25 Tahun, Suhadai Urus Mayat, Teringat Bonus Peti Jenazah

25 Tahun, Suhadai Urus Mayat, Teringat Bonus Peti Jenazah

Hidup harus dinikmati. Hidup untuk bekerja dan beribadah. Itulah prinsip Suhadai. Mengurus mayat di kamar jenazah RSD Gunung Jati Cirebon adalah sebuah kebanggan. Ia bisa bekerja sekaligus berbuat untuk manusia. NURHIDAYAT, Cirebon MENDENGAR kata kamar mayat atau kamar jenazah, pasti sudah merinding. Apalagi harus berurusan dengan mayat. Setiap hari. Tetapi, itulah tugas Suhadai. Pria 50 tahun warga Desa Karangreja, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon. Sudah 25 tahun ‘berurusan’ dengan mayat. Dari yang masih segar dan utuh, sampai yang sudah tak berbentuk. Ia juga kerap mengurus jenazah yang sudah berbau busuk. Biasanya karena baru diketahui setelah beberapa hari tewas. Radar Cirebon menemui pria kelahiran Cirebon 7 Juni 1968 itu. Ia tengah beristirahat. Di salah satu sudut Instalasi Forensik dan Pengurusan Jenazah RSD Gunung Jati. Pembawaannya santai. Enak dijajak berbincang apapun. Karena sosoknya yang santai dan ramah itulah, hampir semua pegawai rumah sakit mengenal Suhadai. Namun, di balik sosoknya yang santai dan periang, ia menyimpan banyak cerita dan pengalaman selama bertugas sebagai staf kamar mayat rumah sakit. “Kalau sekarang kebetulan agak santai, karena di dalam (kamar mayat) sedang kosong (tak ada kiriman jenazah, red),” tuturnya, membuka pembicaraan. Saat sedang sibuk, suami dari Juna Septiana itu harus selalu siap. 24 jam. Bahkan saat sedang beristirahat di rumah atau bersantai dengan cucu semata wayangnya. Kapan pun, ketika seseorang membutuhkan pertolongan, ia berangkat seketika. Memacu kendaraan. Saat pagi buta sekalipun. “Kalau saya bekerja ibaratnya 24 jam. Walaupun tidak sedang piket, kalau ada panggilan dari teman misal ada penemuan mayat. Saya datang bantu teman-teman lain,” imbuh pria yang juga seniman grup Sandiwara Bima Suci Desa Suranenggala Kidul, Kecamatan Suranenggala, Cirebon, itu. Menjadi staf kamar mayat, pekerjaannya tidak jauh dari mengurus mayat. Dari mayat yang masih utuh sampai yang sudah hancur tidak berbentuk akibat kecelakaan lalu lintas atau tertabrak kereta api. Dari yang meninggal karena sakit hingga mayat korban pembunuhan atau bunuh diri. Dari mayat yang masih segar sampai mayat yang sudah seminggu baru ditemukan, hingga mengeluarkan bau busuk, dipenuhi belatung. “Itu sudah risiko ya. Karena polisi kadang minta bantuan kita untuk mengambil jenazah. Ya kita berangkat sama sopir ambulans,” ungkapnya. Sebagai manusia biasa, bapak dua putra itu juga sempat merasakan kengerian di masa awal menjadi staf kamar mayat. Seiring berjalannya waktu, ia kemudian terbiasa. Bahkan menikmati pekerjaannya itu. Tahun 1986 ia pertama masuk bekerja di rumah sakit sebagai staf rumah tangga. Setelah 7 tahun, dipindahkan ke kamar mayat. “Namanya juga manusia, tetap saja ada perasaan takut. Cuma istilahnya kan, bisa karena biasa. Mungkin kalau orang yang nggak ngerti kan, takut bangsa setan. Takut ada yang ganggu atau apa. Tapi yang penting kita yakin dan punya iman. Minimal kita bisa berdoa lah,” terangnya. “Ya pernah saya merasakan seperti ada makhluk jin bentuknya macam-macam. Ada yang seperti anak-anak, ada yang berwarna hitam. Pernah juga malam-malam ada yang ketawa-ketawa padahal tidak ada orang,” lanjutnya, serius. Namun, itu semua baginya adalah sebuah kelaziman yang tak perlu dikhawatirkan berlebih. Sebab, sejatinya, manusia hidup berdampingan dengan makhluk lain seperti jin. Yang memang berada di sekeliling kita. “Jadi sudah nggak aneh. Kan nggak ada setan makan manusia. Kalau setan makan manusia, bisa habis manusia,” lanjutnya, lalu tersenyum. Selain pengalaman mistis di tempat kerja, pengalaman lain yang tak mudah dilupakan adalah kala kantornya menerima banyak mayat korban kecelakaan kereta api. Saat itu, sekitar tahun 2000-an, terjadi insiden tabrakan kereta api antara kereta Empu Jaya dan lokomotif Cirebon Ekspres. Korbannya cukup banyak, sekitar 42 nyawa melayang. “Jumlah mayatnya 39 di sini. Kita tangani semua,” paparnya. Kala itu, ia tengah berdinas malam berdua. Dengan salah satu rekannya. Pertama kali pengiriman mayat sekitar pukul 05.45 WIB dengan jumlah sebanyak 16 mayat. Kemudian menyusul 5 mayat, dan seterusnya. Hingga terkumpul total 39 mayat. Tidak hanya mayat yang utuh, bahkan salah satu mayat dalam keadaan tanpa kepala. “Kita kerjakan itu tiga hari tiga malam. Alhamdulillah selesai semua dan dikenali semua, karena di TKP tidak ada yang mengacak-acak. Barang bukti korban juga utuh,” tambah pria berperawakan gemuk itu. Saat itu, seluruh biaya pengurusan jenazah ditanggung PT KAI. Termasuk penyediaan peti jenazah atau peti mati. Uniknya, pihak KAI memberikan peti mati lebih dari jumlah yang dibutuhkan. Jumlah peti yang dikirimkan sebanyak 40 buah, sedangkan jumlah mayat 39. “Lebih satu. Tapi kata orang kereta api, sudah untuk kamar jenazah saja. Kita dapat bonus satu,” kelakarnya, lalu tertawa. Bagi Suhadai, pekerjaan sulit dianggap tantangan. Ia niatkan selain sebagai tempat mencari nafkah, juga ladang ibadah. Ia ikhlas kala harus mengurus jenazah yang tidak memiliki anggota keluarga atau tidak ada pihak yang mencari keberadaan korban. Tanpa dibayar. Ia urus bersama rekan-rekannya hingga ke tempat pemakaman. “Semua biaya ditanggung rumah sakit. Kita kadang tidak mendapat uang lelah, tapi tak apa-apa. Sebagai muslim, itu kan kewajiban kita. Jadi ikhlas saja. Karena itu kan mayat manusia. Kita harus benar mengurus dan hati hati,” tutur anak kedua dari 3 saudara itu. Terlebih, menurut Suhadai, korban kecelakaan atau gelandangan yang meninggal hingga penemuan mayat tak dikenal, jumlahnya cukup banyak. Tahun 2016 ada sekitar 43 jenazah, sedangkan tahun 2017 sekitar 54 jenazah. Jika beruntung, kadang pihaknya mendapatkan kompensasi berupa dana pengurusan jenazah dari pihak yang menabrak korban. Namun, jika tidak ada, seluruh keperluan pengurusan jenazah itu dibebankan kepada rumah sakit. Kini, lelaki periang itu tengah menikmati hasil kerja kerasnya. 11 tahun lalu ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ia juga diangkat sebagai Wakil Kepala Instalasi Forensik dan Pengurusan Jenazah RSD Gunung Jati. Tugasnya mendampingi dokter forensik. Lagi-lagi, mengurus jenazah. Sekitar 7 tahun lagi, ia pensiun. Apakah ada keinginan untuk pindah ke tempat berdinas di bagian lain yang lebih ‘nyaman’? Jawabannya; “Tidak, saya ikhlas, dan enjoy di sini. Menikmati,” tegas putra dari pasangan almarhum Suyoto dan Fatrohtun itu. Setelah pensiun, angan-angannya sama dengan orang pada umumnya. Menikmati hari tua bersama keluarga. Menimang cucu, berkumpul bersama sanak famili, bersantai di rumah. Entah, saat pensiun nanti apakah ia masih mau jika dimintai pertolongan untuk mengurus jenazah? “Kita lihat nanti,” jawab Suhadai. Yang jelas, ia berkeyakinan, semua orang berhak dilayani. Bahkan saat sudah tak bernyawa. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: