Ramadan Bikin Rindu Indonesia, Kisah Mahasiswa Asal Kuningan yang Studi di Amerika Serikat

Ramadan Bikin Rindu Indonesia, Kisah Mahasiswa Asal Kuningan yang Studi di Amerika Serikat

SEJAK Juli 2018, aku, Kiki Rizki Amalia, mendapatkan kesempatan untuk tiggal di Amerika Serikat, tepatnya di kota Lincoln, di negara bagian Nebraska. Aku sedang menjalani pendidikan pascasarjana di jurusan Statistik, Universitas Nebraska-Lincoln melalui beasiswa Fulbright. Ini adalah Ramadan pertamaku di Amerika yang jauh dari keluarga. Selama 11 bulan hidup di negeri Paman Sam, aku belum pernah merasakan homesick yang akut, seperti yang kurasakan saat di bulan Ramadan. Mungkin karena teman satu apartemenku orang Padang, sehingga kami bisa bercakap dalam bahasa Indonesia dan sering memasak makanan Indonesia seperti dendeng balado, rendang, opor ayam, tempe dan sambal goreng. Namun, semua itu berubah ketika memasuki bulan Ramadan. Aku mendadak rindu kemeriahan salat Tarawih hari pertama dan berbuka puasa bersama keluarga serta teman dekat di Ciporang, Kuningan, dengan segala kehebohannya berburu takjil sambil menanti bedug. Berpuasa di AS Awal puasa kulewati dengan kesendirian karena rekan sekamarku harus berlibur. Sementara aku belum menemukan masjid atau musala terdekat. Asosiasi Muslim di kampus juga belum ada kegiatan khusus untuk Ramadan, paling baru sebatas salat Jumat rutin. Di sini, aku menggunakan aplikasi Muslim Pro untuk mengetahui jadwal salat, waktu sahur dan berbuka. Waktu puasa tahun ini dimulai sejak pukul 4.52 pagi hingga pukul 20.31 malam. Yup, di sini puasanya kurang lebih 15 jam. Hal ini dikarenakan puasa tahun ini jatuh pada musim semi menuju musim panas, sehingga matahari tenggelam sekitar pukul setengah sembilan malam. Untuk waktu Tarawih, aku laksanakan di kamar saja setelah salat Isya pukul 10 malam. Jadi salat Tarawih selesai sekitar pukul 12 malam. Cukup malam untuk jadwal Tarawih dan ini membuatku khawatir terlambat bangun sahur. Benar saja, hari pertama puasa, aku melewatkan sahur karena baru terjaga dari tidur pada pukul 5 pagi. Padahal waktu salat Subuh saja sekitar pukul 4.52. Jadilah, sahur pertamaku lewat. Hehehehhe. Walaupun tanpa sahur, seperti apa yang aku yakini selama ini, selama niat puasa, Insya Allah akan dikuatkan. Alhamdulillah aku kuat! Padahal, hari-hari biasanya, walau sudah sarapan jam 8 pagi, biasanya jam 12 siang perutnya udah berbunyi. Tapi hari itu, aku bisa bertahan hingga waktunya berbuka. Karena hari itu semester sudah berakhir, aku juga bisa lebih fokus mengisi waktu dengan ibadah seperti tilawah dan salat. Ada hal lucu ketika sedang menyiapkan makanan untuk buka puasa. Seperti biasa, aku selalu masak sendiri. Jadi aku selalu memastikan bahwa makanan yang kumakan adalah makanan yang baru kumasak. Tidak praktis memang, tapi aku tidak suka lauk yang dipanaskan atau dimasak kembali. Nah, sebagai orang yang baru-baru belajar masak, aku selalu mencoba rasa masakan ketika memasak. Hari itu, sekitar pukul 7 malam, aku mulai menyiapkan menu buka puasa. Hari itu aku membuat ayam goreng pakai bumbu paketan merek Bamboe dan sambal goreng kentang. Ketika membuat sambal goreng kentang, hampir saja aku memakan kentang gorengnya sampai akhirnya sadar bahwa aku sedang berpuasa. Pantas saja rasanya ada yang aneh ketika akan memakan kentang goreng tersebut. Ternyata yang beda adalah aku sedang puasa. Menu sahur dan berbuka aku sengaja mengusahakan semirip mungkin dengan apa yang aku biasa nikmati di Indonesia seperti kolak pisang dan gorengan untuk berbuka demi mengurangi rasa rinduku kepada Indonesia. Sebagai gambaran, semakin mendekati lebaran, durasi siangnya semakin lama. Sebagai contoh Rabu, 22 Mei, waktu subuh adalah pukul 4.30 pagi, sedangkan magrib pukul 20.47. Hingga akhirnya pada hari terakhir lebaran, durasi puasa di Lincoln akan mencapai 17 jam. karena mataharinya memang makin lama terbenamnya. Foto di bawah ini adalah foto yang diambil beberapa hari sebelum ramadhan, pada pukul 7 malam. Masih terang benderang bukan? Makanan Halal Alhamdulillah, tidak sulit buatku untuk mencari daging halal di kotaku. Selain aku bisa dapat bahan-bahan makanan Indonesia dari Asian Market, toko daging halal lokasinya tidak jauh dari apartemen, hanya 7 menit bus atau 25 menit jalan kaki dari apartemen. Pemiliknya orang Arab dan aku bisa dapat ayam dan daging halal segar setiap hari Jumat. Aku bisa masak masakan ala Indonesia setiap hari dan alhamdulillah dengan daging halal. Menuku sehari-hari adalah nasi dengan bakwan, tempe orek dan ayam kalasan. Kadang aku juga memasak rendang, batagor, sop ayam, opor ayam, martabak telor, dan makanan Indonesia lainnya. Untuk restoran halal, aku tahu ada dua di sekitar tempat tinggalku. Dua-duanya restoran Arab, jadi menu yang tersedia juga makanan-makanan Arab. Kalau tidak ada restoran halal, kami yang Muslim bisa memesan menu vegetarian (karena setahuku hampir semua resto punya menu vegetarian, bahkan pizza saja misalnya, selalu ada pilihan pizza veggie atau cheesy pizza) atau bisa juga memesan menu-menu seafood. Meski demikian, memasak sendiri di rumah selalu menjadi pilihan yang lebih baik dan kita bisa lebih yakin bahan apa yang dipakai, dan tentunya dari segi harga jauh lebih murah. Indahnya Toleransi Di fakultas statistik, dari sekian puluh mahasiswa, hanya ada segelintir yang beragama Islam. Hanya aku, satu orang asal Malaysia, dan satu orang asal Mesir. Jadi, aku harus menjelaskan mengenai puasa bilamana kami berkumpul untuk makan bersama seperti saat pesta akhir semester setelah ujian. Walaupun teman-teman sebagian besar kaget dengan tradisi puasa dan khawatir dengan kondisiku, mereka dapat memahaminya saat kujelaskan bahwa berpuasa bagus untuk kesehatan seperti yang diwajibkan dalam agama. Malah mereka mendukungku dan mengalihkan pesta dari yang siang hari menjadi malam, agar aku bisa makan bersama mereka. Sungguh aku terenyuh dengan bentuk toleransi mereka yang sederhana namun sangat berarti buatku. Bentuk toleransi lain yang kualami selama di Amerika adalah meskipun aku sebagai minoritas, aku sangat bersyukur teman-teman menghargai agama yang kuanut. Saat kujelaskan alasan mengapa aku memakai jilbab, tidak minum alkohol dan tidak menyantap daging babi, mereka sangat memahami, bahkan menjagaku. Seperti ketika mereka tahu makanan tertentu mengandung babi, misalnya, mereka mengingatkanku, “Kiki! Jangan makan ini, ada kandungan babinya.” Atau ketika kami sedang berkumpul, lalu hampir semua minum bir, mereka selalu memisahkan jus untukku. “Beer for everyone, and you, Kiki, here is Apple juice!” Satu hal menarik lagi yang aku pahami dari pengalaman menjalani bulan Ramadan sendirian di AS adalah makna dari “lillahi ta’ala”. Aku belajar bahwa inilah makna aku beribadah, yaitu untuk Allah semata. Sembari tak hentinya mengucap istigfar, aku sadar bahwa selama ini mungkin sering beribadah, misalnya salat tarawih di masjid, atau salat wajib di masjid, atau bahkan puasa, karena orang lain melakukan hal yang sama. Namun di sini, dalam kesendirianku, aku memaknai lebih dalam motivasi dari segala praktik keagaman yang kujalani yaitu bahwa apa yang kulakukan benar-benar untuk Allah; hanya antara aku dan Allah. Aku bersyukur aku bisa belajar tentang makna dari niat ini di saat aku jauh berada dari tanah airku. Bagi rekan-rekan yang memiliki rencana atau impian untuk meneruskan pendidikan di Amerika, hidup sebagai Muslim di sini tidaklah sesulit yang dibayangkan. Selama kita bisa menjelaskan mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan sebagai Muslim, semuanya baik-baik saja. Jujur, awalnya aku sangat khawatir mendengar kabar tentang bagaimana Muslim diperlakukan di Amerika. Tapi setelah menjalaninya sendiri benar-benar berbeda, ternyata itu tidak terbukti. Justru aku merasakan betapa tingginya toleransi dari orang-orang Amerika! (kiki rizki amalia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: