Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)
Selama 1993 sampai 1994, setiap kali kereta api yang kutumpangi memasuki Stasiun Jatinegara, sejenak aku menengok ke kiri. Kupandangi tembok Lembaga Pemasarakatan Cipinang yang terlihat begitu angkuh. “Suatu saat aku akan berada di sini. Cepat atau lambat rezim Soeharto akan memenjarakanku,” gumamku. Dan benar, sekitar Desember 1996, aku dan beberapa kawan PRD dan Mochtar Pakpahan dipindahkan ke LP Cipinang, sementara Budiman Soejatimiko dan kawan-kawan lainnya ke Rutan Salemba. Setelah vonis jatuh, kami dipenjara di LP Cipinang, sebagian di Surabaya dan Malang. Seperti biasa, di pagi hari, sebelum para napi kasus kriminal bangun, kami sudah bangun. Rapat di pagi hari, agar aman tidak didengar napi lain. Sekitar pukul 05.30, para napi belum bangun, dan kebetualan pintu sel sudah dibuka. Kebiasaan ini kami lakukan bertahun-tahun. Agenda utamanya, mengumpulkan data dan informasi yang kami terima dari ruang bezukan. Informasi itu datang dari para pembezuk, kader PRD muda yang belum terdeteksi aparat, dan ada juga dari kurir yang dikirim kawan-kawan dari luar. Sesungguhnya, penjara tidak membuat kami terisolasi dari dunia luar. Kami selalu bisa mengikuti perkembangan perlawanan yang dilancarkan kawan-kawan di luar. PRD Bawah Tanah Kawan-kawan di luar menyatakan akan tetap melawan, walau dengan cara klandestin. Metode perlawanannya melalui distribusi selebaran dan Pembebasan (terbitan PRD bawah tanah), masuk ke basis massa PDI Pro Mega, serta mengorganisasi mahasiswa dan buruh. Pada 30 September 1996, Komite Pimpinan Pusat PRD (KPP-PRD), organ kepemimpinan organisasi bawah tanah PRD, mengeluarkan pernyataan sikap yang dikirim ke media massa. “Pemenjaraan, penahanan, pemberangusan, dan fitnah politik terhadap PRD bukanlah jalan keluar untuk mengatasi problem rakyat Indonesia yang demikian parah di bawah Rezim Orde Baru ini. Di tengah represi dan teror putih Rezim Orde Baru yang ganas, kami akan terus bergerak walaupun harus meratap di bawah tanah. PRD akan terus berjuang bersama rakyat untuk sebuah Indonesia yang demokratik multipartai kerakyatan,” tulis Mirah Mahardika (nama samaran), ketua KPP PRD. Pembebasan edisi perdana terbit Oktober 1996. Tabloid terbuat dari kertas buram berukuran HVS itu memuat judul: \"PRD Menjawab Fitnah dan Tuduhan\". \"Sebenarnya tuduhan tersebut tak berdasar. Pemerintah hanya menyebutkan alasan bahwa bahwa orang-orang PRD terlibat aksi-aksi mendukung Megawati Soekarnoputri. Walaupun tuduhan itu tidak masuk akal, namun didukung dengan pemberitaan media massa yang gencar. TVRI, RRI, beserta koran-koran yang ada di bawah kontrol pemerintah dengan gencar memberitakan tuduhan itu,\" tulis Pembebasan edisi No. 1, Oktober 1996. Pembebasan juga berisi taktik yang harus dijalankan rakyat dalam melawan pemerintah dan tuntutan program politik strategis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: