Kaus “Ingsun” Jadi Ikon Daerah dan Go International

Kaus “Ingsun” Jadi Ikon Daerah dan Go International

CIREBON-Dua-duanya masih berusia muda. Umurnya 29 dan 30 tahun. Namun keduanya sudah punya tekad baja. Dua pengusaha muda asal Kota Cirebon dan Kuningan ini ingin usaha yang dirintisnya itu meroket. Menjadi trendsetter dan menyebar luas. Vicky Vichtoriansyah (29), tampak sibuk melayani satu per satu pengunjung Ciayumajakuning Entrepreneur Festival (CEF) di Hotel Prima Kota Cirebon, Sabtu (20/10). Ia menjadi salah satu peserta CEF berkat usahanya melahirkan brand Ingsun. Brand yang juga diharapkan menjadi ikon bahkan legend di Kota Udang ini, seperti Dagadu Jogja dan Joger Bali. “Ya awalnya kita kan lihat peluang, karena dengan dibukanya Tol Cipali semakin banyak orang yang berkunjung ke Cirebon,” ujarnya kepada Radar Cirebon. Dari peluang itulah, insting bisnisnya mulai bermain. Ia mulai memutar otak. Mencari produk yang dapat menjadi pilihan masyarakat lokal sekaligus oleh-oleh bagi wisatawan. Pilihan akhirnya jatuh pada produk kaus sebagai jalan usahanya. Dipilihnya kaus, bukan tanpa sebab. Menurut alumnus Teknik Mesin UGM Jogjakarta itu, selama ini Cirebon hanya dikenal sebagai surganya kuliner dan batik. “Nah, di situ saya berpikir kenapa sih tidak nyoba kaus,” imbuhnya. Gayung bersambut, ia kemudian bertemu dengan salah seorang teman. Namanya Hermanto, sekitar Oktober tahun lalu. Saat itu, Hermanto bahkan telah memiliki brand kaus Mister Baridin. Keduanya kemudian sepakat membangun brand Ingsun, dua bulan berikutnya. Dengan modal awal Rp40 juta. “Kenapa namanya Ingsun, ibaratnya itu kan kata tertinggi ya dalam bahasa Cirebonnya. Artinya saya. Menunjukkan bahwa ini produk Cirebon,” tutur warga Kelurahan Pekiringan itu. Brand Ingsun, dijelaskan Vicky, mengedepankan desain kaus yang identik dengan ikon Kota Cirebon. Seperti, gedung balaikota, Goa Sunyaragi, Kura-kura Belawa, Kasepuhan dan lainnya. Termasuk logo dan tulisan Cirebon. “Jadi sekalian, kalau orang lewat, biar tahu ada apa saja di Cirebon ini,” ungkapnya. Ia mengakui, sebenarnya di Kota Cirebon telah banyak brand dengan produk serupa. Namun ia berani mengambil tantangan, lantaran belum ada satupun yang telah benar-benar dianggap sebagai ikon. “Makanya kita berani ngeluarin Ingsun. Karena kita belum punya misalnya, kalau orang ke Cirebon pasti beli kaus ini, dan tempatnya di sini misalnya,” imbuh Vicky. Hampir setahun menjalani bisnis barunya itu, ia mulai mendapatkan hasilnya. Produk Ingsun mulai banyak dikenal masyarakat. Pun dengan wisatawan. Setiap bulan rata-rata pesanan mencapai 100-150 pieces. Meskipun diakui, awalnyan banyak keberatan dengan harga yang dianggap relatif mahal. Yakni Rp90-100 ribu. “Tapi itu wajar sebetulnya karena menyesuaikan dengan bahan katun yang nyaman dan menyerap keringat. Dan harga itu juga melihat dari produk kaus di kota lain,’ terangnya. Selain membuka outlet di Stasiun Prujakan Cirebon, ia juga mulai menitipkan produknya di 9 toko oleh-oleh dan 3 hotel di Kota Cirebon. Tujuannya, untuk mendekatkan produk ke konsumen. Terlebih, saat ini 80 persen pembeli merupakan wisatawan, 20 persen sisanya baru warga Cirebon. “Atau orang Cirebon yang merantau. Mereka beli pas mudik. Ada juga orang Cirebon yang membelikan temannya pas berkunjung ke sini,” paparnya. Kini, targetnya adalah bagaimana produk Ingsun dikenal luas masyarakat. Bahkan menjadi brand lokal yang menguasai pasar Kota Cirebon. Ia memahami betul manisnya bisnis ini. Ia pun bertekad, Ingsun akan menjadi ikon atau bahkan legend Kota Cirebon suatu saat nanti. Tidak jauh berbeda, Yudhi Kristiandi (30) warga Desa/Kecamatan Japara Kabupaten Kuningan juga memiliki keinginan yang sama dengan Vicky. Dengan produknya yakni furniture dan hiasan dinding serta kerajinan tangan, ia bertekad membawa brand Padasuka, go International. Kepada Radar Cirebon, Yudhi mengaku memulai usahanya itu dua setengah tahun lalu. Melanjutkan usaha orang tuanya yang telah lanjut usia. “Kalau orang tua sudah 15 tahun usaha ini. Tapi waktu itu cuma produksi meubel, seperti pintu, jendela dan kusen,” ujarnya. Ia kemudian mengembangkan produksi dengan membuat produk lain. Terlebih saat itu, di lingkungannya terdapat banyak limbah kayu yang terbuang begitu saja. Tidak terpakai dan hanya dijadikan kayu bakar. Ia mencoba membuat model hiasan dinding sederhana. ”Jadi kayaknya sayang kalau dibuang atau dibakar gitu aja,” terangnya. Meski masih terbilang baru, namun ia beruntung. Usahanya mendapatkan respons positif dari masyarakat. Banyak orang yang mulai melihat, bertanya-tanya dan akhirnya memesan karyanya. Setiap bulan ia menerima 40 hingga 60 pesanan, dengan nilai omzet sebesar Rp10 juta,” bebernya, lalu tersenyum. Bahkan ia pernah menerima pesanan cukup banyak. Sekitar 120 unit dari salah satu hotel di Cirebon. Nominalnya sekitar Rp25 juta. Kala itu, yang dipesan adalah miniatur hotel.  “Katanya sih untuk souvenir,” lanjutnya. Selain dari wilayah Ciayumajakuning, ia juga kerap menerima pesanan dari daerah lain seperti Jakarta, Bandung, Semarang hingga Batam Kepulauan Riau. Dibantu 3 orang karyawannya, ia setiap hari rata-rata membuat 5-6 unit karya. Tidak terlalu banyak. Sebab, setiap karyanya memang membutuhkan waktu. Terlebih seluruh produknya ditangani secara manual. Seni dan kreativitas sangat dibutuhkan. Untuk karya berukuran kecil ia bisa selesaikan dalam sehari, namun untuk ukuran besar, satu meter lebih bisa makan waktu hingga satu minggu. “Ke depan ya tinggal memperbaiki kualitas. Bersyukur juga sering dapat masukan-masukan dari banyak pihak, termasuk pelanggan. Intinya lebih menggali kreativitas sih,” ucapnya. Ia bersyukur usahanya itu juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk melalui kegiatan pameran CEF. Melalui kegiatan itu ia mengaku mendapat banyak keuntungan dari bertambahnya konsumen hingga menambah inspirasi produk. “Keinginan saya go international ya. Pengennya yang dapat proyek masal gitu. Pengennya jadi besar gitu,” pungkasnya. (day)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: