Salahudin Rayyan, Satu-satunya Peserta UN SMP dengan Kertas Pensil (3-Habis)

Salahudin Rayyan, Satu-satunya Peserta UN SMP dengan Kertas Pensil (3-Habis)

CIREBON-Salahuddin Rayyan jadi satu-satunya siswa yang mengikuti ujian nasional kertas pensil di rumah. Hal tersebut dikarenakan kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan. Terlebih saat ini ia tengah dalam status bed rest demi kesembuhan. Selama perbincangan, Siti Nurfajar bicara dengan tegar. Meski pilu yang dirasanya tersebut tak bisa ditutupi dari wajahnya. Dari pernikahannya dengan Alm Nendi, Siti dikarunai dua orang anak laki-laki. Hanya berbeda dua tahun usianya. Saat Salahudin Rayyan berusia satu tahun, sang suami berpulang ke pangkuan YME. Penyebabnya adalah kelainan pada jantung yakni katup yang bocor. Sejak saat itu, Siti membesarkan kedua putranya sendiri. Hingga kemudian bertemu dengan Budi yang menjadi suaminya kini. Bersamanya Siti makin tegar. Hingga suatu hari, putra tertuanya, Muhammad Diahulhaq (17) mengalami keluhan selama kegiatan belajar. Napasnya seringkali tersengal-sengal. Gejala demikian baru diketahui ketika Diahulhaq duduk di bangku kelas 6 SD. \"Waktu itu ketahuan mulai sakit-sakitan, Diah sering sesak napas. Sesak gitu dadanya,\" kata Siti. Melihat kondisi putra pertamanya itu, dia tak mau tinggal diam. Diah periksa ke dokter hingga dirujuk ke Bandung. Sesampainya disana dirinya tak mendapat penanganan apapun. Sampai akhirnya kembali ke Cirebon dengan kondisi tubuh yang kembali drop. Yang kemudian disusul dengan dirawat lagi di RSD Gunung Jati. Dari sana, Diah kembali mendapat rujukan. Kali ini ke Jakarta. \"Ketahuannya pas kelas 6 SD. Sempat awalnya yang ketahuan itu paru-parunya kena, bermasalah. Ternyata setelah kontrol terus baru ketahuan kalau ternyata sesak napasnya itu justru pengaruh dari jantung yang masalah,\" jelasnya. Katup Jantung yang bocor itu yang menjadi penyebabnya. Bagai disambar petir, Siti langsung teringat akan almarhum suaminya. Yang meninggal dunia karena kebocoran jantung. Artinya, penyakit yang diderita Diah tersebut merupakan bawaan dari sang ayah. Hingga puncaknya kondisinya makin parah ketika Diah duduk di bangku kelas 2 SMP. Penyakitnya sering kambuh hingga bolak-balik rumah sakit dan sering meninggalan pelajaran di sekolah dalam waktu yang lama. \"Kaget waktu itu karena sama kayak bapaknya. Tapi dari rujukan ke Jakarta itu Diah belum sempat dioperasi, Ph nya itu masih tinggi,\" ucapnya. Diah sampai saat ini sabar menunggu hingga ph darahnya normal. Kondisi tersebut cukup sulit. Mengingat kebocoran jantung menyebabkan percampuran antara darah yang bersih dan kotor. Sehingga ph darah juga terpengaruh. Diah harus mengonsumsi obat rutin. Harganya lumayan. Satu botol kecil Rp2 jutaan lebih kalau beli di Cirebon. Obat tersebut juga tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Kondisi Diah jauh lebih parah dari Rayyan. Badannya semakin habis. Tulangnya mengecil. Nampak rapuh. Remaja 17 tahun itu pun harus putus sekolah, karena fisiknya tidak memungkinkan,. Inilah yang membuat sedih Siti. Sejauh ini pengobatan jantungnya tersebut juga diikuti dengan pengobatan paru-paru yang juga dialaminya. Berobat paru-parunya selama 9 bulan. Meski begitu semangat Diah juga tak kalah membara seperti sang adik yang tetap ingin bersekolah. Kalau kondisinya lebih baik, Siti Nurfajar berniat untuk menyekolahkan kembali Diah di sekolah paket. “Anaknya semangat sebenarnya. Sekarang saya kasih kegiatan. Jualan baju di rumah aja biar dia nggak bosen,\" tukasnya. Rayyan baru diketahui menderita kelainan klep jantung di kelas 2 SMP. Sementara sang kakak sudah lebih dulu terdiagnosa. Bedanya, Rayyan sudah menjalani operasi dan masuk dalam tahap pemulihan. Soal semangat, Rayyan juga tidak kalah membaranya. Saat ini usia Rayyan menginjak 15 tahun. Di tengah pergulatan dengan kondisi fisik yang masih lemah pasca operasi, ia membulatkan tekad untuk tetap mengikuti ujian. Putera keduanya, sebut Siti, ingin segera masuk SMA. Dengan kondisi pasca operasi, gerak Rayyan serba terbatas. Harusnya, ia masih bed rest untuk satu bulan ke depan. Untuk sekadar berjalan dari kamar ke ruang tamu pun, nafasnya tersengal-sengal. Tidur pun baru bisa miring. Sebelumnya, haru selalu terlentang. Meski dalam kondisi serba terbatas, Rayyan tak mau menunda kesempatan untuk ujian sama dengan siswa lainnya. Ia tegas menolak ketika diberi pilihan untuk ikut UN susulan. Untungnya, SMPN 11 membantu rayan dengan mengajukan keringanan ke Dinas Pendidikan (Disdik). Kemudian diteruskan sampai ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Keputusan pelaksanaan UN untuk Rayyan pun disetujui dengan kebijakan khusus. Meski pelaksanaan UN untuk tingkat SMP berbasis komputer, Rayyan mendapat kesempatan ujian dengan kertas pensil. Hal tersebut membuatnya jadi satu-satunya siswa SMP yang melaksanakan UNKP di Kota Cirebon. Kertas soal diantarkan pengawas ke rumah Rayyan langsung di Jalan Situgangga RT 04 RW 09, Kelurahan/Kecamatan Harjamukti. Rayyan pun jadi satu-satunya siswa di Kota Cirebon yang menjalani ujian nasional kertas pensil. (myg/habis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: