Dari Gunung Bongkok: Menelisik Maja dan Majalengka Tempo Dulu (2)
Gunung Bongkok kadang kala disebut juga Gunung Sela, karena bentuknya seperti sela (sadel, pelana) kuda. Dalam salah satu peta Belanda, memang namanya bukan Gunung Bongkok, tapi Gunung Sela. Disebut Bongkok karena seperti orang yang bungkuk (bongkok–Sunda). Di dekat gunung tersebut (Gunung Wangi) konon dimakamkan bupati pertama, Raden Aria Dendanegara. Keberadaan Kabupaten Maja yang ibu kotanya di Maja itu tidak banyak bukti peninggalan sejarahnya, selain peta dan beberapa lokasi (foto diatas) yang menyebut itu ada di Maja (Kabupaten–karena tidak berada di Kecamatan apalagi desa Maja). Jika merujuk peta Junghuhn “Kabupaten Maja” di atas, dan peta kota Sindangkasih (Majalengka), itu berarti bahwa semula ibu kota Kabupaten Maja itu di Maja, bukan di Sindangkasih. Banyak orang menduga, dari membaca besluit yang sama menyebut nama Sindangkasih sebagai tempat kedudukan Keregenan. Kemudian diubah menjadi Majalengka seiring perubahan nama Maja menjadi Majalengka, ibu kota Kabupaten Maja itu Sindangkasih. Bahkan ada yang menyebut Kabupaten Majalengka itu sama dengan Kabupaten Sindangkasih. Maja dipilih sebagai ibu kota kabupaten diduga karena hawanya yang sejuk. Bagi orang Belanda kesejukan itu perlu dan penting, sesuai dengan iklim daerah asalnya. Lebih-lebih karena bisa pula “naik gunung” ke Argalingga mencari udara yang lebih dingin. Tampaknya ada pemikiran pada Pemerintah Belanda ketika itu untuk memindahkan ibu kota Keregenan Maja itu ke tempat lain, yang lebih “datar” sehingga lebih luas untuk pengembangan kota. Maja tidak representatif untuk dikembangkan jadi kota karena berbukit-bukit. Tempat yang terpilih berada di “wilayah Sindangkasih” (bukan desa Sindangkasih sekarang, tapi termasuk bagiannya). Salah satu pertimbangannya pasti ada jalur jalan (dari Karangsambung menuju ke Maja, Talaga, dan juga Kawali–lewat Sindangkasih sekarang, lalu melalui Kulur, Cieurih, Pasanggrahan, Anggrawati). Sindangkasih versus Majalengka Seiring dengan perubahan tempat ibu kota, bukan di Maja lagi, maka nama kabupaten itu perlu diberi nama baru. Jika menggunakan nama “daerah yang baru” (Sindangkasih), akan bertabrakan nama dengan banyak nama Sindangkasih (Karawang, Ciamis, Beber Cirebon). Lalu dipilih tetap menggunakan nama Maja, akan tetapi harus ditambahi “tambahan kata” agar tidak berbenturan dengan nama Maja yang sudah tidak jadi ibu kota lagi. Penelusuran radarcirebon.com, nama “Majalengka” sama makna dengan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta kerajaan Majapahit itu suka disebut juga Vilvatikta atau Wilwatikta. Vilva (wilwa atau bilwa) itu buah maja; tikta artinya pahit. Nama Majapahit sudah jauh lebih populer dibandingkan nama aliasnya, yaitu Majalengka. Dengan kata lain, nama Majalengka dalam berbagai “literatur” sudah tidak digunakan untuk menyebut nama Majapahit. Maka, ada persamaan ihwal buah maja (yang pahit itu), digunakanlah nama tersebut. Akhirnya, 11 Februari 1840 berdiri “kota” Majalengka sebagai ibu kota (“tempat kedudukan keregenannya” atau “den zetel van hetzelve“) yang baru dari Kabupaten Majalengka, yang semula termasuk wilayah Sindangkasih. Dengan kata lain, daerah “tempat kedudukan pemerintahan” Majalengka yang bernama Sindangkasih itu, dipisahkan dari desa Sindangkasih semula. Bahasa lainnya, desa Sindangkasih dimekarkan menjadi ada Sindangkasih dan ada Majalengka. Ini seperti Kecamatan Majalengka dulu yang sekarang dimekarkan menjadi Kecamatan Majalengka dan Cigasong. Lihat juga peta “kota” Sindangkasih (Majalengka) versi Junghuhn (1860-an) di atas, disajikan pula di bawah berikut. Tertulis: Sindanglasi (Madja Lengka). Maksudnya, tadinya Sindangkasih, sekarang menjadi Majalengka. Jadi, Majalengka itu berdiri dengan besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 11 Februari 1840, sebagai nama pengganti dari nama semula Sindangkasih (bagian dari desa Sindangkasih). “Kampung Sindangkasih” asli (di posisi desa Sindangkasih sekarang) kemudian dijadikan tempat kedudukan pemerintahan desa Sindangkasih yang baru sampai sekarang. Tampaknya urutan sejarahnya demikian. “Desa” (kota) Majalengka kemudian (belum terlacak tahunnya) dimekarkan lagi menjadi Majalengka Wetan dan Majalengka Kulon. Seperti desa Maja yang dimekarkan menjadi Maja Kaler dan Maja Kidul. Maja atau Talaga Sebagai Ibu Kota Kabupaten Maja Tampak peta “Kabupaten Maja” (benar-benar tertulis Madja) dengan dua kota besar saja yang ada di dalamnya, yaitu Madja dan Telaga. Walau dibuat tahun 1841 dan diterbitkan 1842, terlihat perubahan pada tahun 1840 (Maja menjadi Majalengka, dan Sindangkasih menjadi Majalengka) itu belum sampai pada pembuat peta, sehingga masih bernama Madja dan ibu kotanya belum Sindangkasih (Madjalengka). Perhatikan garis jalan raya (yang tertulis “Post …… Weg“) dari Karangsambung ke Jamblang yang menjadi batas utara Kabupaten Maja. Dari Jamblang naik ke Gunung Ciremay menembus sampai dengan “regenschaft” Telaga (tulisan besar dekat garis), menuju arah barat ke perbatasan Karesidenan Cirebon dengan Karesidenan Priangan (“Kabupaten Sumedang”)–garis tebal yang ada warna pink. Dari “postweg” (jalan raya) Karangsambung ke selatan (bawah peta) tidak ada “kota” apapun (Kadipaten, Sindangkasih atau Majalengka). Hanya ada dua lingkaran kecil dengan masing-masing bertuliskan “Madja” dan “Telaga.” Itu sebabnya dapat disimpulkan bahwa ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, bukan Sindangkasih. Menjadi tidak logis jika ibu kotanya Talaga, karena tidak disebutkan dalam besluit ada perpindahan ibu kota (tempat kedudukan kebupatian atau keregenan) dari Talaga ke Sindangkasih. Ibu kota Maja tidak disebut, karena tampaknya dianggap otomatis tersirat dalam nama Kabupaten Maja. Dalam besluit disebut dengan kata “thans” (yang sekarang ini–saat “dipindahkan”), bukan yang tadinya atau dahulunya (“vroeger” atau “eerst“) bernama Sindangkasih. Maja-Lumaju: Loh-maja Ibu kota Kabupaten Maja, seperti telah disebutkan di atas, Talaga itu adanya “regenschaft Telaga” seperti tampak dalam peta (di bawah nama “kota” Telaga), dan disebut-sebut pula keberadaanya dalam batas-batas wilayah Kabupaten Maja (tercakup ke dalam Kabupaten Maja) dalam besluit pendirian Karesidenan Cirebon yang salah satu kabupatennya Maja (5 Januari 1819). Ada dua “regenschaft” yang disebut-sebut dalam batas-batas wilayah Kabupaten Maja dan lainnya, yaitu “regenschaft Rajagaluh” dan “regenschaft Talaga.” Tampaknya itu pengakuan akan adanya wilayah eks” ketumenggungan (“kerajaan” bagian dari Kerajaan Galuh/Pakuan-Pajajaran). Perhatikan peta Junghuhn di atas. Ada jalur jalan raya dari “Cirebon” sampai Maja, dan tidak terus ke Talaga. Jalur jalan dari Majalengka ke Maja dan Talaga pun kecil saja (garis tunggal). Itu artinya Maja memang ibu kota Kabupaten Maja, bukan Talaga. Jika ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, maka dapat dianggap juga bahwa adanya “kota” (desa) Maja secara yuridis-formal sebagai ibu kota Kabupaten–sementara, sebelum sejarahnya terlacak lebih jauh–itu mulai tanggal 5 Januari 1819. Andaikata nama Dalem Lumaju Agung itu mengikuti nama kampung atau wilayah, seperti Dalem Jero Kaso yang disebut demikian karena memimpin kampung Jero Kaso Maja, maka desa (daerah) Maja itu dulunya bisa jadi bernama desa Lumaju. Kata Agung (Ageng) merupakan tambahan kepada gelar Dalem, karena Dalem Lumaju benar-benar agung. Jadilah sesebutannya (bukan nama aslinya) “Dalem” (yang memimpin daerah kadaleman) “LUMAJU” yang “agung” (Dalem Lumaju Agung/Ageng). Dari asal mula bernama “LUMAJU,” lama-lama berubah menjadi MAJA. Jauh juga, ya! LUMAJU, LUMAJA! Bisa jadi nama Lumaju itu asal mulanya “LOH MAJA” (tanah daerah yang banyak ditumbuhi tanaman maja). Maja atau berenuk? Seperti “Loh Asri” yang lalu menjadi “Losari.” Kata Lohasri ke Lohsari, lalu ke Losari itu dekat sekali. Tetapi “lohmaja” menjadi “lumaju” memang agak jauh. Kata “Hujung Barang” kata Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan menjadi “Ujung Berung” kata urang Rajagaluh, dengan “loh maja” menjadi “lomaja” menjadi “lomaju” menjadi “lumaju.” (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: