Santo Yusuf Gereja Katolik Tertua di Jawa Barat, di Sini Keuskupan Bandung Bermula

Santo Yusuf Gereja Katolik Tertua di Jawa Barat, di Sini Keuskupan Bandung Bermula

CIREBON-Kawasan utara Kota Cirebon punya banyak cerita dari era kolonial. Dulunya, mereka di sini bermukim, berkantor dan bermasayarakat. Salah satu ikonnya Gereja Santo Yusuf. Yang di Hari Raya Natal tahun ini, telah berusia 139 tahun. Ludovicus Theodores Gonzales, Commendator Ordinis Equestris S Gregorii Magni, Hoc Templum Dei Aedificcavit, Anno DNI MDCCCLXXX. Begitu tertulis bahasa latin, di dinding depan bagian atas Gereja Santo Yusuf, di Jl Yos Sudarso. Artinya; Ludovicus Theodores Gonzales, dianugrahi gelar bangsawan oleh Paus Gregorius Agung, di sini didirikan Rumah Tuhan pada tahun 1880. Melihat tahun pendirian, juga diresmikannya, tak salah bila kemudian Gereja Santo Yusuf dinobatkan sebagai gereja Katolik pertama dan tertua di Jawa Barat. Sementara di Kota Cirebon, bangunan ini ialah bangunan gereja tertua kedua setelah Gereja Pasundan Cirebon. Menurut Romo Yulius Hirnawan OSC, sejarah bangunan Gereja Santo Yusuf sendiri bermula dari tanah yang diwariskan pengusaha pabrik gula, Theodores Gonzales. Yang kemudian digunakan untuk membangun Gedung Gereja Santo Yusuf pada tahun 1879. Pembangunan fisiknya sampai dengan 1880. Sejak itu pula Theodores Gonzales menyerahkan bangunan ini kepada Gereja Keuskupan. Hingga kini, bagian depan gereja masih dijaga keasliannya. Tampak depan Gereja Santo Yusuf Cirebon menjadi ciri khasnya ialah salib di puncaknya. Kemudian kaca patri lengkung di bawahnya. Informasinya, Gereja Santo Yusuf Cirebon ini dirancang oleh seorang arsitek bernama Gaunt Slotez. Namun tak ada informasi lanjutan tentang sang arsitek ini maupun kisah selanjutnya. \"Hanya itu, tidak ada lagi napak tilasnya kecuali plakat keluarga ini,\" ujar Romo Yulius kepada Radar Cirebon. Dibangun dan diresmikan pada tahun 1880, Gereja Santo Yusuf juga menjadi cikal bakal Keuskupan Bandung. Romo Yulius menambahkan, gereja yang satu ini punya keunikan dalam hal desainnya. Biasanya, bangunan gereja di desain gothic. Namun Santo Yusus sendiri lebih ke arah Spanish atau Portugis dengan ciri khas tidak banyak detail di dalamnya, namun tetap megah dan elegan. Untuk bagian dalam, Gereja Santo Yusuf hanya dapat menampung 800 orang saja. Sehingga di hari besar seperti Natal, pelataran juga diubah sementara menjadi ruangan dengan tenda dan kursi di dalamnya. Dengan tambahan ini, bisa muat sampai seribu orang. Sejarawan Cirebon, Mustaqim Asteja mengonfirmasi status Gereja Santo Yusuf yang merupakan salah satu gereja tertua di Jawa Barat. Dia menyebutkan bangunan tersebut dibangun dari dana hasil penjualan gula. Karena sejak dulu gulu menjadi komoditas paling besar di Cirebon. Bahkan gula Cirebon disebut kualitas nomor satu. “Bangunan gereja didirikan memang untuk memfasilitasi warga Eropa yang beragama katolik,” ujarnya. Dikatakan Mustaqim saat itu pemerintah kolonial memang lebih mengutamakan pelayanan bagi warga Eropa. Ada tiga kelompok dalam masyarakat di Cirebon. Yakni kelompok masyarakat Eropa yang merupakan kelompok kelas satu, kelompok kelas dua yaitu warga Tionghoa dan Arab, kelompok kelas tiga yaitu warga pribumi. “Nah makanya kemudian, di sana banyak bangunan ada kantor pos. Itu juga untuk melayani kebutuhan warga Eropa dalam surat menyurat,” tuturnya. Sedangkan Gereja Santo Yusuf Cirebon terkait erat dengan perkembangan agama Katolik di Indonesia yang mulai mendapat angin segar setelah Gubernur Jenderal Deandels berkuasa (1808-1811). Sejak masa pemerintahannya, Gereja Katolik mendapat kebebasan terbatas dan baru mulai tahun 1847 kehidupan gereja terbatas dari campur tangan pemerintah. Agama Katolik mulai berkembang di Cirebon pada tahun 1877 dirintis oleh seorang pengusaha berdarah Portugis bernama Louise Theodore Gonsalves, seorang lelaki kelahiran Jakarta tahun 1828. Ia seorang pemimpin perusahaan pabrik gula di Tersana. Di lain sisi, ada juga bangunan gereja tua di Kota Cirebon. Yakni bangunan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Berbeda dengan Gereja santo Yusuf. Bangunan Gereja Kriten Pasundan ini dulunya bukan merupakan gereja akan tetapi merupakan rumah. Bangunan GKP ini diperkirakan berdiri pada tahun 1778, dan semula bukan diperuntukkan untuk tempat peribadatan. Hal ini bisa dilihat pada pintu masuk utama terdapat sebuah pelat yang terbuat dari tembaga, bertuliskan bahasa Belanda yang menempel dinding. Tulisan tersebut tampaknya menunjukkan pemilik rumah sebelumnya serta tahun pembuatan gedung ini. Lokasi bangunan gereja ini tepat berada di pojok jalan menuju Lapangan Kebumen. Tidak jauh dari GKP, juga terdapat sederetan bangunan kuno lainnya. Di seberang jalan terdapat Kantor Pos dan Bank Indonesia, sedangkan yang sederet dengan GKP terdapat Gedung Niaga Cipta, SMPN 16 Cirebon dan Gedung Bundar. Bangunan GKP ini berbentuk segi enam simetris dengan puncak mengerucut, seperti bangunan khas kolonial lainnya yang berada di Cirebon. Namun dari sekian kepustakaan yang ada, siapa perancang bangunan ini tidaklah diketahui. Yang jelas bangunan ini dulunya milik perorangan bangsa Belanda yang tinggal di Cirebon. Menurut sejarahnya, GKP ini dirintis oleh seorang Zendeling yang bernama A Dijkstra pada tahun 1864 semenjak ia tiba di Cirebon. Dalam empat tahun pelayanannya, Dijkstra berhasil membaptiskan dua orang Sunda asli, dan seorang Tionghoa bersama keluarganya. Orang Tionghoa itu diketahui bernama Letnan You Pow. Lalu, jemaat kecil ini beribadah di salah satu ruangan rumah Letnan You Pow. Inilah awal mula dari GKP Cirebon. Namun demikian pada masa itu, memang acapkali terjadi perpindahan tempat beribadah dari satu rumah ke rumah yang lain, atau dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya menempati rumah orang Belanda tersebut hingga kini. Sejak awal, jemaat GKP ini tergolong heterogen. Dari catatan tahun 1885 diketahui bahwa jumlah anggota jemaatnya sebanyak 39 orang. Mereka terdiri atas 10 orang Sunda, 13 orang Tionghoa, dan 16 orang keturunan Indo serta Ambon. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: