Tanam Paksa: Masa Sulit Orang-Orang Cirebon Menjadi Kuli Belanda

Tanam Paksa: Masa Sulit Orang-Orang Cirebon Menjadi Kuli Belanda

Ketika tanam paksa usai dan modal swasta masuk, giliran para juragan perkebunan asal Eropa yang mempengaruhi pola pertanian. Ekspansi lahan perkebunan selain menyedot tenaga kerja yang menjadi kuli-kuli kontrak, juga kerap menimbulkan konflik dengan para petani karena berebut lahan. Manabu Tanaka dan Hiroyoshi Kano dalam Di Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20 (1996) memberikan contoh konflik ini di daerah Comal, Jawa Tengah. Menurut mereka, perkembangan industri gula sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dan kehidupan petani di daerah tersebut. “Perluasan tanaman tebu menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan untuk produksi padi yang menimbulkan pelbagai konflik sosial antara pabrik gula dan petani setempat,” tulisnya. Tekanan-tekanan orang Eropa, baik lewat tanam paksa maupun liberalisasi penggarapan lahan, membuat petani di Jawa, seperti ditulis Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (1983), semakin terjepit. Mereka mencoba bertahan dengan apa yang ia sebut sebagai “membagi kemiskinan”. Dalam sejarah Indonesia, nama Ernest François Eugène Douwes Dekker—belakangan dikenal sebagai Danudirdja Setiabudi—tentu tak asing. Ia adalah cucu-keponakan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang menulis novel penggugat tanam paksa, Max Havelaar (1860). Masa Tanam Paksa bagi masyarakat Jawa, terutama Cirebon merupakan masa yang paling pahit sepanjang sejarah. Penderitaan rakyat yang tak terperikan itu akibat diberlakukannya tanam paksa (culturestelsel). Rakyat dipaksa menanam kopi, teh, tebu untuk komoditas ekspor ke Eropa. Ketika Cirebon berada di bawah pengaruh kekuasaan kompeni mulai tahun 1681,stratifikasi social penduduk pribumi di daerah itu tidak mengalami perubahan. Dari segi strata (tingkatan) status sosialnya, penduduk pribumi Cirebon waktu itu secara garis besar tetap terbagi atas golongan bangsawan tinggi (sultan beserta keluarganya), golongan bangsawan menengah (para pejabat bawahan sultan,ulama dan saudagar),dan rakyat. Di antara mereka, seperti dicatat dalam Cirebon dalam Lima Zaman (2011), terdapat sejumlah orang asing, khususnya Arab dan Cina yang telah menjadi penduduk Cirebon. Sejak kompeni menempati wakil-wakilnya di Cirebon, keberadaan orang asing bertambah dengan kehadiran wakil Kompeni Belanda, mungkin dengan keluarganya. Sekitar tahun 1700an, rumah-rumah rakyat dibuat dari bambu. Bangunan keraton dan rumah orang-orang Belanda dibuat dari batu (tembok) dan kayu.Tahun 1793 di Kota Cirebon terdapat tujuh buah rumah orang Eropa. Setelah kompeni menanamkan kekuasaaanya di Cirebon, terjadi perubahan dalam kehidupan ekonomi perdagangan, menjadi terpuruk akibat tindakan kompeni berupa monopoli perdagangan berbagai jenis komoditas. Melalui perjanjian dengan para sultan, kompeni memeroleh hak monopoli ekspor beras, lada, kayu, gula dan produk-produk lain yang dikehendaki oleh VOC, dan bebas dari pajak impor-ekspor. Dengan demikian potensi perdagangan intrnasional melalui Pelabuhan Cirebon yang menjadi penunjang Kerajaan Islam Cirebon mencapai puncak kejayaan, sejak paruh kedua abad ke-17 dikuasai VOC. Kompeni kemudian membangun puluhan benteng dekat Pelabuhan Cirebon. Saat itu orang-orang kompeni di Cirebon giat mengumpulkan lada, kapas, tarum dan kopi. Kopi saat itu termasuk komoditas yang dimonopoli kompeni. Oleh karena itu, ketika Pangeran Aria Cirebon menjadi pengawas para bupati di Priangan, biji kopi dari daerah itu diangkut ke Cirebon. Masih dalam catatan Cirebon dalam Lima Zaman, di bawah kekuasaan kompeni, terutama pada abad ke-18, di Cirebon terjadi kelaparan, wabah penyakit dan emigrasi penduduk. Kelaparan terjadi, karena padi atau beras dimonopoli kompeni dan faktor lainnya, lahan untuk menanam padi berkurang, lantaran sebagian lahan itu digunakan untuk menanam tarum (nila) dan kopi untuk kepentingan Belanda. Faktor lainnya, rakyat yang notabene petani kekurangan waktu untuk bercocok tanam padi dan palawija, karena mereka seringkali dipaksa kerja rodi dan kerja wajib untuk penguasa. Sementara itu, tanah-tanah desa disewakan kepada orang-orang Cina, antara lain di daerah Palimanan dan sekitarnya. Masalah itulah yang menyebabkan rakyat pada umumnya menderita, apalagi kehidupan ekonomi rakyat pun terpuruk. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: