Menziarahi Tradisi, Merawat Toleransi

Menziarahi Tradisi, Merawat Toleransi

MINGGU, 13 November 2016. Suasana yang syahdu pada kebaktian sakral pagi itu mendadak ricuh bergemuruh. Suara teriakan dari para jemaat yang terkena percikan api menghantam gendang telinga dan dinding gereja. Nyanyian seriosa dan bait-bait kitab suci berubah seketika menjadi jerit tangis dan simbah darah. Bom molotov telah meluluh-lantakkan halaman gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur. Minggu, 13 Mei 2018. Surabaya mendadak dihantam serentetan aksi brutal ledakan di tiga gereja dalam waktu nyaris bersamaan. Di Gereja Santa Maria Tak Bercela bom meledak pukul 06.30 WIB, di Gereja Kristen Indonesia pukul 07.15 WIB, sementara di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya pukul 07.53 WIB. Sedikitnya 13 masyarakat tak berdosa meninggal dunia dan 41 luka-luka. Esok harinya, 14 Mei 2018, aksi barbar juga menyasar Mapolrestabes Surabaya. Teror ini menyebabkan 4 anggota polisi dan 6 warga mengalami luka-luka. Sungguh tragedi demikian akan menjadi daftar maha panjang jika kita mau mengurainya lebih jauh. Tragedi yang telah mengaduk-aduk akal sehat dan nurani waras kita sebagai manusia. Tragedi yang melukai kebhinnekaan kita sebagai warga Nusantara. Tragedi yang telah mengkhianati amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 sebagai dasar nilai Republik Indonesia. Sampai di titik ini serasa ada yang mengganjal di benak: kenapa agama mampu menjadi daya ledak seseorang manusia untuk menghancurkan manusia lainnya? Bukankah agama apa pun senantiasa menitahkan pengikutnya untuk saling menebar welas asih ke segala penjuru mata angin? Apa artinya keagungan agama jika tidak menghargai harkat hidup kemanusiaan? Dari deretan tanya itulah penulis teringat Sunan Kalijaga. Salah seorang punggawa Walisanga ini begitu memikat hati ketika menebarkan segala titah ilahi. Di dalamnya tak ada indoktrinasi apalagi represi. Dalam mengemban tugas kewaliannya, Sunan Kalijaga lebih memilih seni tradisi sebagai medium yang paling ampuh. Wayang kulit ia pilih karena lebih dekat dengan sisi inti spiritualitas masyarakat. Karena, kita tahu, kesenian adalah rohani masyarakat (saat itu?). Maka benar saja, Sunan Kalijaga segera diterima oleh publik luas. Masyarakat pesisir utara Jawa, pelan tapi pasti, mengikuti pitutur sang dalang. Sang Sunan berhasil menyinergikan antara agama, (pola) pendidikan, dan seni tradisi. Bukan justru mempertentangkannya seperti yang marak saat ini. Lebih dari itu, Sunan Kalijaga juga mampu menghembuskan spirit agama tanpa bedil dan mesiu. KEBERAGAMAN KINI Sayangnya spirit keberagamaan model Sunan Kalijaga itu kian ke sini kian pudar. Kecenderungan masyarakat muslim Indonesia saat ini, utamanya di kota-kota besar, lebih mudah tertarik dengan style dan diktum Islam ala Timur Tengahan. Seolah-olah dengan melakukan misi amar maruf nahi munkar secara frontal, menciptakan Perundang-undangan syariat dan berangan-angan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah itu semua bisa membuat seseorang paling Islami. Fenomena seperti ini sesungguhnya lebih bermuatan nostalgia ketimbang spirit kebangkitan agama. Lantaran, Islam sudah terlampau jauh tertinggal dalam laju globalisasi zaman yang melaju kencang. Dari situlah, ide puritanisme agama tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Apa pun motifnya, Islam model seperti ini sebenarnya lebih mengutamakan jalbul masholih (mencipta kebaikan) daripada darul mafasid (mencegah kerusakan) meminjam salah satu aksioma Qowaid al-Fiqhiyah. Padahal kita semua tahu, ulama-ulama dari dulu telah menetapkan kaidah bahwa darul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih: mencegah kerusakan, dis-integrasi, chaos, konflik horisontal, lebih diutamakan hukumya daripada melulu menegakkan kebaikan artifisial yang efeknya belum tentu dirasakan semua orang (Syeh Ahmad, 2005: 52). Ini, misalnya, menemukan kristalisasinya pada munculnya keinginan untuk kembali memberlakukan Piagam Jakarta dari beberapa ormas dan orpol yang kini tengah naik daun. Perda-Perda Syariat yang kini mulai marak digelorakan adalah salah satu kecambah yang diyakini sebagai implikasi dari keinginan itu. Seiring diberlakukannya Otonomi Daerah, di mana pemerintah daerah berhak untuk mengatur daerahnya masing-masing dengan menerbitkan peraturan-peraturan secara relatif lebih bebas, maka lahirlah Perda (Peraturan Daerah) tentang Syariat Islam. Lepas dari motivasi yang melatar belakangi, pada dasarnya Perda Syariat bisa dianggap sebagai kelanjutan gugatan terhadap Pancasila. Meskipun, semua sadar bahwa dasar Negara Indonesia adalah Pancasila, kenapa kini ada pemerintah-pemerintah kecil yang mendirikan “negara-negara Islam kecil” di tingkat provinsi dan kabupaten? Piagam Jakarta yang juga berarti pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum positif, sekarang harus dipaksakan pada level daerah. Bukankah Pancasila harus diterima oleh siapa saja, tidak hanya disepakati secara semu pada level nasional namun sebaliknya dilucuti di tingkat daerah? Lebih jauh, semangat Piagam Jakarta juga kini tengah merambat pada sekujur dunia kampus dan sekolah. Tentu tak asing lagi bahwa hampir di semua kampus terdapat organ ekstra mahasiswa bernama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) atau jika di sekolah menengah dikenal dengan sebutan Rohis? Dua organ ekstra ini, meski berlabelkan Islam, juga ditengarai sebagai corong masuknya ideologi-ideologi Islam ala Timur Tengah pada ranah intelektualitas mahasiswa. Ini terutama terjadi pada universitas-universitas umum-negeri. Lantaran memang, propoganda radikalisme paling mudah dilakukan pada masyarakat urban nan formal yang corak keberagamaannya masih labil. Begitu juga dengan yang kedua, fenomena Rohis lazimnya muncul di SMA-SMA Negeri. Bahkan pernah terjadi satu kasus di mana sekelompok siswa SMA yang tergabung dalam keorganisasian Rohis menolak untuk memberi hormat pada Sang Saka Merah Putih di kala upacara (Kompas, 15/08/11). Ini tentu bencana mahadahsyat untuk nasionalisme dan kebhinekaan bangsa ini. Padahal, seperti yang kerap Gus Dur bilang: kita orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam. Bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia. Berangkat dari titik ini, langkah konkret untuk membumikan elan vital keberagama(a)n yang sejuk dan damai mendapat relevansinya yang tajam. Jalinan dialog lintas agama dan etnik demi menjemput peradaban Nusantara yang berbasis perbedaan mutlak harus digalakkan. Dan pemuda, sebagai nakhda bangsa ke depan harus menjadi pioneer motor penggerak bagi proyek pemberadaban ini. Bukankah, pemudalah yang nanti akan menentukan arah biduk kapal Indonesia ini ke mana hendak berlayar? SEUTAS SOLUSI “Jika Anda ingin memahami hari ini, Anda harus mencari kemarin”, ujar Pearl S. Buck. Artinya, kita musti menziarahi tradisi jika hendak mengetahui secara komprehensif jati diri kultural dan kebangsaan kita. Untuk memulai hal itu, bisa dimulai dengan pertama, menggalakan lebih banyak lagi program pertukaran mahasiswa/pelajar lintas agama, suku, dan negara dengan tujuan untuk lebih membuka kran cakrawala berpikir masyarakat terpelajar agar lebih berwawasan kebudayaan. Seperti yang sudah lama digagas American Field Service (AFS). Program yang di Indonesia dibidani oleh Yayasan Bina Antarbudaya ini sudah setengah abad lebih menyemai benih perdamaian dan pemberadaban lintas agama, budaya, dan negara melalui program pertukaran pelajar. Taufik Ismail (penyair terkemuka) dan Imam B. Prasojo (Sosiolog UI) adalah di antara dua alumnus program ini. Di tengah situasi Indonesia yang majemuk tetapi masih rentan dengan friksi sosial ini, alangkah indahnya jika program serupa digalakkan di dalam negeri. Remaja dan generasi muda dari satu daerah diajak untuk mengenal, merasakan, dan memahami bianglala perbedaan budaya yang dimiliki saudara sebangsanya di daerah lain. Contohnya mungkin seorang pelajar/mahasiswa dari Tomohon, Sulawesi Utara, bisa merasakan tinggal di Padang, Sumatera Barat. Seorang pelajar/mahasiswa dari Solo, Jawa Tengah, sanggup mencicipi tinggal di Aceh. Dan seterusnya. Kedua, membumikan ilmu pengetahuan yang khusus mengkaji perbandingan (semua) agama dan budaya yang bersemi di Nusantara ini. Ini terutama paling relevan ditancapkan pada jenjang SLTA. Momentum ini penulis kira sangat tepat, lantaran bertepatan dengan implementasi kurikulum 2013 yang memberikan porsi dua kali lipat untuk pelajaran agama. Dengan catatan, model pembelajaran agama yang awalnya mono-religius musti diganti dengan multi-religius. Dan pendekatan yang dipakai juga menggunakan bingkai seni-tradisi masing-masing daerah di mana sekolah itu tinggal. Karena, seperti disinyalir penelitian Maarif Institute di 50 SMAN ditemukan fakta: budaya kewargaan tidak menjadi arus besar dalam institusi pendidikan. Pendidikan keagamaan juga belum sepenuhnya menyentuh ruang-ruang konvergensi nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kewargaan yang berbasis pada toleransi dan pluralisme kebudayaan. Padahal, lembaga pendidikan seharusnya menjadi laboratorium bagi integrasi sosial, agama, etnisitas, dan budaya (Kompas, 03/04/13). Di perguruan tinggi, model ini perlu ditingkatkan lagi menjadi inter-religius. Selain mendidik mahasiswa untuk tidak gampang terjebak pada perangkap sekteranisme, model terakhir ini akan menyiapkan mahasiswa berinteraksi secara bermakna dengan keberagaman di sekitarnya, serta mampu memberikan tanggapan yang positif. Ini mutlak penting diperlukan agar keberagama(a)n bisa dikelola menjadi sumber daya, bukan sumber bencana, bagi kehidupan bersama (Munjid: 2013). MENGEJA TRADISI Daripada terus menerus memplagiat model keagamaan khas Timur Tengah, ada baiknya kita telaah lagi model keberagamaan kita yang khas Nusantara. Keberagamaan yang menyatu dengan tradisi hingga melahirkan kekhidmatan dan kebersahajaan. Karena dari seni dan tradisilah muara kebijaksanaan kerap mengalir dengan derasnya. Maka tak perlu lagi kiranya mendaras literatur-literatur agitatif yang jauh dari elan vital tradisi keberagama(a)n kita. Yang dibutuhkan hanya kembali lagi ke habitus tradisi di mana kita dilahirkan. Seperti yang bisa kita simak dalam Serat Kalatida pupuh Sinom bait ke-10, pujangga Ronggowarsito melantunkan tembang indah: “Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana wirayat muni, Ichtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kang kaesthi antuka parmaning Suksma [apa pun dilakukan untuk membuat orang senang, prinsipnya asal tidak menimbulkan persoalan. Ini sesuai petuah bahwa manusia itu wajib ikhtiar, tapi harus memilih cara yang paling baik. Usaha tersebut perlu dibarengi kehati-hatian agar mendapat rahmat Tuhan]” (Abdul Munir Mulkhan, 2005:21). Pernahkah para pencaci bhinneka itu membaca serat ini? Juga ketimbang terus menerus menjadikan khazanah bagian dunia lain sebagai kiblat pendidikan dan kebudayaan, ada baiknya jika kita menengok lagi seni tradisi negeri sendiri sebagai momentum mengeja Ibu Pertiwi. Lantaran jati diri dan ekspektasi tak bisa kita lacak hanya melulu dari koordinat geografis yang melingkupinya, melainkan dari sejauh mana kita mengenal dengan baik seni tradisi yang dibuahkan dari keringat nalar para leluhur. Di samping itu, seni tradisi juga mampu menjadi moda penetralisasi dari gempuran-gempuran paket budaya yang hegemonik seperti Hollywood, Bollywood, K-Pop, Arabisme, dan sebagainya. Seperti ujar Fritjop Capra, pakar post-modernisme, seni tradisi adalah semacam tetirah, atau halte perenungan, bagi manusia abad digital ini yang telah dikelabui oleh kedigdayaan positivisme sains modern sejak abad renaisans dan aufklarung merebak di Eropa (Derrida, 2005:12). Mungkin saatnyalah kini bagi kaum terpelajar bangsa ini untuk kembali mengeja seni tradisi. Menziarahi pedalaman Ibu Pertiwi. Empu Tantular (Kakawin Sutasoma), Sunan Kalijaga (Macapat Ilir-ilir), Ronggowarsito (Serat Kalatida), sudah melakukan upaya nyekar ing sukma nuswantara itu. Sekarang: kapan giliran Anda turut andil di dalamnya? (*) Ditulis Muhammad Khoerul Anwar, pemerhati kebudayaan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: