Warna-warni Cerita Ojek Payung

Warna-warni Cerita Ojek Payung

CIREBON-Mereka menerjang derasnya hujan. Tanpa keluh kesah. Hanya canda tawa. Meski sekujur tubuhnya basah. Sambil berharap dewi fortuna memayungi mereka. Siang itu, langit Cirebon sudah tertutup awan mendung. Saya prediksi bakal hujan deras. Cepat-cepat motor masuk area parkir Stasiun Kejaksan. Benar saja. Belum selesai beranjak dari parkiran, hujan sudah turun. Begitu derasnya. Beberapa menit berteduh, hujan pun belum berhenti. Seorang remaja yang basah kuyup kemudian membawa payung. Menawarkan payung warna-warninya untuk disewa. Fariz namanya. Usianya baru 15 tahun. Ia sudah jadi ojek payung kurang lebih dua tahun terakhir. Hujan, baginya adalah rezeki. Makin deras. Makin lama. Makin banyak uang yang dibawanya pulang. “Kalau hujan sebentar, paling dapat Rp5 ribu,” ucap Fariz, yang tinggal tak jauh dari stasiun. Kalau hujannya lama juga deras. Ia bisa dapat Rp100-200 ribu. Siang itu, ia sudah dapat Rp65 ribu. Tidak hanya Fariz yang menyewakan payungnya. Ada belasan anak-anak hingga remaja yang melakukan hal serupa. Fariz dan kawan-kawannya tak mematok tarif. Kadang penyewa payung memberi Rp5-10 ribu. Kalau dewi fortuna sedang memayungi mereka, kadang bisa dapat lebih. Setelah hujan berhenti, barulah mereka berhitung uang yang didapat. “Uangnya buat jajan. Kalau lebih buat ditabung,” kata Fariz, di pelataran stasiun. Meski kerap berhujan-hujan ria, Fariz dan rekan-rekannya mengaku tak pernah sakit. Padahal mereka sering basah kuyup dan berjam-jam lamanya tanpa henti menawarkan jasa payung. Mungkin udara dingin akibat hujan serasa pupus dirasakan oleh bocah-bocah ojek payung itu. Hujan pun turun lagi. Dari kejauhan, kembali terdengar suara nyaring mereka.“Pak, bu, kak, payungnya….” (kri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: