Ini Jawaban Orang Sunda Doyan Makan Lalap

Ini Jawaban Orang Sunda Doyan Makan Lalap

Jika Anda kebetulan sedang berada di daerah Jawa Barat, pasti Anda menemukan banyak tempat makan yang menawarkan makanan khas Sunda. Biasanya rumah makan Sunda identik dengan sambal dan lalapan. Beberapa sajian lain seperti pepes hingga berbagai makanan yang dibakar juga jamak ditawarkan di rumah-rumah makan khas Sunda. Dalam makalahnya untuk Konferensi Internasional Budaya Sunda I pada Agustus 2001 silam, pakar mikrobiologi Institut Teknologi Bandung Unus Suriawieia menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya ialah tumbuh-tumbuhan. Unus dalam bukunya Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sundamenjelaskan bahwa kegemaran masyarakat Sunda makan lalap sejalan dengan budayanya yang mementingkan harmoni manusia dengan alam. Jauh sebelum makalah itu dibuat, seperti disebutkan buku Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda yang juga ditulis Unus, dua orang berkebangsaan Belanda, yaitu Dr JJ Ochse dan Dr RC Backhuizen van den Brink, mendokumentasikan jenis lalap. Dokumentasi itu berjudul Indische Groenten (Sayur-sayuran Hindia), terbitan Archipel Drukkerij di Bogor (1931). Buku itu diterjemahkan dalam bahasa Sunda dengan judul Lalab-lalaban oleh Isis Prawiranagara. Pada pengantarnya, disebutkan lalap tak hanya berwujud daun seperti daun singkong, pepaya, selada, dan puluhan jenis daun lainnya. Lalap bisa berupa umbi (kunyit, kencur), buah muda (pepaya, mentimun, leunca), bunga (kenikir, honje/combrang), bahkan biji-bijian (biji nangka, dan petai). Cara mengonsumsinya, dimakan mentah atau direbus/dikukus. Namun, ada yang diolah dengan bumbu. Rebusan kangkung, kol, labu, pare, nangka sayur misalnya, bisa jadi lotek setelah diaduk dengan bumbu kacang yang terbuat dari kacang tanah, terasi, gula merah, bawang putih, dan cabai rawit. Leunca dan kacang panjang jadi bahan utama karedok setelah dicampur bumbu garam, terasi, gula, kencur, bawang putih, ditambah kemangi. Leunca juga bisa diolah jadi ulukutek dengan tambahan oncom. Ada pula reuceuh, berupa potongan mentimun yang diaduk dengan bumbu garam, terasi, cabai, kencur, bawang putih, gula merah. Selain bumbu lotek, karedok, atau reuceuh, ada pasangan yang sebenarnya paling pas untuk menikmati lalap. Apalagi kalau bukan sambal. Beda lalap terkadang berbeda pula jenis sambal yang cocok sebagai pasangannya. Menurut Unus, dalam Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda, kegemaran orang Sunda makan lalap akibat budaya dan kehidupan masyarakatnya yang menyatu dengan alam. Ini akhirnya membuat orang Sunda punya pengetahuan tentang tumbuhan mana yang bisa dan mana yang tidak. Pengamat sejarah Fadly Rahman dari Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung,  lalap Sunda sudah disajikan sejak abad ke-10 Masehi. Sajian makanan berupa sayur-sayuran segar ini disebut dalam Prasasti Taji bertanda tahun 901 Masehi. \"Dalam Prasasti Taji tahun 901 Masehi, disebut sebuah nama sajian atau makanan bernama \'Kuluban Sunda\' yang artinya lalap,\" kata Fadly dalam laman Universitas Padjajaran . Ia menjelaskan pula bahwa lalap Sunda tidak hanya berupa dedaunan seperti daun singkong dan pepaya serta selada. Namun juga umbi-umbian seperti kunyit dan kencur. Jenis makanan lalap lain yang dikonsumsi masyarakat Sunda tahun 1930-an, menurut dia, adalah mentimun, leunca, kenikir, honje atau combrang serta buah nangka dan petai. Selain menyebut soal lalap Sunda, Prasasti Taji juga memuat tulisan tentang hidangan lain yang disediakan untuk para hadirin, yang antara lain dimasak dari 57 karung beras, enam kerbau, 100 ayam, dan makanan yang diasinkan, serta berbagai macam tuak dari jnu, bunga campaga, dan bunga pandan. \"Berbagai makanan terdapat pada peninggalan sumber-sumber tulisan seperti prasasti dan naskah di Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak abad ke-10 menyebut-nyebut berbagai nama makanan yang hingga kini masih eksis,\" katanya. Jenis makanan yang disebut dalam sumber-sumber tertulis pada abad ke-10, menurut dia, antara lain sambel, pecel, pindang, rarawwan (rawon), rurujak (rujak), dan kurupuk, minuman dawet, wajik dan dodol. \"Kekhasan ini berhubungan erat dengan wacana pencitraan makanan melalui pengakuan budaya etniknya. Bila ditelusuri jejak kultur historisnya, pengakuan khas hidangan etnik tertentu dalam bisnis restoran akan menjadi basis citra cita rasa apa yang mesti dipertahankan,\" katanya Mengutip dari Isis Prawiranegara pada tahun 1944, Fadli menyebut lalap tidak hanya berwujud daun-daunan seperti daun singkong, pepaya, atau selada, namun bisa juga berupa umbi-umbian, buah muda, bunga, hingga biji-bijian. Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian sekitar abad 15 M disiratkan beragam rupa-rupa rasa masakan, yaitu lawana (asin), kaduka (pedas), tritka (pahit), amba (masam), kasaya (gurih), dan madura (manis). Menurut Fadli, susunan cita rasa tersebut menyiratkan rasa yang “Sunda banget”. “Itu tidak menampilkan cita rasa yang sarat dengan daging-dagingan,” tambahnya. Dosen prodi Sejarah FIB Unpad menjelaskan, budaya makan daging tidak identik dengan orang Sunda. Ini terlihat dalam catatan Thomas Stamford Raffles yang menyebutkan pengembangan ternak sapi di Jawa Barat pada masa tersebut tidak berjalan baik di Jawa Barat. Fadli menduga perbedaan iklim menyebabkan sapi tidak dapat dibudidayakan dengan baik di Jawa Barat. Hal ini berbeda dengan kondisi budidaya sapi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dimana memiliki keadaan lahan yang kering dan curah hujan rendah sehingga budidaya dapat berjalan dengan baik. Kondisi geografis pegunungan dan pedalaman pun mengakibatkan banyaknya varietas tumbuhan/tanaman pangan tumbuh di Jawa Barat. Hal ini juga dipengaruhi oleh minimnya sentuhan budaya kuliner asing di Jawa Barat hingga abad ke-19. Kondisi ini memungkinkan kuliner Sunda lebih unik dibandingkan dengan kuliner lain di Indonesia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: