Bantah Negara Terlibat Rusuh di Myanmar
Korban Jiwa Tambah, Muslim Menghilang YANGON – Korban konflik sektarian di Myanmar terus bertambah. Media pemerintah, kemarin (30/3), melaporkan bahwa korban jiwa dalam kerusuhan di negara itu mencapai 43 orang. Selain itu, lebih dari 1.300 rumah dan bangunan lainnya hancur akibat dibakar dan dirusak massa. Surat kabar New Light of Myanmar memberitakan, secara total telah terjadi 163 insiden kekerasan di 15 kota di tengah Myanmar. Insiden yang bermula dari cekcok di toko emas milik warga Muslim di Meiktila, Provinsi Mandalay, itu berkembang menjadi saling serang di jalan. Bahkan, kemudian meluas menjadi kekerasan di sejumlah kota lain di Provinsi Mandalay. Masjid maupun bangunan lain dibakar dan dirusak. Bukannya mereda, aksi kekerasan berkembang menjadi kerusuhan antimuslim dan terjadi pula di Provinsi Bago hingga dekat Yangon, kota terbesar di Myanmar. Menurut New Light of Myanmar, polisi menangkap 68 orang terkait bentrok Buddha dan Muslim itu. ’’Sebanyak 11.376 orang kehilangan tempat tinggal akibat konflik itu,’’ tulis koran tersebut. Situasi berangsur tenang dua hari terakhir sejak Presiden Thein Sein, Kamis lalu (28/3), menyatakan akan menindak para perusuh. Thein Sein menyebut, para pelaku kerusuhan itu sebagai oportunis politik dan ekstremis agama. Pemerintah Myanmar juga mereaksi pernyataan seorang pejabat PBB soal keterlibatan negara dalam kerusuhan antimuslim. Utusan Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar, Tomas Ojea Quintana menyatakan, Kamis lalu (28/3), pihaknya menerima laporan soal adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam tindakan kekerasan di negeri tetangga Thailand dan Bangladesh itu. ’’Militer, polisi, dan aparat penegak hukum sipil lainnya hanya diam ketika terjadi kekejaman di depan mereka. Ini bisa menjadi indikasi keterlibatan langsung sebagian organ negara ada kolusi secara terselubung,’’ tuding Quintana. Jumat lalu (29/3), pemerintah Myanmar membantah keras pernyataan Quintana itu. ’’Saya sepenuhnya membantah apa yang dikatakan Quintana terkait adanya keterlibatan alat negara dalam kekerasan tersebut,’’ tegas Ye Htut, jubir kepresidenan, lewat akun Facebook. ’’Sangat disesalkan bahwa Quintana mengomentari situasi yang terjadi saat ini hanya berdasar informasi sumber kedua tanpa mempelajari dengan benar kondisi di lapangan,’’ tambahnya. Sementara itu, meski situasi mulai kondusif, ketegangan masih terasa di sejumlah daerah konflik. Bahkan, beberapa desa yang dihuni warga Muslim kini telah kosong karena ditinggalkan. Hal itu, antara lain, terlihat di Sit Kwin, Provinsi Bago, atau sekitar dua jam dari Yangon. Desa yang berpenduduk sekitar 2 ribu orang itu sebelumnya dihuni sekelompok warga Muslim. Jumlahnya sekitar 100 orang. Tapi, setelah kekerasan yang dilakukan komunitas Buddha menyebar di sejumlah wilayah di bagian tengah Myanmar, keberadaan mereka tidak diketahui. Rumah-rumah, toko, dan masjid di wilayah itu hancur. Sebagian warga tinggal di kamp pengungsi atau sembunyi di rumah sanak saudara mereka. ’’Kami tidak tahu di mana mereka saat ini,’’ terang Aung Ko Myint, 24, sopir taksi di Sit Kwin. Jumat lalu (29/3) warga Buddha merusak dan menjarah sebuah toko terakhir milik Muslim yang tersisa di wilayah itu. ’’Dia (pemilik took, red) melarikan diri sebelum kelompok perusuh datang,’’ terang Myint. Kekacauan di Sit Kwin bermula empat hari lalu ketika sekelompok orang yang mengendarai 30 motor datang. Saat itu, mereka memaksa para penduduk agar mengusir warga Muslim. Lalu, mereka membakar sebuah masjid maupun sejumlah toko dan rumah milik warga Muslim. ’’Mereka datang dengan luapan amarah,’’ cerita seorang warga. Di selatannya, polisi meningkatkan patroli di Letpadan. Desa berpenduduk 22 ribu orang itu terletak sekitar 160 kilometer dari Yangon. Tiga bhiksu memimpin sekitar 30 orang menuju sebuah masjid pada Jumat lalu. Polisi membubarkan mereka yang saat itu bersenjatakan pisau dan tongkat. Dua orang lantas ditahan, meski akhirnya dibebaskan atas permintaan pejabat kota. Khamainda, seorang bhiksu yang memimpin aksi itu bercerita, bahwa dia turun ke jalan setelah mendengar isu yang disebarkan bhiksu lain lewat telepon soal kekerasan antara pemeluk Buddha dan Muslim di kota-kota lain. Dia pun tersulut untuk menuntut balas terhadap warga Muslim terkait perusakan patung Buddha di Provinsi Bamiyan, Afghanistan, oleh Taliban pada 2001. ’’Tidak ada masalah dengan cara hidup mereka (Muslim, red). Tetapi, mereka adalah minoritas dan kami mayoritas (di Myanmar, red). Saat minoritas menghina agama kami, kami prihatin,’’ ungkapnya. ’’Kami akan datang lagi jika punya kesempatan nanti,’’ lanjutnya. (AFP/RTR/cak/
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: