Ada Pembiaran Galian C, Pengelola dan Pemkot Bisa Tersangkut Pidana

Ada Pembiaran Galian C, Pengelola dan Pemkot Bisa Tersangkut Pidana

CIREBON-Masih berlangsungnya aktivitas di lahan eks galian c Argasunya, mendapat tanggapan keras dari pengamat lingkungan Agus Sukanda. Pria yang baru purna tugas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menilai, seharusnya galian c segera atau semestinya sudah ditutup. Pasalnya, dampak yang ditimbulkannya yakni kerusakan lingkungan sudah nyata-nyata terjadi. Baik sebelum terbitnya keputusan walikota pada 2004, maupun pada saat sekarang. \"Tidak ada alasan lagi bagi Pemkot Cirebon dalam hal ini DLH (Dinas Lingkungan Hidup) untuk tidak menutupnya,\" ujar Agus. Dia mengingatkan DLH untuk tidak berlindung di balik Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Bila surat ini dijadikan dasar, justru aktivitas bukannya terkendali malah sebaliknya. Seseorang atau badan hukum lainnya bisa seenaknya melakukan pengangkut dan penjualan material di lahan kritis dengan dalih revitalisasi. Apalagi, pihak yang berwenang mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) itu bukan pemerintah kota, melainkan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat. Agus menandaskan, apabila aktivitas tersebut masih saja berlangsung dan ada pihak yang mempidanakannya, itu sah dan bisa dilakukan. Unsurnya sudah terpenuhi. Ada kegiatan penambangan ilegal, juga ada pembiaran dari pemkot itu sendiri. Ini masuk di ranah pidana yang mengatur lingkungan hidup. \"Pengelola dan pejabat pemkot bisa kena pidana itu,\" ungkapnya. Agus juga mengkritisi kebijakan dan langkah lambat pemkot dalam penanganan masalah ini. Padahal, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, merupakan \"jualan\" pasangan walikota dan wakil walikota untuk meraih suara. Dalam visi misi dan konsep, disebutkan akan mengembangkan wilayah tersebut menjadi lahan pertanian dan wisata alam. Tapi sampai saat ini belum ada output yang dihasilkan. Disarankannya, untuk mencontoh Desa Cibuntu atau Cidahu di Kabupaten Kuningan. Di sana pemda mempunyai permasalahan sama diantaranya anggaran. Tapi bisa diatasi dengan partisipasi keikutsertaan masyarakat. Hasilnya bisa dilihat, lahan kritis bekas galian c secara bertahap menjadi daerah wisata yang ramai dikunjungi. Kuncinya ada di konsep yang jelas. “Mau diapakan lahan itu? Bagaimana cara penataannya, anggaran, kondisi sosial masyarakatnya seperti apa dan hal lainnya,” bebernya. Dia pun meminta pemerintah kota, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan untuk tidak jalan dengan keyakinannya sendiri. Justru masalah ini harus jadi pembahasan lintas dinas. Dan yang paling penting adalah mempertimbangkan banyak masukan. Termasuk dari masyarakat setempat. \"Jangan alergi terhadap kritik, ini untuk kebaikan kita bersama,\" tandasnya. Seperti diketahui, Surat Peringatan (SP) I yang dikeluarkan Cabang Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, tak kunjung direspons pengelola galian tipe c. Lahan kritis di Kelurahan Argasunya tersebut ditengarai masih terus mengeluarkan material tanah. Pantauan Radar Cirebon di lapangan, puluhan dump truck masih berlalu-lalang. Baik yang baru keluar lokasi galian c dengan muatan penuh, maupun yang hendak masuk mengambil muatan berupa tanah urugan dan material lainnya. Di lain pihak, DPRD Kota Cirebon resmi menerbitkan surat rekomendasi penutupan aktivitas galian c. Surat itu diterbitkan tanggal 11 Maret 2019 nomor 172.4/203-DPRD. Ketua DPRD, Edi Suripno MSi meminta pemkot segera menindaklanjuti surat itu. Sebab, tidak ada alasan yang menguatkan aktivitas galian golongan c tetap berjalan. “Bolanya sekarang ada di ekskutif. Harusnya dari lama ditutup, kenapa dibiarkan?” ujarnya. Sebagai tindak lanjut dari penutupan, pemkot bisa langsung menjalankan program alih profesi untuk memberdayakan masyarakat. Salah satunya dengan pemanfaatan lahan eks galian c sesuai dengan peraturan daerah (perda) rencana tata ruang wilayah (RTRW). Rekomendasi ini, masih kata Edi, bukan tanpa sebab. Berdasarkan aspirasi masyarakat, mereka sejak lama meminta penutupan pertambangan golongan c. Kemudian, kegiatan itu berdampak kepada kerusakan lingkungan hidup dan betentangan dengan UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (gus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: