TNI Belum Terbuka
Pencopotan Pangdam Dikatakan Sebatas Mutasi, Bukan Sanksi JAKARTA - Sadar bahwa pencopotan Pangdam IV/ Diponegoro menjadi sorotan masyarakat, Mabes TNI-AD memilih hati-hati saat dilakukan serah terima jabatan (sertijab). Upacara pergantian jabatan yang biasanya dihelat secara terbuka, hari ini direncanakan tertutup. \"Mohon maaf karena memang hanya untuk internal,\" ujar Kasub Dispenad Kolonel Zaenal pada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) tadi malam. Menurut perwira menengah itu, acara yang dihadiri KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo itu tidak mengagendakan pertemuan dengan media. \"Nanti, kalau ada kebijakan lain menyusul. Tapi, hingga saat ini petunjuknya adalah acara internal, tertutup,\" ujarnya. Tentu, ketertutupan ini bukan sesuatu yang lazim. Sebuah acara serah terima jabatan biasanya dilaksanakan secara terbuka. Apalagi, pencopotan Pangdam IV/ Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso diduga terkait dengan peristiwa penyerangan Lapas Cebongan, Sleman bulan lalu. \"Tapi, nanti ada agenda acara besarnya upacara serah terima jabatan di Semarang, jadi nanti di sana juga bisa (wawancara, red),\" katanya. Pangdam IV/ Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso digantikan Aspers KSAD Mayjen Sunindyo per hari ini (08/04). Hardiono yang pernah menjabat sebagai Danrem di Timor Timur itu ditarik menjadi staf di Mabes AD. Dari sisi usia, tahun depan Hardiono memang sudah memasuki pensiun. Di Universitas Indonesia, Wakil Ketua MPR Hajriyanto Thohari menilai TNI AD sudah tepat melakukan pergantian jabatan di level Pangdam. Namun, juga harus dijelaskan apakah itu sebagai sanksi atau sekadar prosedur rutin belaka. \"Kita harus menghormati prosedur mekanisme, dan bentuk sanksi masing-masing institusi yang ada termasuk TNI. Salah satunya, sanksi yang dijatuhkan kepada Pangdam IV/ Diponegoro. Yang penting semua dilakukan dengan keterbukaan dan transparansi,\" ujarnya usai acara Simulasi Pemilih Pemula di Universitas Indonesia (UI), Depok kemarin. Hajriyanto meminta agar TNI tidak menciptakan kamuflase bahwa pencopotan Pangdam IV/ Diponegoro memang betul sanksi, bukan sekedar mutasi. Keterbukaan seperti itu, kata Hajriyanto, yang masih belum dilakukan TNI. \"Saya dapat informasi, itu bukan sanksi, katanya hanya mutasi atau tour of duty. Katakanlah yang sejujurnya bahwa yang bersangkutan dapat sanksi, katakan itu memang sanksi. Apa saja bentuk kesalahan Pangdam. Jangan katakan itu mutasi,\" katanya. Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Strategi Indonesia (lesperssi) Rizal Darmaputra menilai mutasi saja belum cukup. \"Tentu harus diperiksa level komandonya,\" kata Rizal dalam sebuah diskusi di Jakarta, kemarin. Jika kesalahan hanya ditimpakan pada 11 bintara, Rizal yakin level komando maksimal hanya pada komandan peleton mereka. \"Kalau bintara saja maka Dangrup, Danjen, aman,\" kata Rizal. Namun, perlu dicermati apakah penyerangan itu benar-benar spontan atau sebenarnya sudah terbaca sebelumnya. \"Karena itu komandan grup II harus diperiksa, apakah indikasi balas dendam itu sudah diketahui atau belum,\" kata alumnus IDSS Jenewa, Swiss itu. Rizal mengaku mendapatkan informasi bahwa usai pembacokan terhadap Serka Heru Santosa, informasi bahwa Kopassus akan menuntut balas sudah beredar luas di Jogjakarta. \"Bahkan ada SMS berantai imbauan jangan keluar malam. Ini harus dicek juga oleh tim penyidik,\" katanya. Dia menduga, ada semacam sikap terburu-buru dari pihak TNI sehingga kasus ini tidak seluruhnya terungkap. \"Jangan sampai ada desakan pihak luar pada TNI yang mengakibatkan pengusutan tergesa-gesa dan tidak menyentuh akar masalah,\" katanya. Pengamat militer LIPI Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, penyerangan lapas Cebongan menandakan Indonesia sedang dalam kondisi darurat. Terbukti, ada pihak yang bisa membuat serangan mendadak ke lembaga Negara, dalam hal ini lapas yang merupakan kepanjangan tangan Kemenkum-HAM. Memang, penyerangan tersebut diakui dilakukan oleh oknum anggota Kopassus. Namun, tidak menutup kemungkinan ke depan hal serupa terjadi lagi dengan melibatkan oknum tentara nakal yang lain. Motifnya pun bisa jadi bukan lagi sebatas motif kriminal. \"Bisa saja mengatasnamakan negara melakukan pembunuhan politik,\" terangnya kemarin. Jika tidak segera ada perubahan, bukan tidak mungkin gerakan semacam itu akan muncul dan makin massif. \"Kalau tiba-tiba ada gerakan rahasia di dalam Istana Negara bagaimana, publik kan tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana,\" lanjutnya. Menurut Ikrar, peristiwa Cebongan bisa menjadi momentum pemerintah mengembangkan betul profesionalisme Polri dan TNI. \"Jangan hanya dipegang pucuk pimpinannya saja. Kondisi prajurit di lapangan harus juga diperhatikan,\" lanjutnya. Pucuk pimpinan, lanjut Ikrar, biasanya hanya melihat segalanya dari segi hitam di atas putih. Tidak jarang, apa yang terjadi di lapangan berbeda dengan laporan kondisi yang diterima pimpinan. Jika hal semacam itu masih kurang mendapat perhatian, jangan harap peristiwa semacam Cebongan akan menjadi peristiwa kekerasan terakhir oleh aparat. (rdl/byu)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: