PM Inggris Lolos dari Mosi Tidak Percaya
LONDON - Perdana Menteri (PM) Theresa May selamat dari mosi tidak percaya yang digulirkan Partai Konservatif di parlemen Rabu (12/12). Tapi, tidak berarti beban kepala pemerintahan Inggris itu berkurang. Sebaliknya, dia justru harus bisa merayu para petinggi Uni Eropa (UE) agar draf British Exit (Brexit) bisa dinegosiasi ulang. \"Kami ingin mewujudkan Brexit seperti yang sudah diamanahkan rakyat Inggris,\" ujar May setelah voting pemakzulan sebagaimana dilansir The Guardian. Dukungan terhadap perempuan 62 tahun itu membuatnya bisa bertahan di kursi PM sampai setidaknya satu tahun lagi. Tapi, dia tidak akan melepaskan jabatan sebagai ketua Konservatif sebelum Inggris menggelar pemilu pada 2022. Kamis (13/12) May langsung terbang ke Kota Brussel di Belgia. Dia menghadiri KTT UE bersama pemimpin 27 negara Eropa lainnya. Sebelum meninggalkan London, dia berjanji kepada para pendukung garis keras Brexit untuk mengubah draf yang sudah diteken perwakilan dua pihak tersebut. Namun, May tidak akan bisa mewujudkan janjinya dengan mudah. Sejak awal pekan ini, para petinggi UE menegaskan bahwa draf yang tidak didukung penuh parlemen Inggris itu sudah final. \"Tentu saja kami siap mendengar curhat Inggris. Tapi, tidak mungkin mengubah dasar kesepakatan yang tercapai sebelumnya,\" kata Menlu Jerman Heiko Maas kepada BBC. Oleh parlemen Inggris, May didesak mengubah poin soal backstop yang mengatur perdagangan dan bea cukai di perbatasan. Dalam poin itu disebutkan, perbatasan Republik Irlandia dan Irlandia Utara (wilayah Inggris) dianggap tidak ada. Artinya, kebijakan dagang dan bea cukai yang berlaku di kawasan itu sama. Para pendukung Brexit garis keras mengkritisi tiga kekurangan fundamental dalam poin backstop. Yang pertama adalah ketidakberdayaan Inggris. Tanpa persetujuan UE, Inggris tidak akan bisa meninggalkan kesepakatan itu secara sepihak. \"Memang masing-masing kubu tidak punya kekuatan unilateral untuk menghapus kebijakan tersebut,\" tegas Jaksa Agung Geoffrey Cox. Kekurangan kedua adalah tidak adanya kejelasan soal masa berlaku kebijakan tersebut. Kritik ketiga adalah lahirnya aturan baru di Irlandia Utara. Yakni, inspeksi barang oleh UE. Semua barang yang masuk ke Irlandia Utara akan diperiksa oleh UE. (bil/c19/hep)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: