Hikayat Baba Chong An di Desa Jamblang

Hikayat Baba Chong An di Desa Jamblang

Bila sejarah secara umum dipahami sebagai peristiwa yang terjadi di masa lampau yang menempatkan manusia sebagai aktor sejarahnya, maka sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan (hampir setiap individu manusia. Membangun peradaban sejarah di daerah, senyampang menggali nilai-nilai kearifan. Tentunya belajar dari keberadaan teks dokumen arsip, foto, maupun tutur lisan dari sesepuh masyarakat setempat. Dalam kaitan ini, radarcirebon.com mencoba menelusuri kota tua Tionghoa tepatnya Desa Jamblang. Jamblang adalah nama buah yang dalam bahasa Cirebon duwet. Nama Jamblang kemudian dipakai untuk nama sebuah daerah, ditempat itu terdapat sebuah pasar bernama Jamblang. Nama Jamblang semula dipinggir sungai dan ditempat itu terdapat pohon jamblang yang sangat besar. Jamblang mula-mula diucapkan oleh seorang pedagang dari negeri Cina. Saat itu, lalu lintas manusia dominan menggunakan jalan sungai dengan naik perahu, kendaraan darat belum banyak dibuat orang, pedati dan dokar masih jarang. Para pedagang kebanyakan dari Cina, berlabuh di pelabuhan Celancang san meneruskan barang bawaannya dengan perahu sampai ke pedalaman. Di pedalaman belum banyak nama-nama kampung, karenanya para pedagang yang hilir mudik melalui jalan sungai pada waktu itu menyebutkan daerah yang pernah didatanginya dengan mengenal pohon sebagai tanda. Demikian pula seorang pedagang Cina bernama Baba Chong An, sering berdagang di sebuah tempat yang terdapat sebuah pohon jamblang. Kemudian oleh penduduk sekitar menyebutnya dengan nama Jamblang. Karena barang dagangannya laku, Baba Chong An sering bermalam dan kemudian membangun tempat tinggal sekaligus berdagang. Ia berdagang ditemani anak gadisnya bernama Liong Sie Tin. Baba Chong An selain dikenal seorang pedagang, ia adalah seorang pengagung kelenteng. Berkat ketekunannya berdagang, ia berhasil membeli sebidang tanah untuk membangun sebuah kelenteng. Suatu saat, tersebutlah seorang pemuda bernama Raden Banjar Patoman berasal dari Banjar bermaksud akan berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon. Dalam perjalanannya menuju Cirebon, melewati Jamblang. Karena dilihatnya ditempat itu lebih ramai dari tempat-tempat lain, ia pun sengaja ingin berwisata. Ketika mendapati tempat tinggal Baba Chong An, ia melihat Liong Sie Tin sedang menunggu barang dagangan. Raden Banjar Patoman pun berkenalan dengan Liong Sie Tin. Dalam perkenalannya, ia menjadi sangat akrab dengan anak gadis Baba Chong An. Hanya saja, Raden Banjar Patoman harus meneruskan perjalanannya, dan pamit undur diri. Liong Sie Tin ingin menyertai Raden Banjar Patoman ke Cirebon, keinginannya untuk mengetahui keadaan di Cirebon. Raden Banjar Patoman berterus terang kepada Liong Sie Tin, bahwa kepergiannya untuk belajar agama Islam. Ia tidak berani mengajak Liong Sie Tin. Ia berjanji akan menemuinya kembali. Raden Banjar Patoman jatuh hati pada Liong Sie Tin. Namun, Raden Banjar Patoman terasa berat untuk melangkahkan kakinya, meninggalkan putri Liong Sie Tin.  Namun tekad belajar agama Islam pada Sunan Gunung Jati, Raden Banjar Patoman harus meninggalkan Jamblang dan pujaannya. Saat itu, Sunan Gunung Jati usai mengadakan musyawarah Dewan Wali Sanga dan mengundang Sunan Rangga. Sunan Rangga adalah sebutan lain Ki Kuwu Cakrabuana. Sunan Gunung Jati memerintahkan untuk mengumpulkan kayu jati yang akan digunakan membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Sunan Rangga pun berunding bersama Sunan Kalijaga perihal kayu jati yang akan diambilnya. Sunan Rangga menjelaskan adanya kayu-kayu harus dikumpulkan, bahwa kayu itu akan diambil dari Alas Jati Si Gentong. Seorang bernama Nyi Rara Denok yang memiliki Alas Jati Si Gentong berkenan menyumbangkan kayu yang bernama Si Topeng yang berada di sebuah pulau kecil bernama pulau Rancang, sekarang Pulau Rancang adalah sebuah dusun di Desa Gegesik Kulon Kecamatan Gegesik. Sementara, Raden Banjar Patoman akhirnya bertemu Sunan Gunung Jati dan meminta diajarkan ilmu Islam. Sunan Gunung Jati menerima permintaannya, diperintahkan agar bersabar menunggu sampai Sunan Kalijaga kembali dari pekerjaan menebang kayu jati untuk pembangunan masjid Agung Cirebon. Raden Banjar Patoman merasakan anugerah jika sebagai murid Sunan Gunung Jati, turut membantu mengumpulkan kayu-kayu jati. Sunan Gunung Jati mengijinkan permintaan Raden Banjar Patoman, untuk bergabung dengan Sunan Rangga dan Sunan Kalijaga beserta penebang lainnya yang telah berada di Pulau Rancang. Tanpa diduga, bersamaan pula Baba Chong An juga sedang membangun kelenteng, yang sekarang dikenal dengan nama Kelenteng Jamblang. Akan tetapi dalam pembangunan Kelenteng tersebut kekurangan kayu untuk bubungan. Menurut cerita tutur bahwa bubungan Kelenteng Jamblang adalah kayu jati Si Gentong dari Pulo Rancang bantuan dari Raden Banjar Patoman, tentunya atas seijin Sunan Gunung Jati. Setelah Kelenteng Jamblang berdiri, kemudian Raden Banjar Patoman diterima menjadi tunangan Liong Sie Tin. Dan pada waktu itu orang-orang dari negeri Cina berkunjung di wilayah Jamblang, masyarakat asli desa Jamblang pun tidak kalah dengan orang-orang dari negeri Cina untuk berdagang yaitu jualan nasi yang dibungkus dengan daun jati, dan menjadi ciri khas desa Jamblang hingga kini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: