Kisah Kawan Pendiri Serikat Yesuit, Fransiskus Xaverius Karismanya Hingga Cirebon

Kisah Kawan Pendiri Serikat Yesuit, Fransiskus Xaverius Karismanya Hingga Cirebon

Rupanya Raja Portugis, Dom João III, di tahun 1540, pun berharap agar misionaris yang ikut serta dalam pelayaran Portugis datang pangkalan-pangkalannya Asia, seperti India, Malaka, juga Maluku. Akhirnya, ditunjuklah kawan pendiri Serikat Jesuit Ignatius Loyola bernama Fransiskus Xaverius. Ketika kapal Santiago yang ditumpanginya lepas tambang dari pelabuhan Lisabon, usia Xaverius hampir genap 35 tahun. Dia lahir pada 7 April 1506 dan meninggalkan Eropa di tanggal yang sama tahun 1541. “Ia berangkat sebagai wakil raja [menurut sistem Padroada] dan diangkat menjadi wakil diplomatik Paus [Nuncio]. Kekuasaannya luas, dan visinya juga luas. Xaverius berjalan jauh, dan jarang berdiam lama di suatu tempat, tetapi hanya melayani sebagai perintis penabur yang pekerjaannya akan diteruskan oleh orang lain, tulis Anne Ruck dalam Sejarah Gereja Asia (2005). Setelah berbulan-bulan perjalanan, Kapal Santiago tiba di Mozambik, Afrika. Xaverius tinggal di sana mulai Agustus 1541 hingga Maret 1542. Kemudian, ia berlayar lagi ke India. Pada 6 Mei, dia tiba di Goa yang menjadi pusat kegiatan Portugis di India. Di situ, dia menyebarkan Katolisisme. Setelah tiga tahun di sekitar India dengan hasil yang tidak memuaskan, dia menuju ke timur. Dia pun menuju Malaka yang sudah menjadi pangkalan strategis Portugis sejak 1511. Bulan Oktober 1545, kapalnya tiba di Malaka. “Ia tinggal di Malaka selama beberapa bulan, sambil belajar bahasa Melayu, lalu berkunjung ke pulau-pulau Maluku, termasuk Ambon, Ternate dan Halmahera,” tulis Anne Ruck. Setelah tahun baru, 1 Januari 1546 dia naik kapal dari Malaka ke Ambon. Menurut Leo Soekoto dalam Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman (1995), Xaverius bukan pembawa Katolik pertama di Maluku. Sekitar tahun 1538, sudah ada penginjilan Katolik di Ambon. \"Sepanjang tahun 1546-1547, Xaverius bekerja di tengah-tengah orang Ambon, Ternate, dan Morotai (Moro) serta meletakkan dasar-dasar bagi suatu misi yang tetap di sana,” tulis Marle Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008). Daerah-daerah yang didatangi Xaverius adalah daerah-daerah yang dalam kuasa atau setidaknya daerah perdagangan rempah-rempah Portugis.

Ketika sampai di sebuah kawasan, “pertama-tama ia mengunjungi kelompok-kelompok kecul umat yang telah dibaptis, tetapi sesudah itu mengarahkan kepada banyak orang kafir di daerah itu. Ia menulis Katekismus kecil dalam bahasa Melayu, membuka sekolah-sekolah bagi orang pribumi, dan dengan kepribadiannya yang mempesona dapat mempengaruhi ribuan orang, mengajar, dan membaptis mereka,” tulis Huub J. W. M. Boelaars, dalam buku Indonesianisasi, dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia (2005). Menurut Anne Ruck, sebagai wakil raja Portugis, ”dia sering diundang raja-raja, baik karena mereka ingin belajar iman Katolik, maupun karena ingin berhubungan dengan Negeri Portugis.” Menurut Huub J. W. M. Boelaars, Raja Ternate menerima Xaverius dengan baik di istananya. Xaverius tak menyebarkan Katolik dengan cara debat dengan orang-orang awam. Setelah dia bisa bahasa setempat, dia menggali budaya lokal yang cocok untuk menanamkan nilai-nilai Katolik dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat setempat. Xaverius sadar bahwa “tidak semua unsur kebudayaan bukan Kristen harus dianggap hina ataupun ditolak begitu saja, sebaliknya ada banyak hal yang patut dihargai. Agama Kristen harus disampaikan sesuai dengan pendidikan dan kebudayaan setempat,” tulis Anne Ruck. Karena agama yang diajarkannya mengajarkan kasih sayang, “di setiap tempat, sifatnya yang ramah dan perhatiannya yang tulus menarik orang untuk percaya pada Kristus,” Ann Ruck melanjutkan. Xaverius dianggap berhasil, “ keberhasilannya ini terutama disebabkan oleh kasih sayangnya kepada penduduk setempat. Ia selalu membela penduduk setempat kalau ditindas orang Portugis,” tulis Ruck. Menurut Huub J. W. M. Boelaars, “sikapnya mempertaruhkan diri tanpa pamrih merupakan [hal] kontras yang jelas sekali dengan keserakahan kolonial pedagang-pedagang dan serdadu-serdadu Portugis. Fransiskus Xaverius sia-sia saja mencoba mengoreksi sikap mereka.” Setelah setahun lebih di Maluku, Xaverius kembali ke Malaka. Target berikutnya adalah Jepang. Di Malaka, Xaverius bertemu dengan seorang Jepang, bernama Yajira, yang mengungsi dari Jepang karena membunuh orang. Kepadanya, Xaverius bertanya tentang keadaan Jepang dan keterbukaan penduduk Jepang pada Injil. Di tahun 1549, Xaverius ke Jepang dan tinggal di sana hingga 1552. Dari Jepang, dia hendak ke Tiongkok daratan, tapi dia hanya bisa sampai di basis Portugis di Tiongkok, Makao. Lalu, pada 2 Desember 1552 dia meninggal di Pulau yang terkenal dengan judinya itu. Masa tinggal yang tidak lama di sebuah negeri serta kendala bahasa membuat jamaahnya belum mendapat pelayanan maksimal sehingga kaum padri yang lain berusaha meneruskannya. Meski begitu, pengaruh Xaverius terus diingat di Asia. Salah satunya, Gereja Santo Yusuf Cirebon merupakan bangunan gereja katolik yang tertua di Jawa Barat, yang berdiri terlebih dahulu sebelum dibangunnya gereja di wilayah Bandung dan Jawa Barat lainnya. Bangunan aslinya kini hanya tinggal pada bagian depan gereja saja, sedangkan bagian lainnya merupakan bangunan lebih baru yang ditambahkan kemudian. Menara Gereja Santo Yusuf Cirebon yang tak begitu tinggi berada di bagian tengah belakang bangunan, dengan sebuah lonceng tergantung di dalam ruangan cungkup yang ada puncaknya. Di atas menara terdapat batang penangkal petir, karena merupakan bagian tertinggi di gereja ini. Badan menara tertutup kayu yang dibuat bersusun seperti sisik. Tulisan pada dinding depan Gereja Santo Yusuf Cirebon berbunyi “Ludovicus Theodores Gonzales, Commendator Ordinis Equestris S.Gregorii Magni, Hoc Templum Dei Aedificcavit, Anno DNI MDCCCLXXX”. Angka Romawi 1880 itu merupakan tahun peresmian gereja, yang awalnya berupa Stasi yang dibangun pada 1878 dengan A.v. Moorsel SJ sebagai pastor stasi. Gereja Santo Yusuf Cirebon ini konon dirancang oleh seorang arsitek yang bernama Gaunt Slotez, namun tak ada informasi lanjutan tentang siapa arsitek ini dan gedung apa saja yang pernah ia rancang. Gereja Santo Yusuf Cirebon adalah salah satu dari sekian banyak gedung tua yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Kota Cirebon. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: