu Sejarah di Pusat Pemerintahan

Eks Grand Hotel, Saksi Bisu Sejarah di Pusat Pemerintahan

Lokasinya di pusat kota. Persis di samping Alun-alun Kejaksan. Pernah menyita perhatian di masanya. Disebut-sebut sebagai saksi sejarah terjadinya kudeta lokal Laskar Merah. Bagaimana penampakannya saat ini? AGUS RAHMAT, Kejaksan TANAH kosong itu seperti tak bertuan. Pagar seng terpasang di sekelilingnya. Reruntuhan bangunan bertahun-tahun tertutup semak belukar. Ditumbuhi alang-alang. Semakin samar, seiring minimnya sumber sejarah terkait peristiwa yang terjadi di bangunan ini. Disebut-sebut sebagai bekas Grand Hotel. Atau yang lebih lampau lagi disebut bekas Hotel Leebrinck. Yang dalam catatan sejarah disebutkan menjadi markas dari pergerakan Laskar Merah pimpinan M Joeseof, 12-14 Februari 1946. Dari wawancara yang dilakukan Radar Cirebon dengan sejumlah narasumber, diperkirakan luas lahan ini 9.400 meter persegi. Lokasinya strategis. Tapi 18 tahun tak ada pemanfaatan atau pembangunan. Pasdahal lokasinya di pusat kota. Sangat strategis. Hingga saat ini tidak ada yang berani menyentuhnya termasuk Pemerintah Kota Cirebon. Salah satu saksi terkait polemik kepemilikan eks Grand Hotel ini adalah Yunasril Yuzar SH. Diceritakan, tanah dan bangunan Grand Hotel tersebut awalnya milik Syamsi. Sekitar Tahun 1987 sertifikatnya dihipotekkan ke Bank Bumi Daya (BBD) waktu itu. Didapatlah pinjaman sekitar Rp500 juta. Nilai yang begitu besar ketika itu. Namun, seiring berjalannya waktu, pihak Syamsi tidak bisa membayar pinjaman itu. Syamsi mencari solusi. Tahun 1989 bertemu Bimbang Dwi Harsono untuk negosiasi pembayaran ke bank. Bimbang siap menyediakan dana Rp700 juta dulu dengan total pembelian Rp900 juta. Dan terjadilah transaksi pelunasan ke BBD. Tapi Syamsi tahu, Bimbang mendapatkan dana kredit tersebut juga dari pinjaman BBD. Mengetahui ini Syamsi bertemu dengan Chandra. Kemudian menyusut siasat. “Chandra ini yang mengajari Syamsi berpura-pura punya utang kepadanya,\" cerita Yuzar. Selanjutnya, Chandra menggugat Syamsi di Pengadilan Negeri (PN) Kota Tasikmalaya. Melalui penggugatnya seorang asal Mundu. Yuzar lupa dengan identitas pihak ini. Sebut saja \"A\". Dari gugatan itu dihasilkan keputusan melelang Grand Hotel. Dalam lelang dimenangkan dan dibeli oleh A yang kemudian membentuk badan usaha PT Naga Mutiara. Sedangkan untuk membayar lelang, uangnya berasal dari orang kaya Tasikmalaya berinisial B. Pihak ini yang kemudian memegang sertifikatnya. Di sini masalah muncul kembali. Setelah menang lelang, tanah itu dijual kembali ke sebuah PT. Pembagian uang dari penjualan itu yang menimbulkan konflik. Diantaranya pengusiran Bimbang tahun 1991 dari Grand Hotel. \"Atas konflik ini A dan B mengajukan gugatan ke MA. Tahun 1998,\" jelasnya. Dari sini, jelas Yuzar, King Ho seorang pemain tanah asal Bandung masuk untuk membeli tanah tersebut. Kemudian dijual kembali kepada tiga orang. Satu diantaranya adalah Otan. Sampai sekarang ketiga orang itu yang menguasai sertifikat eks Grand Hotel. Namun sertifikat itu Yuzar yakin sebenarnya cacat hukum. Bagaimana bisa? “Saya pegang rahasianya,\" tutupnya. MAU DIBANGUN APA? Berulang kali jadi sengketa, hamparan tanah kosong di samping Alun-alun Kejaksan seperti ada yang menggarap. Reruntuhan bangunan sudah tidak ada. Ada pemasangan paving block yang sepertinya belum tuntas. Sayangnya, di lokasi tak banyak yang bisa digali keterangannya. Sempat ada isu bahwa di lahan tersebut akan dibangun hotel. Namun rencana ini belum diketahui pemerintah. Kepala Bidang Penanaman Modal Dinas Penanaman Modal Pelayanan Perizinan Satu Pintu (DPMPTSP), Wawan Supramuka mengaku, belum ada pengajuan izin yang masuk. Terutama untuk lokasi eks Hotel Ribink. \"Kita juga belum tahu, itu tanah kosong mau dibangun apakah hotel atau mall. Nanti kalau sudah ada pengajua,\" ujar Wawan, Jumat (28/9). Wawan tak bisa memaparkan lebih lanjut, karena keterbatasan informasi terkait lahan ini. Namun, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Cirebon, Yuyun Wahyu Kurnia menyayangkan lokasi bersejarah itu diratakan dengan tanah. Ia tahu betul hotel itu di masa jayanya. Bangunan cagar budaya eks Grand Hotel atau Leebricnk itu hilang tak bersisa. Yuyun punya pendapat lain. Menurut dia, polemik ini diawali pemmbuatan seritifikat oleh pihak lain. Padahal, asetnya dalam keadaan hipotek. \"Polemik ini sebenarnya sudah dimenangkan pihak yang menghipotekkan. Tapi sampai sekarang belum ada eksekusinya,\" ujar Yuyun. Perkara kepemilikan ini sempat disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, polemik ini justru membuat gedung terbengkalai. Padahal secara usia, diduga bangunan eks hotel itu seangkatan dengan Gedung British America Tobacco (BAT). \"Ya apa boleh buat, waktu itu belum ada perda cagar budaya,” tuturnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: