Cerita Pendiri Kelenteng Tiao Kak Sie di Tjirebon Belum Terungkap

Cerita Pendiri Kelenteng Tiao Kak Sie di Tjirebon Belum Terungkap

Kebangkitan agama Buddha di era modern ini, yakni pada masa masa akhir penjajahan, telah dirintis sejak berdirinya Perhimpunan Theosofi yang mempelajari inti kebijaksanaan dari semua agama. Melalui kelompok ini pula situs-situs peninggalan umat Buddha pada masa silam seperti Candi Borobudur dapat ditemukan dan direkonstruksi (Darma Suryapranata. Wawancara, 16 April 2014). Kelompok ini pun mengundang seorang Bikkhu dari Srilangka yaitu Nerada Thera untuk berceramah di berbagai kota di Indonesia pada 1934. Pada tahun ini pula muncul sebuah perkumpulan bernama Sam Kauw yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay untuk mempelajari tiga ajaran, yaitu Buddha, Konghuchu, dan Tao. Upaya membangkitkan kembali agama Buddha kemudian muncul melalui penyelenggaraan Waisak secara besar besaran di Candi Borobudur pada 1953. Setahun kemudian, Ashin Jinarkkhita ditahbiskan sebagai Bikkhu pertama yang merupakan orang asli orang Indonesia. Seiring perkembangan tersebut, vihara pun semakin banyak didirikan oleh umat Buddha di Indonesia. Dalam perkembangannya, mengingat sebagian penganutnya berasal dari etnis Tionghoa, tempat ibadah umat Buddha ini selain disebut vihara juga ada yang menyebutnya dengan sebutan kelenteng. Namun sejak 1965, istilah, pernak-pernik, maupun arsitektur yang bercirikan Tionghoa dilarang berkembang di Indonesia. Rumah ibadah penganut Konfusianisme dan Taoisme yang disebut Bio atau Miao pun harus menambahkan kata vihara atau cetiya di depan nama kelenteng atau berganti nama dengan menggunakan bahasa Sanskerta atau Pali. Selain perubahan-perubahan tersebut, Pemerintah Orde Baru melakukan penataan terhadap lembaga keagamaan Buddha dengan membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa yang dianggap sebagai budaya asing. Ini terlihat dari isi Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng bahwa tidak dibenarkan bangunan keagamaan kepercayaan tradisional Tionghoa menggunakan sebutan vihara atau cetya. Bahkan, Walubi pun saat itu menyatakan Imlek bukan hari raya agama Buddha. Namun, sejak munculnya Orde Reformasi, agama Buddha yang juga dilestarikan oleh Etnis Tionghoa di Indonesia semakin berkembang. Hal ini membuat komunitas Buddha-Tionghoa semakin mudah menampilkan simbol-simbol keagamaan yang pada gilirannya budaya komunitas ini dapat diterima masyarakat luas. Salah satu simbol tersebut adalah Vihara Dewi Welas Asih yang diperkirakan telah berdiri pada akhir abad ke-16 yakni sekitar tahun 1595 di Cirebon. Kajian tentang Vihara Dewi Welas Asih telah dilakukan oleh peneliti Belanda, J.L.J.Y. Ezerman dan hasil penelitiannya dituangkan dalam bahasa Belanda Beschrivjing van den Koan-IemTempel “Tiao-Kak Sie” Te Cheribon” yang diterbitkan pada tahun 1918. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Kuno oleh S. M. Latief dengan judul “Perihal Kelenteng Tiao Kak Sie di Tjirebon” dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Iwan Satibi (Ie Tiong Bie) pada 2003 dalam judul Catatan Mengenai Kelenteng Koan Iem “Tiao-Kak-Sie”. Sebutan Kelenteng Tiao Kak Sie. “Sie” artinya rumah orang beribadat (tempat bertapa). “Tio” berarti air pasang (air naik), dan “kak” berarti bangun dari tidur atau membangunkan atau membawa kepada akal yang benar. Dengan demikian, Kelenteng Tiao Kak Sie mempunyai dua arti. Pertama, kelenteng merupakan tempat yang dibangunkan oleh air pasang. Kedua, kelenteng merupakan tempat akal bertambah. Vihara ini diperkirakan berdiri pada 1595 M, namun pendirinya tidak diketahui dengan pasti. Pada masa-masa awal pendiriannya, banyak masyarakat Tionghoa di Kampung Srindil, Sembung dan Talang ditugaskan untuk membantu armada Kekaisaran Ming dari Tiongkok untuk menyediakan perbekalan kapal, perdagangan dan hubungan diplomatik dengan Pulau Jawa. Kelenteng ini dahulunya dibuat dengan memakai perhitungan Hong Sui. Di Tiongkok, kelentengnya dibangun menghadap ke arah Selatan disebabkan di Selatan dari Tiongkok merupakan daerah yang selalu bercahaya sepanjang tahun. Catatan tertua lain berkenaan dengan tahun pendirian Vihara Tiao Kak Sie yaitu tahun 1658. Hal ini berdasarkan papan bertulis atau “Pai” yang berisi pepatah singkat yang ditujukan kepada para Dewa untuk penghormatan. Biasanya pada Pai tertulis nama pemberi dan tahun pemberian Pai itu. Pai tersebut terletak di atas altar samping pada dinding belakang (Nur, 2006: 103). Pada salah satu Pai tertulis: “Khanghi, tahun Mo-sut, pada musim Chiu (musim rontok) pada hari yang baik ini disumbangkan oleh Tan Kok Liong”. Pada pai yang lainnya terdapat tulisan :“Khang –hi, tahun Mo sut, bulan ke tujuh disumbangkan pada hari yang baik oleh Liem Ciok Tiong”. Khang-hi adalah nama seorang kaisar yang memerintah Tiongkok dan sezaman dengan Raja Lodewijk di Eropa. Nama tahun diambil dari siklus tahun Tionghoa yang lamanya 60 tahun. Adapun tahun-tahun renovasi vihara ini yang tercatat adalah tahun 1791, 1829, dan 1889 (Ezerman, 2003: 6). Catatan mengenai renovasi yang terjadi di tahun 1791 dapat dibaca pada dua bua batu terukir yang terletak pada dinding kanan dan kiri pada ruang utama depan. Sedangkan mengenai renovasi kedua dan ketiga terdapat pada dua papan kayu lepas yang diletakkan di serambi beratap tetapi tidak tertutup. Serambi itu ada dibelakang kelenteng yang sebenarnya. Tulisan papan ini merupakan pertanggungjawaban mengenai keuangan pembangunan dan daftar nama para donator Pada pertanggungjawaban pengeluaran uang tahun 1791 diperoleh informasi bahwa biaya renovasi menggunakan mata uang VOC. Di dalamnya dengan jelas dan terperinci ditulis jumlah material dan jumlah hari kerja. Jumlah hari-hari kerja orang Tionghoa adalah 1688 hari, sedangkan jumlah hari kerja orang pribumi adalah 1518 hari. Pada saat Ezerman menuliskan hasil penelitiannya pada 1918, vihara ini berada pada perbatasan perkampungan Tionghoa. Bangunan tersebut dikelilingi oleh kantor-kantor dan gudang-gudang. Lalu lintas pada jalan antara kantor dan perkampungan Tionghoa pun padat. Selain itu, juga terdapat jalan kereta api yang terletak dekat pintu gerbang, dokar berlalu lalang, pedati yang ditarik oleh sepasang kerbau berjalan dengan pelanpelan. Karena itu, sepanjang hari dapat ditemukan di sana perjuangan hidup manusia dan hewan. Mengenai kata “Sie”, Ezerman menjelaskan arti kata “Sie” sebagai tempat tinggal para rohaniwan. Jika dikaitkan dengan Koan Iem, “Sie” berarti vihara. Oleh karena itu, pada vihara-vihara yang besar di Pulau Pinang atau Singapura dan terutama di Tiongkok banyak rohaniwan yang bertempat tinggal di sana. Dengan demikian vihara dapat dikatakan sebagai sebuah asrama rohaniwan. Namun, di vihara di Cirebon, hanya ada seorang Hwee Shio yang memimpin kebaktian di samping bertugas sebagai penunggu vihara. Sedangkan “Tiao” berarti air laut yang sedang naik atau pasang dan “Kak” berarti bangun dari tidur atau membangunkan/membawa ke arah pencerahan yang benar. Dengan demikian, Vihara Tiao Kak Sie bermakna “Vihara di mana gelombang pasang membangunkan kita” atau “Vihara di mana pencerahan kita akan bertambah”. Menurutnya, arti yang kedua ini merupakan pandangan yang terdapat dalam agama Buddha. Selanjutnya, terkait dengan elemen lain yang terdapat pada bangunan Vihara Tiao Kak Sie, Ezerman pernah menyaksikan kunjungan Gubernur Jenderal Idenburg di Semarang pada sekitar tahun 1910/1911. Penduduk pribumi, orang Eropa dan orang Tionghoa berlomba untuk membuat semacam tugu atau pintu gerbang selamat datang. Tugu selamat datang buatan orang Tionghoa itu terlihat lebih apik dan serasi apabila dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal tugu/pintu gerbang itu hanya terbuat dari bambu dan kertas dengan warna merah disertai dengan aksara Tionghoa. Elemen inilah yang dapat dilihat pada pintu gerbang “Tiao Kak Sie”. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: