PKS atau Garbi?
Barangkali, banyak yang gelisah untuk memilih. Bertahan di PKS atau masuk Garbi. Keputusan untuk memilih salah satu diantaranya saya kira bukan hanya soal nurani. Tapi, lebih kepada persoalan ego pribadi dan upaya menyelamatkan keadaan. Dan, masing-masing individu mempunyai pandangan dan sikap tersendiri atas jalan yang ingin ditempuhnya. Saya sendiri, pernah pada suatu massa, merasa bangga dalam dada ketika bisa masuk komunitas orang-orang masjid itu. Walau, awalnya banyak pandangan miring, dari mulai dikritik karena penampilan yang masih suka berpakaian “preman” sampai dicurigai sebagai “mata-mata”. Tapi, walau sekadar “pion” dalam komunitas ini, saya bangga pernah ada di dalamnya, merasakan bagaimana perjuangan dan ukhuwah bukan isapan jempol belaka. Hanya, pernah suatu massa, rasa kesal, kecewa membuncah dalam dada. Ya, ketika petinggi komunitas ini “berkhianat”, lalu didakwa korupsi oleh KPK plus diam-diam ternyata menikahi anak bau kencur. Saya yang masih jomblo saat itu tanpa pikir panjang langsung meninggalkan apa yang disebut dengan “Liqo” pekanan. Rasa kecewa itu saya ungkapkan dalam tulisan, kolom-kolom “panas”, mengkritik komunitas itu, yang kemudian stigma alias cap buruk menempel dalam diri. Ya, saya dicap anti PKS. Dalam kondisi seperti itu, saya lumayan banyak dijauhi oleh teman-teman seperjuangan. Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Saya kemudian banyak menyendiri. Bekerja seperti biasa, tanpa berhubungan dengan kawan-kawan lama. Hingga, di Pulau Dewata, saya dipertemukan oleh pasangan yang kini menjadi pendamping. Dia ternyata, kader “aktif” PKS. Aha, jauh-jauh merantau, berkelana ke mana-mana, tapi dapat jodoh dari komunitas ini-ini juga. Konon katanya, pantang melamar sendiri, maka saya berpikir siapa yang akan melamar gadis berjilbab lebar itu. Para “guru ngaji” sebelumnya sudah saya tinggalkan dan saya tak simpan nomornya. Dengan perasaan malu, penuh hormat saya kontak “guru ngaji” lama saya di kampus, jadilah beliau yang melamarkan gadis itu. Tiga bulan selanjutnya. Sah. Dia menjadi istri plus seorang yang mengajak saya “ngaji lagi”. Di pagi hening, sekian tahun kemudian, dia bilang “Nggak tertarik Garbi nih?” saya bilang “Untuk saat ini belum say”. Saya tak mengatakan Garbi itu komunitas atau jamaah yang tidak baik. Hanya, saya sedang tak ingin menghakimi “jamaah” yang baru tumbuh. Biarkan Garbi ada, biarkan Garbi menemukan jati dirinya. Ibarat para pengelana yang ingin menuju tempat yang sama. Tak menjadi persoalan jalannya berbeda, toh mereka akan sampai ke tujuan yang sama-sama dirindukan, direncanakan sebelumnya. PKS dan Garbi itu ibarat TIKI (yang dikelola bapaknya) dan JNE (yang dikelola anaknya). Kalau JNE melaju kencang, sang bapak juga ikut senang. Harusnya begitu. Lalu, kini apa yang tersisa? Kontribusi. Ya, yang terpenting bukan rumah sendiri. Tapi kontribusi. Dulu, sewaktu di kampus, saya spesialis mengisi diskusi (kajian) tentang Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Maka, kini biarkan saya setia di garis perjuangan ini. Membaca, menulis, menerbitkan buku demi sebuah pencerahan pikiran. Dan soal kontribusi, masing-masing juga punya jalannya sendiri. Lantas, bagaimana yang ingin terjun ke kancah kekuasaan. Buat yang masih sabar dan ingin pelan-pelan, tentu PKS tempatnya. Tapi bagi yang ingin cepat melesat dengan beragam inovasi gerakan, maka Garbi jawabnya. Jadi, tak usah gelisah memilih diantara keduanya. Semua kini tergantung selera. Dan yang namanya selera, sampai kapanpun tak bisa diperdebatkan. Kecuali kalau kurang kerjaan. (*) Penulis: Yons Achmad, Kolumnis, tinggal di Depok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: