Menggali Secangkir Kopi Kaki Gunung Ciremai

Menggali Secangkir Kopi Kaki Gunung Ciremai

Kopi merupakan minuman yang saat ini tren dan konsumennya terus meningkat dari hari kehari, tak hanya tertarik meminum kopinya saja, sebagian orang justru ikut belajar tentang segala ilmu pengetahuan kopi, mulai dari penanaman sampai ke barista. Kopipun memiliki berbagai jenis yang bisa di klasifikasikan diantaranya, cara menyangrai biji kopi berbeda-beda ditiap daerahnya. Ada juga dari cara penanaman nya, arabika dan robusta, yang mana tanaman kopi dibedakan cara menanamnya sesuai ketinggian dan jenis tanaman kopi tersebut. Yang pada umumnya diketahui banyak orang adalah kopi arabika (arabica) dan robusta. Padahal, ada kopi jenis lain selain kedua kopi tersebut. Kopi liberika adalah jenis kopi yang dihasilkan oleh tanaman Coffea liberica. Kopi ini disebut-sebut berasal dari tanaman kopi liar di daerah Liberia. Padahal sebenarnya ditemukan juga tumbuh secara liar di daerah Afrika lainnya. Di pinggiran kota Cirebon, radarcirebon.com, mencoba menggali satu diantara daerah di Indonesia yang di kenal sebagai penghasil kopi adalah Kuningan dan Majalengka. \"Satu bungkus kemasan ini perpaduan antara tiga wilayah penghasil kopi. Cibunar, Bungur Beres, dan Lemahsugih,\" ungkap Tris pemilik kedai kopi Ceuceu. Menurutnya, sambil menunjukan kemasan Ciremai Cirebon Coffe, sejarah mengungkap masuknya kopi ke Indonesia pada tahun 1696, namun sayang bibit pertama ini gagal tumbuh akibat adanya banjir. Niat dan keinginan Belanda tak mengenal putus asa, usaha pengembangan kopi tahap ke dua dilakukan kembali pada tahun 1699. Percobaan pertama dimulai di daerah Pondok kopi, Batavia, setelah tumbuh dengan baik, Belanda pun mulai mendirikan perkebunan kopi pertama di daerah Priangan Jawa Barat dengan sistem tanam paksa.   Berkat kondisi alam pegunungan Jawa Barat yang sangat subur, kopi inipun tumbuh baik dan berkembang di daerah Priangan.  Sejak itu  tanaman kopi menjadi salah satu primadona penopang ekonomi disamping tanaman teh, akibatnya kopi pun menjadi komoditas dagang yang sangat diandalkan oleh Verininging Oogst Indies Company(VOC).   “Budidaya kopi di Jawa untuk keperluan pemasaran di pasaran dunia sudah dimulai sejak awal abad ke-18. Tanaman kopi yang didatangkan dari luar negeri ternyata dapat tumbuh baik di daerah pedalaman markas besar kolonial yang berbukit-bukit. Para pedagang Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, VOC)  itu pun segera mendorong budidaya tanaman asing ini,” tulis Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dati Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870.   Setelah berhasil dengan penanaman percobaan di sekitar Batavia, para pimpinan teras perusahaan dagang VOC mencoba membudidayakannya di tanah luas yang mereka peroleh dari kemelut dan carut marut suksesi Kerajaan Mataram, yaitu tanah Priangan. Pemberlakuan tanam kopi di tanah Priangan ini dikenal dengan sebutan Preanger Stelsel (Sistem Priangan) dan sejak pelaksanaan sistem tersebut, penanaman kopi pun semakin menyebar ke seantero tatar Pasundan termasuk di antaranya ke Kuningan yang pada waktu itu masih berada dalam otoritas kekuasaan Cirebon. Kondisi itu berubah ketika Daendels berkuasa dan mengambil kekuasaan Cirebon atas tanah-tanah yang dimilikinya. “Berdasarkan Reglement op het Beheer van de Cheribonsce Landen, para Sultan di Cirebon tidak memiliki kekuasaan politik lagi dan statusnya sama dengan para regent (bupati) pemerintah kolonial,” sebagaimana tercantum dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 1602-1811, yang disusun J.A. van der Chijs. Ketika Kuningan berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial inilah, pelbagai kebijakan pun terkait upaya eksploitasi tanah masyarakat pun terjadi. Lahan lembah timur Ciremai yang subur ini kemudian menjadi lahan yang diproyeksikan untuk sejumlah perkebunan kolonial, yang di antaranya adalah perkebunan kopi. Dalam sebuah surat kabar berbahasa Belanda “Java Bode”, yang bertanggal 13 Juli 1853, diungkapkan bahwa, “Pada tahun 1853, target panen kebun-kebun kopi di Kuningan untuk tiga tahun ke depannya adalah sebesar 10.000 pikul pertahun. Dengan beberapa koffij pakhuizen (gudang kopi) pemerintah yang berada di lima tempat, yaitu Kuningan, Kadugede, Bayuning, Cigugur, dan Luragung.” Target itu terbilang cukup besar karena jika dibandingkan dengan target yang dibebankan pada Majalengka yang hanya sebanyak 9000 pikul pertahun dan Cirebon yang hanya 5000 pikul pertahun, angka untuk Kuningan jelas lebih tinggi. Adapun sejumlah wilayah yang dijadikan sebagai gudang kopi pemerintah berperan sebagai titik pengumpulan kopi yang dipanen dan diangkut dari perkebunan pedalaman yang ada di daerah Kuningan.   “Pada 1896, jumlah penduduk Kuningan yang dilibatkan dalam penanaman kopi mencapai 140.510 orang dari 170 desa dan jumlah itu makin meningkat karena pada 1900 jumlah orang Kuningan yang disertakan pemerintah kolonial hingga angka 147.167 orang dari 169 desa,”sebagaimana tersurat dalam Koloniaal Verslag van Nederlandsch Indie tahun 1897 dan 1901. Usaha pemerintah kolonial untuk mengolah lahan kebun kopi di Kuningan dengan mempekerjakan penduduknya itu ternyata membuahkan hasil, karena kopi yang berasal dari Kuningan ternyata merupakan salah satu kopi yang berkualitas sangat baik di tanah Jawa, di samping kopi Sumedang. “Er is wel beweerd, dat de vrouwen van Koeningan en Soemedang de schoonste van Java zouden zijn,” tulis P.A. van der Lith dalam Encyclopedie Van Nederlandsch-Indië jilid kedua. (*)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: