Ingat Anas, Shangrila Dan Lijiang
JANGAN bangun hotel bintang tiga. Di Banyuwangi. Apalagi bintang 2. Atau bintang 1. Lebih-lebih hotel kelas melati. Bupati Banyuwangi tidak akan memberi izin: Azwar Anas. Bangun saja hotel bintang empat. Atau bintang lima. Atau bintang sembilan. Kalau ada. Anas punya keinginan lain: mengembangkan home stay. Agar masyarakat umum ikut menikmati pariwisata. Yang lagi dikembangkan di sana. Sejak bupati membangun bandara Banyuwangi top sekali. Ada penerbangan langsung dari Jakarta. Surabaya. Dan sebentar lagi dari Kuala Lumpur. Malam itu saya bertemu Anas. Secara kebetulan. Di cafe uniknya pak Setiawan: kopi Osing. Setelah memberikan seminar. Di Universitas 17 Agustus Banyuwangi. Yang mulai maju. Setelah konflik internalnya selesai. Tuntas. Di Cafe itu Anas lagi makan durian. Sambil mengamati layar laptop. Tampak asyik. Bersama tiga anak muda. Anas lantas memperkenalkan siapa anak-anak muda itu. “Mereka ini lagi merancang warung aplikasi,” ujar Anas. Selama ini Anas juga melarang jaringan Indomaret di Banyuwangi. Juga Alfamart. Juga mart-mart sejenis. Agar tidak membunuh warung tradisional. Kini Anas lagi merintis kelanjutan dari larangan itu: membina kios-kios rakyat. Agar bisa memanfaatkan teknologi baru. Dalam satu jaringan Apps. Anas sudah mempunyai program sejenis. Sudah berpengalaman. Ia anggap sukses. Ia bangga-banggakan. Itu tadi: home stay. Setelah hotel bintang 3 dilarang di Banyuwangi. “Home stay di Banyuwangi kini sudah mewabah,” kata Anas. “Itu karena teknologi”, tambahnya. “Sudah masuk jaringan bisnis online” . Misalnya Traveloka. Dengan demikian mencari home stay sudah sama mudahnya dengan mencari kamar hotel. Anas lantas mendemonstrasikannya. Seolah sedang mencari home stay. Lewat hand phone-nya. Banyak tanda merah di layar. Pertanda full booked. Kini pemilik rumah di desa-desa bisa jadi pengusaha hotel. Satu atau dua kamar. Di pekarangan mereka. Yang alami. Misalnya di desa lereng gunung Ijen. Pemda, kata Anas, memberikan pelatihan. Bagaimana model kamarnya. Tempat tidurnya. Toiletnya. Dan terutama: bagaimana cara tersenyum. Bagaimana kalau tamu home stay itu orang asing? Soal bahasa tentu masalah. Tapi ada pelatihan sederhana. Untuk bahasa Inggris. Yang terkait dengan keperluan kamar. Ada juga pemandu wisata. Yang bisa diminta. “Turis asing itu justru tidak sulit. Sangat mandiri,” katanya. Yang penting kita ramah. Bersih. Apa adanya. Apalagi soal sarapan. Breakfast. Cukup kopi, telur ceplok dan roti. “Lebih sulit bikin rawon atau soto,” ujar Anas. Saya jadi teringat Lijiang. Kota wisata di dekat pegunungan Shangrila. Di perbatasan Tibet. Yang terkenal itu. Hotel-hotelnya dalam bentuk home stay semua. Hari itu saya mendadak ke Lijiang. Awal tahun tadi. Memanfaatkan waktu kosong satu hari. Di antara jadwal yang padat di Kunming. Saya langsung ke bandara. Cari pesawat ke Lijiang. Satu jam penerbangan. Tiba di Lijiang tidak tahu harus ke mana. Saya ke pusat pelayanan turis. Di pojok jalan. Bagaimana cara ke Shangrila. Sudah terlalu sore. Kabutnya tebal. Jalannya menanjak. Berliku. Tiga jam dengan mobil. Jalan tolnya masih sedang dibangun. Disarankan bermalam dulu di Lijiang. Baru pagi-pagi ke Shangrila. “Besok sore saya harus tiba kembali di Kunming,” kata saya. Dia pun sibuk dengan HP-nya. Tidak tiap hari ada pesawat dari Shangrila. “Bisa. Kebetulan besok ada penerbangan dari Shangrila langsung ke Kunming,” katanya. “Tidak harus lewat Lijiang lagi,” tambahnya. Saya merasa beruntung. Bisa sekaligus ke Lijiang dan Shangrila. Dalam satu harmal. Soal tiket hangus toh sudah biasa. Saya pun minta dicarikan hotel di Lijiang. “Yang sekelas bintang empat,” kata saya. Khawatir. Dikira gak punya uang. Hanya karena bawaan saya tas kresek. Dapat. Saya diminta menunggu jemputan. Yang menjemput ternyata keren sekali. Anak muda. Seperti bintang film kungfu. Dengan mobil CRV putih. Masih baru. Saya sempat ge-er. Jangan-jangan ini bos hotelnya sendiri. Saya duduk di depan. Menghormatinya. Sambil agar bisa ngobrol. “Apa nama hotelnya,” tanya saya. “Dekat sekali,” jawabnya. “Tidak sampai 10 menit.” Pembicaraan terhenti. HP-nya berdering. Ia sibuk dengan HP-nya. Mobil memasuki perumahan. Komplek ini masih baru. Ada gerbang perumahannya. Khas Tiongkok. Ia masih terus cang-cing-cung. Lewat HP-nya. Saat mobil berhenti di pinggir jalan. Di depan sebuah rumah. Rumah biasa. Rumah tangga. Pantas saja. Ketika ditanya apa nama hotelnya dijawab “Dekat sekali”. Saya mendapat kamar di lantai atas. Satu kamar. Yang dua kamar masih kosong. Sebelum tidur saya turun ke lobi. Eh, ke ruang tamu. Tuan rumahnya lagi asyik. Sopir tadi. Pemilik hotel beneran, ternyata. Melihat saya turun, mereka langsung menyapa. “Ni hao,” kata mereka hampir serentak. Lantas menyilakan saya duduk. Untuk ikut ngrumpi. Sambil makan kwaci. Saya dibikinkan teh. Tekonya ada di meja. Satu set dengan pemasak air. Kulit kwaci terus dilempar. Tuangan teh terus mengalir. Saya yang banyak bertanya. Tentang home stay itu. Mereka bertanya hal-hal yang sederhana: apa bahasa di negara saya dan mengapa saya bisa berbahasa mandarin. Obrolan pindah ke soal uang. Di Indonesia menggunakan uang apa. Saya mengeluarkan tiga lembar rupiah. Dari dalam dompet. Yang 10.000-an. “Wow,” ucap wanita itu terbelalak. Sambil dua telapak tangannya menutup muka. “一万块钱,” teriaknya. Sambil menatap saya. Mengira saya orang kaya. Di Tiongkok lembaran terbesar adalah 100. Melihat nol empat matanya hijau. Saya kasihkan uang itu. Satu orang satu lembar. Mereka ramai-ramai menolak. “Tidak mau. Ini banyak sekali,” katanya. Saya pun mengeluarkan uang sapu jagat: 100.000-an. Kali ini mereka tidak kaget lagi. Justru tertawa ngakak. Saling tuding. Di antara mereka. Saling ejek. Begitulah. Saya permisi mau tidur. Satu bungkus kwaci diserahkan. Untuk saya bawa. Masih ditambah apel, jeruk dan apel-apelan sebesar bola bekel yang renyah itu. Satu kresek. Tidak mungkin saya mengalami itu. Di hotel bintang empat sungguhan. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: