Pasangan Tamatan SMP dan SMA Paling Banyak Bercerai

Pasangan Tamatan SMP dan SMA Paling Banyak Bercerai

CIREBON-Angka perceraian naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Kelas 1B Cirebon, ada 1.066 perkara yang masuk. Dari jumlah tersebut, 983 perkara di antaranya terkait gugatan perceraian. Itu berarti, dalam satu bulan ada sekitar 28 pasangan suami istri yang mengakhiri mahligai rumah tangganya. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, di mana PA Kota Cirebon hanya menerima 858 perkara. Yang memprihatinkan ada beberapa faktor yang menjadi biang tingginya angka perceraian itu. Paling dominan adalah alasan ekonomi, sebanyak 214 perkara, perselisihan yang terus menerus 121 perkara, ditinggalkan pasangan 92 perkara, mabuk 83 perkara dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 70 perkara. Ironisnya, KDRT sendiri, juga sering dipicu pertengkaran karena faktor ekonomi rumah tangga. Ini terjadi di pasangan berusia 25-40 tahun. Yang dari latar belakang pendidikan, sebagian besar tamatan SMP dan SMA. Namun, ada anomali dari data ini. Pasangan menikah di Kota Cirebon, sebetulnya 99 persen sudah berpenghasilan. Hanya 1 persen yang statusnya pengangguran. Kepala Seksi Bimas Islam Kemenag Kota Cirebon H Slamet S Ag menyatakan, dalam bimbingan menikah, rata-rata kedua mempelai telah mengetahui kemampuan ekonomi masing-masing. Terutama sang wanita. “Sebetulnya sudah ditanya. Pekerjaannya, juga soal pengasilannya. Mereka siap. Cuma 1 persen yang belum memiliki penghasilan,” katanya kepada Radar Cirebon. Faktor ekonomi yang menjadi penyebab perceraian diperkirakan bukan sekadar besar kecil penghasilan. Slamet menduga ada faktor lain. Mengingat sebelum menikah mereka tidak mempermasalahkan ekonomi. Masing-masingnya mengaku mengetahui dan menerima. Faktor lain dimaksud ialah pola pergaulan di masyarakat. Apalagi di era sosial media, di mana aspek materialistik begitu nampak. Yang pada akhirnya ada peningkatan gaya hidup. Akademisi Ekonomi Moh Yudi Mahadianto SE MM menyarankan calon pasangan untuk memiliki perencanaan keuangan. Yang di dalamnya memperhitungkan pengeluaran. Setidaknya pemenuhan kebutuhan dasar dan biaya pendidikan. Dengan kondisi saat ini yang menetapkan batas nikah dengan usia 16 dan 19 tahun, tentu banyak pasangan belum siap secara penghasilan. Pada akhirnya, terjadi perceraian. “Ini perlu kesiapan mental. Jadi kalau terjadi krisis, bagaimana bisa menghadapi bersama,” ucap Wakil Dekan Fakultas Ekonomi (FE) Unswagati ini. Bisa dibilang, pernikahan adalah menghadapi realita. Sedangkan sebelum masuk jenjang ini, cinta kerap terlampau membutakan. Yudi menegaskan, calon pasangan menikah sudah seharusnya memiliki kesiapan ekonomi. Kepala keluarga harus berpenghasilan, sehingga dapat menyusun perencanaan keuangan. (apr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: