Membedah Problem Perumahan Generasi Milenial

Membedah Problem Perumahan Generasi Milenial

CIREBON- Hunian akan jadi masalah kota ini dalam beberapa tahun ke depan. Terkhusus generasi milenial. Mereka yang lahir di tahun 1980-2000, akan mengalami problematika serius. Ada jurang kesenjangan antara kemampuan dengan harga pasar properti. Rumah  adalah investasi. Kira-kira begitu bunyi iming-iming brosur pengembang perumahan untuk menggaet konsumennya. Godaan ini tidak salah. Lebih banyak benarnya. Terutama bila berkaca pada pertumbuhan harga properti akhir-akhir ini. Namun, peningkatan harga ini menghadirkan masalah pada milenial yang ingin memiliki hunian sendiri. Berdasarkan data Real Estate Indonesia (REI), hanya 60-70 persen milenial yang memiliki kemampuan membeli rumah non subsidi. Terutama mereka yang berada di usia 30-35 tahun. Dari survei REI, milenial di rentang usia 30 hingga 35 tahun saat ini rata-rata mendapatkan gaji Rp5-6 juta/bulan. Hanya segelintir saja yang memiliki gaji Rp10 juta/bulan di usia itu. Dari penghasilan itu, bila milenial membeli rumah subsidi kemampuan mereka di angka 130 persen. Sementara membeli rumah non subsidi ada di kisaran 60-70 persen saja. Rendahnya kemampuan milenial membeli hunian komersil, merupakan imbas dari penghasilan mereka. Dengan gaji Rp5-10 juta itu, milenial tak berhak dapat subsidi perumahan. Otomatis mereka harus beralih ke perumahan komersil. Nah di segmen ini, mereka justru ngos-ngosan. Data ini juga sejalan dengan survei yang dilakukan rumah123.com dan karir.com. Kesimpulannya, lima tahun ke depan, milenial malah terancam tidak bisa membeli dan memiliki rumah. Musababnya adalah angka pendapatan kenaikan gaji normal di luar promosi sepanjang tahun 2016 sebesar rerata 10 persen, dan lonjakan harga rumah dengan angka asumsi minimal 20 persen. Dari survei itu, disebutkan bahwa pendapatan rata-rata generasi milenial saat ini adalah Rp6.072.111 per bulan. Sedangkan untuk dapat mencicil rumah dengan harga termurah Rp300 juta, dibutuhkan pendapatan minimal Rp7,5 juta per bulan. Sementara bila ditelusuri secara historis sejak 2009-2012 yang merupakan era ledakan (booming) properti, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen, atau 50 persen per tahun. Dari data ini, diprediksi peningkatan harga rumah dalam lima tahun mendatang sekitar 150 persen. Sementara kenaikan pendapatan hanya 60 persen dalam periode yang sama. Simulasinya, dengan estimasi kenaikan minimal 20 persen per tahun, harga rumah yang saat ini dipatok Rp300 juta akan menjadi Rp750 juta. Bandingkan dengan kisaran penghasilan generasi milenial pada tahun 2021 mendatang yang hanya ada di angka Rp12 juta. Ketua REI Komisariat Cirebon, Gunadi menyebutkan, ceruk pasar milenial yang ngos-ngosan dengan rumah komersil turut menyumbang rendahnya daya beli rumah non subsidi. “Jadi penghasilan mereka ini ngambang. Subsidi nggak bisa dapat, untuk komersil nggak mampu,” tutur Gunadi, kepada Radar Cirebon, Rabu (13/2). Menurut dia, problem ini harus jadi perhatian pemerintah. Terutama dengan urusan perpajakan yang salah satunya PPN 10%. Pajak ini sangat terasa. Cicilan bisa jadi dua kali lipat gara-gara tambahan komponen ini. Atas problematika ini, REI mendorong pemerintah memberikan kebijakan. Mengingat masalah milenial sulit beli rumah tidak hanya terjadi di Kota Cirebon. Hampir merata di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus berperan. REI memberikan beberapa usulan. Pemerintah bisa memfasilitasi rumah komersil bersubsidi. Bisa juga down payment (DP) komersil dan sistem pembayaran secara subsidi. Dengan kata lain, bunga yang disubsidi dengan jangka waktu tertentu. Sementara Badan Pusat Statisik (BPS) Kota Cirebon juga merilis data bahwa tingkat kepemilikan hunian di Kota Cirebon hanya 62,60 persen. Data yang dirilis tahun 2018 tersebut mencatat, 37,40 persen warga kota menempati rumah bukan milik sendiri. Definisi rumah bukan milik sendiri antara lain merupakan rumah dinas, rumah adat, kontrak, bebas sewa, dan lainnya. Sementara dalam presentase kepala rumah tangga (KRT), sebanyak 61,50 persen laki-laki memiliki rumah sendiri dan sisanya sebanyak 38,50% tinggal di rumah bukan milik sendiri. Sedangkan untuk kategori perempuan sebagai kepala rumah tangga, sebanyak 67.46 persen tinggal di rumah milik sendiri dan sisanya 32,54 persen tinggal di rumah bukan milik sendiri. (apr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: