Sastra Postcolonial I

Sastra Postcolonial I

Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang, orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, cerdik pandai dan lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan sebabnya belasting itu dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata, menjawablah beberapa orang daripada yang hadir. Tentang peraturan Gubernemen ini, belum kami ketahui buruk-baiknya. Tetapi yang mula-mula terasa dalam hati kami dalam perkara belasting ini, ialah orang Belanda rupanya telah lupa akan janjinya kepada orang Minangkabau. Bukankah sudah ditetapkan dalam Pelekat Panjang bahwa kami anak Minangkabau tak perlu membayar bia, yang sebagai belasting ini? Apakah sebabnya kami disuruh juga membayar sekarang? Mungkirkah orang Belanda akan janjinya? Kedua, orang Belanda sudah lupa pula bahwa kami bukan orang takluk yang harus membayar upeti kepada Belanda. Negeri kami tiada diambil dengan asap bedil oleh orang Belanda, melainkan dengan perjanjian antara sahabat dengan sahabat. Ketiga, tuan Residen berkata, orang Belanda di sini menolong memerintah. Tetapi siapakah yang meminta pertolongan itu? Kami tidak minta tolong diperintahi, melainkan minta tolong mengalahkan paderi di jaman paderi, lain tidak. Pada pikiran kami, tiada perlu kami diperintahi bangsa asing, sebab dari nenek moyang kami dahulu kala, kami diperintahi Raja bangsa kami sendiri dan dalam pemerintahan itu pun kami merasa senang, tiada berasa kurang adil. Oleh sebab itu, tak perlu kami meminta pertolongan bangsa asing untuk memerintah kami. Keempat, kata tuan Residen, uang belasting itu untuk menambah kekurangan uang belanja Pemerintah, sebab banyak perubahan yang akan diadakan. Perubahan apakah itu, tiada kami ketahui; sebab tiada dimupakatkan dahulu dengan kami, sehingga kami tak tahu pula sungguhkah perubahan itu berguna bagi kami. Pada pikiran kami, segala yang ada saat ini pun cukuplah; tak perlu diadakan perubahan lagi. Adapun perubahan, bukannya untuk kami sahaja, hanya terutama untuk mereka yang berpangkat tinggi, yang kaya dan orang kota. Kelima, tuan Residen berkata sendiri, keperluan kita tak boleh diminta oleh orang lain, mengapakah tidak tiap-tiap kampung atau negeri mengadakan keperluannya sendiri-sendiri? Mengapakah kami harus menolong orang Selebes, Timor dan Papua? Melihat rupanya pun kami belum! Dan siapakah yang akan menanggung, mereka itu kelak akan menolong kami pula bila kami dapat kesusahan atau ada keperluan apa-apa? Keenam, tuan Residen berkata, kita sekalian ini yang Gubernemen, bukan bangsa Belanda. Mengapakah segala sesuatu diputuskan dan diperbuat oleh orang Belanda saja; suara anak negeri sekali-kali tiada didengar? Perkara belasting ini pun tiada dimupakatkan dulu dengan kami. Setelah terjadi, disuruh kami menurut, dengan tiada boleh mengatakan tidak. Ketujuh, dikatakan ada pegawai yang membuat rumah, jalan dan lain-lain. Rumah siapakah yang dibuatnya? Rumah kami, kami sendiri yang membuat. Jalan pun kami pula yang mengerjakan. Apa paedahnya pegawai-pegawai itu diadakan untuk kami? Pegawai perusahaan tanah, belum kami ketahui di sini dan orang itu tak ada perlunya bagi kami. Apakah yang diajarkan pada kami? Bertanam padi? Telah diketahui nenek moyang kami berratus tahun lalu. Perkara hewan? Kerbau kami kembang biak juga, walaupun tiada dipelihara benar-benar. Dan dokter itu adakah dia mengobati sampai ke kampung-kampung kami? Hanya di kota itulah ia tinggal, di tempat orang-orang kaya. Kami anak kampung, miskin, tak cakap membayar upahnya. KITA boleh bertanya, kenapa kritik yang begitu pedas dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli tersebut diterbitkan lembaga penerbitan pemerintah kolonial, Balai Pustaka? Mbah Prof—sapaan akrab saya pada Guru Besar Sastra UGM, Profesor Faruk yang ramah dan rendah hati itu, memiliki anggapan bahwa lolosnya Siti Nurbaya disebabkan oleh keberhasilan pengarangnya dalam membangun kesan. Para pengkritik dikesankan jahat karena satu frekuensi dengan Datuk Meringgih, sedang tokoh yang digambarkan baik (Samsul Bahri) ditempatkan di pihak Belanda yang berperang melawan para pengkritik. Maka, novel Siti Nurbaya seperti membela Belanda. Padahal sebaliknya. Nama Samsul (Sam) yang kemudian disebut terbalik sebagai Letnan Mas mewakili itu. Saya baru tahu beberapa hari lalu saat membaca salah satu makalahnya. Ada dua kebetulan. Pertama, belakangan saya sedikit menyimak diskursus postcolonial. Kedua, belum lama ini saya juga merampungkan membaca roman Marah Rusli yang tahun 2008 lalu sudah dicetak ulang hingga 44 kali itu. Dan pendapat Profesor Faruk lumayan mengagetkan. Perbincangan postcolonial, sepanjang yang saya tahu, tidak hanya mengetengahkan konflik-konflik politik antara penguasa dan yang dikuasai sebagaimana yang agaknya dioperasikan Prof. Faruk dalam menafsirkan jagat Siti Nurbaya. Lebih jauh, wacana postcolonial yang berkembang hingga hari ini telah memasuki isu-isu yang melibatkan banyak disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, bahkan psikologi. Edward Said pun sejak awal telah bengak-bengok soal relasi kekuasaan dan ilmu pengetahuan yang mengandung kompleksitas di tiap-tiap kepentingan. Bagi saya, pendapat Prof Faruk terlampau simplifikatif. Dalam relasi penguasa dan yang dikuasai, Prof. Faruk agaknya mengabaikan “ruang antara” yang dalam kajian-kajian postcolonial terbukti eksis dan pribadi. (*)  *Penulis adalah Direktur RK Press, tinggal di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: